Bergotong Royong di Dunia Pendidikan

A S E S M E N

asesmen kompetensi minimum
survei lingkungan belajar
survei karakter
SBMPTN
tes potensi skolastik
tes kemampuan akademik
american SAT
cambridge A-level
swiss international baccalaureate
logika
spasial
musikal
spiritual
naturalis
linguistik
kinestetik
intrapersonal
interpersonal

L I T E R A S I

baca tulis
numerasi
sains
finansial
digital
budaya & kewarganegaraan
critical thinking
problem solving
creativity
communication
collaboration
curiosity
initiative
persistence & grit
adaptability
leadership
social & cultural awareness

S T E A M

science
technology
engineering
arts
math
coding
animation
cyber security
product design

S O C I E T Y  5 . 0

IoT
big data
psikologi
pedagogi
andragogi
heutagogi
community
ecosystem

Bingung sendirian menghadapi banyaknya informasi ?
Marilah bergotong royong & saling meringankan.
Daftar di https://tinyurl.com/PBx-formDaftar ,
atau hubungi 085890963236 (WA)

The Social Dilemma & Factfulness

Mari kita diskusikan hubungan antara film dokumenter disertai drama The Social Dilemma (Netflix, 2020) dengan buku Factfulness (Hans Rosling, 2018). Hubungan keseimbangan antara ketakutan dengan harapan.

The Social Dilemma

menceritakan bahayanya perubahan yang sangat kecil dari dunia internet sekarang ini, baik itu Google, Facebook, Instagram, dllnya … dengan cara yang sangat halus, pelan … tetapi menghanyutkan. Para developer di perusahaan-perusahaan besar tersebut mengingatkan akan bahayanya layanan yang telah mereka bangun sendiri. Kita telah salah tangkap, mengira yang mereka buat adalah sebuah layanan bagi kita, padahal sebenarnya tanpa kita sadari, perilaku kita berubah mengikuti yang mereka mau.

Fenomena Bumi Datar

Salah satu contoh menarik dari cara bekerjanya algoritma media sosial adalah fenomena tentang bumi datar. Ketika seseorang baru pertama kali ingin mencari tahu tentang isu bumi datar atau tidak, maka dia akan disuguhkan dengan beragam informasi, baik yang mendukung atau pun tidak. Jika kita lakukan search di Google, maka yang muncul paling atas adalah yang paling banyak diklik dan dibaca. Dan itu tidak bermakna bahwa yang paling atas adalah yang paling benar. Kenapa begitu? Karena bagi algoritma medsos, bukan benar salahnya, tetapi seberapa banyak yang telah mengklik dan membaca. Hal ini berkaitan dengan dunia bisnis, pengiklan. Pengiklan akan memberikan insentif finansial kepada situs yang paling banyak dibaca. Karena targetnya adalah jumlah.

Lantas, setelah itu, algoritma pada saat bersamaan juga akan mencatat, kecenderungan dari pembaca pertama tadi. Situs mana saja yang lebih banyak dibaca, pengikut bumi datar atau penentangnya.

Jika yang dibaca lebih banyak di bagian pengikut bumi datar, maka pencarian berikutnya akan diarahkan kepada situs-situs yang mendukungnya. Yang secara lambat laun, si pembaca digiring, seolah-olah kecenderungannya mendapatkan pembenaran. Dan opini ini terus akan dibangun untuk semakin menguatkan bahwa medsos memang dibutuhkan oleh pembaca tersebut untuk mendapatkan info tentang bumi datar. Secara tidak sadar, pembaca secara pelan tapi pasti, dia telah terperangkap oleh algoritma medsos dan menjadi kecanduan akan informasinya.

Bagaimana dengan pembaca lain yang punya kecenderungan menentangnya? Dia juga akan mendapatkan info hal lain yang mendukung kecenderungannya tersebut. Sehingga, seolah dia juga mendapatkan pembenaran akan kecenderungannya tersebut.

Walhasil, keduanya akan merasa benar dan mendapatkan pembenaran. Keduanya telah terperangkap oleh algoritma artifisial intelijen yang mereka ciptakan. Dan sekarang, pembaca bukan lagi sebagai pencari informasi, tetapi telah menjadi produk, yang dijual kepada pemasang iklan.

Itu hanya salah satu contoh saja. Sudut pandang lain tentang film tersebut telah banyak ditulis, salah satu review yang cukup bagus ditulis oleh Bernadetta Yucki dan bisa dibaca di tautan berikut.

Factfulness

mengajak kita melihat kenyataan bahwa dunia tidak seburuk yang kita sangka. Informasi yang sampai kepada kita, terlalu bias, krn kita tidak pernah mau menyediakan waktu sebentar saja untuk menganalisa dengan jernih. Kita hanya follow the crowd. Sadarkah kita dengan hal ini?

Afrika Adalah Negara Miskin

Seolah-olah telah menjadi takdirnya bahwa Afrika selamanya akan miskin dan terbelakang. Tapi seringnya, opini ini terbentuk atas dasar perasaan saja.

Padahal kenyataannya, harapan hidup orang Afrika lebih dari 72 tahun. Sementara rata-rata harapan hidup dunia hanya 72 tahun, di bawah orang Afrika. Mereka telah mengembangkan pendidikan, ketersediaan listrik, air dan sanitasi yang semakin baik. Penurunan tingkat kematian bayi menurun lebih cepat dibandingkan Swedia. Lantas, kenapa semua itu tidak pernah dilihat sebagai perkembangan yang luar biasa?

