Kunjungan Guru Banjarnegara: Belajar Membuat PKBM

Pengalaman Belajar dari PKBM Piwulang Becik 

Berawal dari keinginan mendirikan PKBM dan kebutuhan dalam memahami proses pendirian PKBM, Dhian Fatmasari (42), Kepala Sekolah SAMPAI IP Tunas Bangsa Banjarnegara, tergerak untuk berguru dari PKBM Piwulang Becik. Berangkat dari hal tersebut, wanita yang akrab dipanggil Dhian ini, bersama dengan 3 orang guru lainnya, menceritakan pengalaman saat berdialog dengan Aris Prasetya (52), Kepala Sekolah PKBM Piwulang Becik. 

“Saya ngerasa bodoh banget, jadi ekspektasinya pengen belajar dari yang sudah mengerti, merasakan, dan menjalani,” aku Dhian jujur. 

“Kalau saya, sebenernya datang ke sini karena diminta kepala sekolah,” sahut Zuyyinah Murniatul Barokah (35), Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sekaligus Humas SMP IP Tunas Bangsa. “Saya yakin dan percaya aja kalau Bu Dhian ngajak saya, mesti untuk belajar, untuk dapat ilmu-ilmu baru,” lanjut wanita yang biasa dipanggil Zuyyin. 

Dari niatan tersebut, mereka mengaku apa yang didapat lebih dari ekspektasi. Uun Marbawa (42), Guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang kerap disapa Uun mengatakan, “Saya dapat sudut pandang baru yang selama ini sebagai guru yaaa.. menyampaikan apa yang ada di buku aja, apa yang perlu diketahui anak, tanpa mempertimbangkan apa sih kebutuhan anak saat ini. Di sini tadi, saya dapat dari mas Aris tentang bagaimana seharusnya seorang guru itu. Pertama, profiling. Ngerti masing-masing individu. Kedua, memberikan pelajaran, materi yang kontekstual sesuai kondisi saat ini.  Kadang kita memberi materi yang belum tentu mereka butuh dan inginkan sehingga membuat bosan. Yang paling keren, bagaimana cinta dan welas asih. Itu bagus banget karena apa pun kondisi siswa, apa pun yang terjadi pada siswa, tetap cinta dan welas asih harus kita lakukan.” 

Selaras dengan penjelasan Uun, Tengku Apta Naufal (23) yang biasa dipanggil Apta, Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), berkata, “Sebenernya saya udah lama bergelut di dunia pendidikan. Cuma baru-baru ini menggeluti dunia mengajar. Buat saya profiling itu sangat penting apalagi untuk saya yang jarang komunikasi dengan anak. Kita perlu mengetahui pertumbuhan seorang anak, gimana kondisinya di rumah, gimana orang tuanya mendidik agama, dan sebagainya. Justru hal-hal itu bisa langsung kita ajarkan untuk kehidupan mereka. Selain itu, mas Aris mengajarkan bagaimana cara menyampaikan yang sangat mudah diterima oleh anak. Terakhir, lingkaran doa dari murid ke guru, guru ke murid, itu sangat luar biasa. Kalau dari guru tidak ada keinginan untuk membentuk anaknya jadi lebih baik, gimana nanti anaknya jadi baik. Begitu juga kalau anaknya malas-malasan untuk belajar, sebel sama gurunya, gimana dia dapat ilmu yang bermanfaat.“

Refleksi Diri Terkait Peran sebagai Pengajar 

 Menjalani proses Mastermind selama sehari di Piwulang Becik, keempat guru dari Banjar tersebut masing-masing menceritakan refleksi pribadi terkait peran seorang guru. “Kalau saya dapat sesuatu yang luar biasa tentang menjadi kepala sekolah sejati. Beberapa kali mas Aris mengakhiri kalimatnya dengan ‘…karena saya kepala sekolah’. Jadi kalau diiris tuh saya kayak diiris trus dikasi jeruk. Perih. Tapi mas Aris juga bilang sebagaimana seseorang yang tadinya bukan muslim, begitu dia ngucapin syahadat kan lembarannya putih. Kemarin kan bukan berdosa, tapi karena nggak ngerti. Saya harap sih dari hari ini saya bener-bener ngerti bagaimana jadi kepala sekolah sejati,” ujar Dhian. 

Zuyyin menambahkan, “katanya kan kalau hari esok lebih buruk dari hari ini, itu pastinya rugi. Jadi yang akan dilakukan adalah refleksi. Kalau saya cenderung kurang dekat dengan siswa karena tuntutan kurikulum dan dikejar-kejar harus selesai kompetensi dasarnya. Jadi ngobrol sama anak itu intensitasnya lebih sedikit. Makanya dimulai dari cari tau dulu. Bukan cuma nama dan kesukaan, tapi lebih dari itu. Lebih detail.” 

Bagi Apta, ia merefleksikan caranya mengajar. “Sebenernya memang banyak anak-anak yang jenuh, rasanya lama kalau pelajaran PAI. Ternyata di sini kita disadarkan tentang cara kita menyampaikan mungkin ada yang salah. Karena tuntutan kurikulum, jadinya mau nggak mau itu yang disampaikan terlepas dari keperluan anak itu sendiri. Harus banyak doa, banyak introspeksi. Yang ingin saya tau dulu, anak itu gimana sih agamanya? Di rumah itu udah diimplementasi seperti apa? Trus kenapa mereka nggak melakukan ini-itu? Apa beratnya? Kenapa? Bangun semangat kalau kata mas Aris.” 

Sementara Uun menjelaskan refleksi terkait kedekatan dengan para murid. “Sampai sore ini sebenernya banyak refleksi diri. Salah satunya, aku kurang mengenal sama murid-murid. Sebagai wali kelas, aku pegang sekitar 16 siswa. Dari situ aku refleksi, oh ya, aku baru kenal nama. Baru tau kesukaan. Belum tau cerita bagaimana rasanya dia belajar selama ini sama saya atau mungkin bagaimana sih sebenernya dia merasakan bersekolah di sini. Apakah menyenangkan atau justru membuat tertekan. Itu penting banget. Jadi ya bismillah setelah ini mencoba untuk ngobrol dan yang penting lagi welas asih dengan apapun. Selama ini kan ya namanya guru berurusan sama berbagai perilaku siswa, harus mengedepankan mereka anak-anak kita. Mereka butuh dimengerti, bukan hanya butuh materi pelajaran.”

Harapan ke Depan

“Saya pengen bawa ini ke Banjarnegara. Sebenernya di depan kan kita udah dikasih tau nih blom tentu bisa lanjut. Bisa jadi hasil belajar hari ini tuh Mas Aris bilang cukup. Jadi kalau sampai opsi itu terjadi, saya bakalan memperjuangkan ini tetep harus dibawa ke Banjar. Semoga mas Aris bersedia mendampingi dan menemani kami,” aku Dhian dengan penuh antusias, sekaligus menutup sesi dialog sore itu.

Tonton wawancara lengkapnya di:

Homeschooling: Belajar Sambil Jalan-Jalan

Sarah Diorita (31), ibu dari El Pitu (12), salah satu murid Piwulang Becik, pada Jumat siang lalu (23/12) berkunjung ke Piwulang Becik dan berbincang akrab tentang perjalanan homeschooling dirinya maupun anaknya. 

Pengalaman Menjadi Homeschooler 

Sebagai perempuan berdarah campuran Perancis-Indonesia, masa kecil Sarah dihabiskan dengan bepergian. “Ibu saya orang Perancis, ayah saya orang Indonesia. Jadi otomatis walau kami lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia, tapi dalam setahun pasti ada ke Perancisnya. Makanya dari kecil itu sekolah memang terbagi. Sekolah di sini dan sekolah di sana. Nggak pernah full setahun di kelas yang sama,” ujarnya. 