90 tahun yang lalu, Swedia juga miskin. 50 tahun yang lalu, China, India, Korea Selatan dalam kondisi jauh lebih buruk dari Afrika saat ini.

Tapi orang cenderung tidak mau melihat kenyataan akan adanya perubahan. Padahal, perubahan yang kelihatannya pelan, tidak berarti tidak ada perubahan sama sekali. Tahukah bahwa 1 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda setelah 70 tahun. Dan 2 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda dalam 35 tahun. Kemudian 3 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda hanya dalam 24 tahun. Sekecil apapun perubahan itu, akan berdampak besar.

Orang cenderung melihat kondisi saat ini saja, dan tidak mau melihat proses perkembangannya. Sehingga mereka sering terkaget-kaget ketika 20 tahun kemudian, masyarakatnya mundur, dan sebaliknya, masyarakat lain semakin maju.

Banyak contoh dari data yang valid dihadirkan, untuk melihat kondisi dan perekembangan sebuah masyarakat dengan nyata, buka sekedar perasaan saja. Salah satu review menarik dari sudut pandang yang lain lagi, ditulis oleh Bagja Hidayat dan bisa dibaca di tautan berikut. Dan ebook yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tersedia di Gramedia di tautan berikut.

Bagaimana Kita Menyikapinya?

Film dokumenter tersebut menjadikan kita ngeri melihat pesatnya perkembangan zaman. Di lain pihak, buku factfulness justru memberikan kita gambaran akan dunia yang lebih baik dari yang kita takutkan selama ini.

Lantas, apakah info di atas menjadikan kita tambah galau, bingung atau justru kita bisa mengambil tindakan dengan lebih rasional lagi? Sebagai manusia sosial, kita perlu menyeimbangkan antara ketakutan dengan harapan. Untuk menyeimbangkan keduanya, kadang kita butuh teman berdiskusi dan saling mengisi, saling memberi ketika kita sudah melangkah mengambil keputusan.

Di situlah letak pentingnya kita
bergotong royong
saling menguatkan,
saling mengingatkan,
saling meringankan.

form pendaftaran PBx

Januari 2021 anak masuk sekolah tatap muka?

Akhir-akhir ini group orangtua murid dipenuhi dengan diskusi rencana dibukanya kembali sekolah tatap muka setelah 10 bulan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) akibat pandemi. Pro dan kontra tidak terelakkan lagi. Hal ini dipicu oleh pernyataan Mas Menteri Pendidikan & Kebudayaan beberapa waktu lalu.

Banyak yang tidak memahami kebijakan Mas Menteri tersebut secara utuh. Jika kita menyimak baik-baik, BUKAN KELAS TATAP MUKA DIMULAI JANUARI 2021, tetapi mulai Januari 2021 awal semester pembelajaran baru, keputusan sekolah akan tatap muka atau daring diserahkan kepada 3 pihak, yaitu:
– Kepala Daerah setempat
– Kepala Sekolah
– Orangtua (POMG)

Kenapa begitu?
Saya termasuk yang setuju dengan keputusan Kemendikbud tersebut. Karena Indonesia ini luas dan wilayah kepulauan. Kondisi satu wilayah dengan yang lain bisa sangat berbeda. Begitu pun tingkat resiko penyebaran virus Covid 19. Yang paling tahu adalah Kepala Pemerintahan setempat, bukan Mas Menteri atau Menkes. Jadi sudah selayaknya keputusan sekolah dibuka atau tidak, kewenangannya ada di tingkat lokal.

Dan bukan hanya Kepala Daerah, tetapi harus sepersetujuan Kepala sekolah serta orangtua. Ketiga pihak harus menyetujui apakah sekolah akan dibuka lagi atau belum. Jika salah satu pihak saja tidak setuju, maka PJJ tetap dilakukan.

Jika pun ketiga pihak setuju sekolah dibuka, masing-masing orangtua masih berhak untuk menolak dan anaknya tetap harus difasilitasi untuk PJJ.

Selain kondisi setiap daerah berbeda, kondisi setiap keluarga pun berbeda. Ada yang cukup rentan secara kesehatan sehingga sekolah tatap muka walau di zona hijau tetap berisiko.

Mari belajar untuk menyerap informasi secara utuh dan mencerna dengan baik sebelum ribut dan menyebarkan keresahan. Bukan Mas Menteri mengijinkan Januari 2021 sekolah dibuka lagi, tetapi keputusan sekolah dibuka lagi atau tidak ada di 3 pihak tersebut. Sebagai orangtua, mari secara aktif berkomunikasi dengan sekolah, ambil keputusan terbaik. Bagaimana pun kesehatan anak-guru-staf adalah yang utama.

Note tambahan:
Keputusan 3 pihak tersebut tetap dalam pengawasan Gugus Tugas Covid -19, Pemerintah pusat tetap menjadi penanggung jawab utama.

Kalau saya sendiri sebagai orangtua, apakah mengizinkan anaknya masuk sekolah tatap muka lagi? Gila aja Jakarta Desember ini merah membara nyaris hitam gitu lo! Januari masih gak yakin langsung ijo royo-royo. Fokus aja dulu di PAS (penilaian akhir semester), Januari kita ributkan eh pikir nanti. Oke?

dimuat ulang dari https://www.facebook.com/niswati atas izin Ainun Niswa, 4 Desember 2020.