Kondisi seperti itu ia jalani sampai akhir kelas 4 SD. Di kelas 5 – 6 SD, ia melanjutkan sekolah internasional untuk melancarkan bahasa Inggris dan mendapatkan insight dari jenis pendidikan yang lain. Di masa SMP, situasi keluarga membuat ia akhirnya menjalani homeschooling. “Kan saya anak tunggal. Cuma saya dan ibu saya. Jadi kami bikin deal. Saat itu lagi banyak traveling. Ibu saya memutuskan ‘yaudah kamu homeschooling sehingga kamu bisa ikut saya ke mana aja’. Jadi kami jalan-jalan itu dengan homeschooling kurikulum Perancis. Saya ingat sekali 3 tahun itu banyak belajarnya justru dari pengalaman jalan-jalannya.” 

“Setau aku sekarang homeschooling di Perancis udah nggak boleh karena mereka pengen ada satu standar tertentu. Zaman dulu semua tugas dan modul-modul dikirim dalam bentuk hard copy terus aku kerjain, kirim balik, dinilai, dan kirim balik lagi ke aku. Dulu karena kita dapat duluan kurikulum satu semester, jadi ngerjainnya kalau pas bisa, ya bisa ngebut. Kalau pas nggak bisa, kita take time. Enaknya di situ. Jadi ketika ada waktu luang, kita bener-bener bisa ngerjain hal yang kita suka,” kenangnya. 

 

Awal Mula Mendidik Anak dengan Cara Homeschooling 

Dari pengalaman tersebut, istri dari Eross Candra (41), gitaris band Sheila on 7, ini mengaku menikmati proses yang menginspirasinya untuk mendidik Pitu dengan cara homeschooling juga. “Jadi sebenernya ide untuk homeschooling pengennya itu dari awal SD. Suami juga setuju karena saya pernah homeschooling, tahu betapa serunya belajar dengan cara lain. Kebetulan keluarga kami juga lumayan sering jalan-jalan. Jadi kok kayaknya lebih cocok daripada harus bolos sekolah dan tertinggal pelajaran. Jadi yaudah sini kita aja yang ngajarin. Tapi kan harus cari tahu legalitas di Indonesia itu seperti apa. Apakah boleh? Kalau boleh, formatnya seperti apa? Karena seperti di US kan tidak semua negara bagian mengizinkan untuk homeschooling. Jadi ada waktu cukup lama untuk cari tahu sana-sini. Apalagi kita pengennya homeschooling gaya bebas. Artinya, apa yang mau dipelajari itu ada di tangan anak dan orang tua. Tapi beberapa homeschooling harus lewat lembaga di mana anak harus ke sana seminggu 2-3 kali. Lah ini sama aja. Mending dia sekolah kan,” jelasnya. 

Proses pencarian tersebut akhirnya mempertemukan pengusaha katering Lokaloka Lab ini dengan Piwulang Becik dan memutuskan mendaftarkan Pitu sebagai siswa di sini sejak kelas 3 SD karena merasa cocok dengan ‘gaya bebas’ yang diinginkan keluarganya. Namun selama proses pencarian wadah pendidikan homeschooling yang paling sesuai, Sarah menyekolahkan anaknya di sekolah formal.

“Awalnya sih sekolah ya karena anak kami kan anak tunggal. Saya berpikiran kayaknya dia tetap harus sekolah deh. Biar ada temen. Terus setelah kami pikir-pikir, kayaknya kalau temen nggak harus di sekolah deh. Mungkin karena dia makin besar ya, makin mudah diajak ke mana-mana. Dan anak saya tuh beberapa kali pas saya nganter ke sekolah, dia nanya ‘kenapa aku harus belajar tuh di sekolah?’ JENG JEEENG! Ya sementara begini dulu sambil ayah-ibu cari tahu. Kami kenal anak kami ya. Dia kayaknya tipe yang kalau dibebaskan, artinya kami yang mengikuti apa yang dia suka, kok kayaknya lebih banyak masuk, lebih mudah belajarnya. Jadi mungkin dia perlu sistem belajar yang berbeda. Makanya akhirnya kami putuskan dia untuk homeschooling,” terangnya. 

 

Tantangan Menjalani Homeschooling 

Meski terkesan bebas, homeschooling bukan berarti bebas dari tantangan. “Tantangan itu banyak ya. Maksudnya, bukan berarti dengan homeschooling semuanya jadi lebih santai dan nyaman. Nggak juga. Tantangannya justru menurut saya lebih banyak tetapi menyenangkan karena kami semua sekeluarga sama-sama belajar, berproses. Kalau sekolah kita menyerahkan sebagian hari anak itu kepada orang lain, kalau ini bener-bener kami yang kendalikan gitu kan. Nilai-nilai apa yang ingin kita tanamkan ke anak tuh sepenuhnya dari kami dan itu alami karena benar-benar kita jalani sehari-hari.” 

Ia menyebutkan salah satu tantangannya adalah disiplin dalam konteks konsistensi jadwal. “Kita kan keluarga nyeni semua. Ayahnya seni, saya juga nggak ada jam kantor, jadi disiplin itu salah satu yang paling susah. Tapi ya sambil jalan sih. Tentunya nggak sempurna ya. Kita nggak mencari kesempurnaan juga karena pasti semester ini sama semester depan atau bulan ini sama bulan depan, udah beda ritmenya. Kami pintar-pintar menyesuaikan aja. Oke bulan ini kita akan banyak jalan. Gimana nih kita belajarnya? Jadi selalu di-update, bukan dari jam segini sampai jam segini kamu harus ini. Nggak. Tapi dia ada juga aktivitas yang udah ter-schedule kayak les bahasa Jepang. Terus biasanya kalau kami di rumah, pagi sampai siang itu memang momen dia belajar. Bisa apa aja. Biasanya tuh ada folder tertentu di mana dia bisa mengikuti pelajaran online terdaftar atau dia bisa ambil file worksheet di folder yang dia mau, gambar, atau buat Lego gitu. Pokoknya ada proses belajar di situ. Jadi ya lebih ke soal penjadwalan sih menurut saya,” tuturnya. 

“Tantangan lainnya, menemukan minat. Ketika kendala nih misalnya dia mulai sesuatu terus kok kayaknya kurang suka ya kita jadi harus cari lagi. Tapi ya memang itu yang menyenangkan juga. Dan itu yang menarik karena kami sebagai orang tua sepenuhnya berada di situ, di momen-momen tersebut, dan keputusan kita ambil bersama. Jadi saya rasa yang paling menyenangkan itu kami semua belajar. Paling menyenangkan dan paling menantang juga. Tapi kembali lagi ke keputusan awal kenapa sih kita homeschooling. Jadi yaudah nanti pasti ada aja cara yang kita temukan. Solusinya,” sambungnya. 

 

Hal yang Menyenangkan Saat Homeschooling 

Dalam proses wawancara, Eros berceletuk spontan bahwa hal menyenangkan dari homeschooling adalah tidak harus bangun pagi. Hal ini menimbulkan gelak tawa semua orang. Sarah kemudian menjabarkan, “Sebenernya sih kenapa nggak harus bangun pagi itu juga jauh lebih alami untuk kami jalankan karena kan sefleksibel itu. Jadi tidak bersebelahan dengan kehidupan kita sehari-hari. Jadi kita hidup bersama tapi juga masing-masing.”

Selain itu, ia menambahkan bahwa ada kepuasan tersendiri saat melihat hasil setelah melewati berbagai kesulitan bersama. “Kalau lihat progress, seneng banget karena ini hasil kerja keras bersama. Reward-nya di situ. Terus bonding juga. Kemudian kita jadi lebih ada waktu ketika kita harus pelan ya kita memelan, saling cari tahu kira-kira kenapa ya? Kita sebaiknya seperti apa ya? Itu semua dikomunikasikan bersama dan itu yang paling menyenangkan. Terus bebas aja. Maksudnya, topik pembelajarannya jadi lebih seru karena tidak terkait dengan hal yang sudah ditentukan. Bener-bener pertanyaan muncul dari keseharian anak. Jadi dari kami pun kadang jadi harus cari tahu juga,” ujarnya antusias. 

Hal menyenangkan lainnya adalah dengan proses homeschooling, guru bisa datang dari mana saja, termasuk dari nenek. “Di sini kita mengikutsertakan neneknya dan dia akhirnya merasa punya peran kembali. Benar-benar menganggap serius. Seneng karena waktu Pitu ke sana, benar-benar disiapin belajar apa. Jadi sangat terbantu karena mitologi dan sejarah itu bener-bener bukan hal yang aku kuasai tapi ibuku iya. Pokoknya aku serahkan waktunya dengan nenek.”

 

Sosialisasi bagi Anak Homeschooler 

Bagi orang tua yang ingin memulai homeschooling, salah satu pertimbangan adalah bagaimana anak akan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bagi Sarah, ia tak terlalu memusingkan dan khawatir akan hal tersebut. “Kalau segi sosialisasi sih sebenernya bisa dicari ya, bisa diakalin. Memang kalau tidak diatur bisa dengan sangat mudah jadi tertutup. Tapi kan anak pasti ada aktivitas di luar. Nggak mungkin selamanya dia sendiri di rumah. Misalnya ada minat untuk pingpong, kan dia ketemu dengan pelatihnya, kemudian nanti kalau ada rencana dia ikut klub, pasti akan berteman dengan anak-anak di klub itu karena udah seminat kan. Jadi soal berteman, ah itu mah bisa dicari sih. Pinter-pinter orang tuanya aja. Orang manusia banyak banget kok,” jawabnya santai. 

 

Bukti Pembelajaran Anak Homeschooler 

Bagi para pegiat homeschooling, jurnal dan portofolio menjadi bagian dari keseharian, tak terkecuali Sarah dan Pito. Sambil bercerita, Sarah menunjukkan 5 jenis dokumen yang ia bukukan bersama anaknya. Mulai dari jurnal yang ditulis sendiri oleh Pitu, dokumentasi perjalanan saat traveling, portofolio project Lego, rangkuman kegiatan dalam satu semester, juga kumpulan worksheet dan sertifikat yang disimpan rapi dalam satu arsip. 

“Kayaknya ini bawaan dari ibu ya. Dulu kami harus berpindah-pindah, jadi pinter-pinternya ibu saya simpan dokumentasi buat jaga-jaga. Kira-kira kalau masuk sekolah nanti, dimintain apa ya? Kan jadinya kita harus punya semua ya. Dan dari kecil memang diajarkan untuk misalnya saya gambar, pasti disimpan sama ibu. Di-frame lah, dimasukin ke file lah, jadi kalau portofolio memang sealami itu sih kalau buat saya. Saya juga ajarin itu ke anak. Dia kan nggak terlalu akademis, tapi seneng bikin-bikin nih kayak bikin Lego. Dijadiin project aja.” Sembari membuka dokumen portofolio, Sarah mulai menjelaskan dengan penuh semangat. 

“Mungkin di Piwulang kan banyak ditekankan ya betapa pentingnya portofolio. Itu yang nanti akan jadi bukti nyata ketika kita mau masuk kuliah lah, mau ke dunia kerja lah, dan untuk kenang-kenangan juga. Untuk seorang ibu, ada sisi emosionalnya ngeliat anak berkembang. Seneng juga karena anak ikut menyusun portofolio. Jadi dia melihat sendiri buktinya. Mungkin 3 tahun lagi dia akan bilang, ‘Ah, ini mah gampang banget!’ tapi kan dia lihat ada progress. Semuanya diberi nilai dalam arti tidak hanya disimpan di kolong dan dijadikan kertas buat coret-coret atau apa tapi dia menyusun ini tuh ada hasilnya. Maksudnya, gambar ditaroh di file dengan dibiarkan gitu aja kan beda ya. Dan dalam prosesnya, ketika orang tua juga mem-file-kan hasil karyanya kan dia merasa ‘oh ternyata aku bikin ini tuh dihargai ya.’ Itu penting sih menurut saya proses portofolio itu. Bener-bener menambah rasa percaya diri dan semangat pada anak,” tambahnya. 

 

Merancang Kurikulum Homeschooling 

Di balik portofolio yang disusun dengan amat rapih, ternyata ada proses perancangan kurikulum yang sangat personalized, menyesuaikan dengan minat dan kondisi saat itu. “Sehari-hari tetep ada ya guidance dari orang tua karena pasti anak ada hari di mana dia nggak tahu mau belajar apa, jadi kita kasih opsi. Tapi jarang sih karena kan tiap hari orang tua sama anak komunikasi ya. Jadi pasti ada lah topik pembelajarannya. Aku rasa nggak akan pernah mentok atau bingung. Tapi kadang anak juga dibebaskan misalnya ketika bikin Lego. Itu juga harus dianggap sebagai proses belajar. Dia gunting-gunting, dia ngecat, itu kan proses berkembang ya. Homeschooling sekarang di Indonesia sangat enak. Memang ada setara daring. Tapi selebihnya bener-bener disesuaikan dengan keluarga dan apa yang anak senang,” terangnya.

 

Harapan ke Depan untuk Anak 

Sebagai penutup, Sarah membagi harapannya untuk masa depan Pitu. “Ke depannya sih bebas ya. Selama tidak menyakiti orang lain, dianya happy, bahagia, dan selalu ingat itu bisa berguna bagi sekitar dia, itu aja cukup. Kita nggak punya gol yang gimana-gimana yang penting dia nyaman dengan apa yang dia lakukan, itu kita udah bahagia sekali. Pokoknya bebas asal jangan merugikan orang lain,” tutupnya.

Tonton wawancara lengkapnya di:

#LiveInSeries 4 – Salsabila Erda & Sri Jumariah: Manfaat Mentoring

Salsabila Erda (17), siswi SMKN 1 Tengaran yang akrab disapa Erda, menceritakan pengalamannya setelah mengikuti program Karir Anak dan kemudian magang di Piwulang Becik. Perjuangan yang tidak mudah, karena dia sendiri saat masuk ke SMK saja karena terpaksa. Ditambah lagi, saat mengikuti program live in, ia mendapat penolakan dari ibunya, Sri Jumariah (43) yang biasa dipanggil Sri. 

 

Memberi Restu Setelah Melihat Perubahan pada Anak 

“Sebenernya saya kan awalnya nggak setuju. Saya tuh sukanya dia di SMA aja karena mata pelajarannya umum. Jadi kalau ada uang buat kuliah, lebih gampang. Itu menurut saya. Ternyata apa yang di pikiran saya itu tidak tepat. Untung saja ayahnya memaksa. Pertimbangannya supaya mandiri dan siap kerja. Kalau di SMK kan dilatih keterampilan. Tapi saya nggak kebayang Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) itu seperti apa, nanti ngapain. Saya sendiri lulusan SMA,” aku Sri. 

“Tapi saya lihat gambarnya tuh lebih bagus. Karena saya nggak tahu tentang dunia ini, bingung saya. Caranya gimana? Di situ saya dikasih tahu, gini loh caranya. Dari situ saya lihat cara menjelaskan ke saya itu senang dan semangat. Awal-awal memang setengah tidak yakin. Tapi dari wajah kan keliatan. Dia tunjukin juga karya-karyanya. Kan saya ikut senang. Untuk sikap, mungkin kalau Erda melakukan kesalahan dan yang kasih tahu mentor, cara menyampaikannya berbeda dari orang tua. Kalau kita kan ngomel-ngomel. Kalau mentornya menjelaskan sedikit aja, langsung masuk,” tambahnya. 

Selain dari segi teknis, penolakan di awal juga terjadi saat program magang di mana Erda tinggal dan beraktivitas di lingkungan Piwulang Becik. 

“Awalnya, ketika diminta izin menginap, rasanya horor. Namanya orang tua, pertama kali punya anak menginjak remaja, khawatir kan. Ternyata saat lihat kondisinya seperti ini, jadi tahu di sini teman-temannya banyak dan dapat pengalaman positif yang membikin anak saya lebih baik. Bukan yang sebelumnya buruk, tapi jadi lebih baik. Lebih mandiri. Mungkin pertamanya terpaksa karena jauh dari orang tua, tapi lingkungannya positif. Jadi terlihat kemajuan dari segi perilaku. Sekarang kalau dikasih tahu orang tua jadi lebih dewasa,” jelas Sri yang kini berbalik menjadi sangat mendukung proses belajar Erda. Ia melihat semakin banyak perubahan di diri anaknya ke arah yang lebih baik. 

 

Meyakinkan Diri Sendiri untuk Meyakinkan Orang Tua 

Tentunya restu yang diberikan pada Erda merupakan buah dari upayanya meyakinkan orang tua. Namun sebelum meyakinkan orang tua, ia pun mengalami proses meyakinkan dirinya sendiri untuk mengikuti serangkaian program terkait dunia 3D. 

“Awalnya aku mikir, bisa nggak ya? Soalnya ini 3D, sementara aku nggak 3D sama sekali. Trus aku dapat masukan dari mentor ‘kalau kamu mau, kamu pasti bisa’. Dari situ aku mikir, aku mau atau nggak. Aku butuh atau nggak. Akhirnya aku putuskan aku mau walau lama dan aku belum terlalu bisa,” jelas Erda. 

“Kalau untuk meyakinkan orang tua, kan aku udah yakin. Kalau aku udah yakin, aku bakal usaha kasih bukti apa aja yang aku lakuin supaya dapet izin. Apa yang aku buat, dari awal sampai akhir, aku kasih tahu semua. Entah susahku apa, bisaku apa, kekuranganku apa, aku kasih tahu semua biar orang tuaku tuh tahu gitu loh tingkatanku dari nol sampai sekarang apa aja,” sambungnya. 

Sri menambahkan, sebetulnya di awal, Erda juga punya keinginan yang berbeda dari yang dijalani sekarang. “Dulu masuk RPL aja nangis-nangis nggak mau. Awalnya pengen masuk SMA. Ternyata dia nggak tahu bahwa di situlah, dari nangis-nangisnya, ada hal yang dia suka. Sedihnya lama itu. Hikmahnya di situ. Ternyata orang nggak bisa menyepelekan sesuatu yang awalnya nggak sesuai dengan keinginan. Sampai saat ini, dia kalau cerita, antusias sekali. Jadi dia menemukan sesuatu yang sangat dia senangi.” 

 

Menemukan Kesukaan dan Kenyamanan di Tempat Bekerja 

3 bulan live in di lingkungan Piwulang Becik, Erda mengakui menikmati prosesnya meski banyak tantangan yang harus dihadapi. “Aku tuh kan tipikal orang yang kalau ngerjain sesuatu gampang bosen. Trus kalau udah pusing, emosi sendiri. Mentor aku tuh ngasih tahu aku caranya gimana biar nggak bosen atau pusing. Tapi aku juga harus tahu batesannya. Jadi aku berusaha dulu, kalau bener-bener nggak bisa baru tanya. Karena itu, aku jadi termotivasi gitu. Semisal aku yakin aku bisa, bisa jadi nggak semestinya aku bisa. Harus ada orang yang membimbing kita supaya kita tahu kita bisanya apa dan kalau kita nggak bisa, bener-bener nggak bisa, yaudah diomongin. Kalau di 3D kan sekarang aku akuin aku nggak bisa. Jadi mentorku kasih jalan lain di 3D kayak bantu administrasi. Itu sih,” ujar Erda. 

“Di admin ini, aku makin suka. Aku emang suka ngetik-ngetik gitu kan daripada nge-sketch. Bukan lebih santai sih. Itu tanggung jawabnya gede banget. Kalau satu aja datanya salah, itu semuanya bakal salah dan ngulang lagi dari awal. Tantangannya itu besar banget dan aku harus lebih teliti dari sebelumnya.” Erda menjelaskan dengan penuh semangat. 

Terkait kenyamanan, Erda menceritakan bahwa faktor lingkungan sangat signifikan dalam membuatnya betah. “Yang bikin aku nyaman di sini tuh orang-orangnya. Cara mereka mendidik aku tuh nggak keras. Ngomongnya pelan tapi aku langsung tahu. Aku salahnya di mana itu langsung diomongin, nggak ditunda-tunda dulu. Jadi itu sih yang bikin aku nyaman di sini.” 

Selaras dengan pengakuan Erda, Sri menambahkan, “Kalau nggak nyaman, pasti dia pulang terus kok tiap hari. Berarti kan kerasan di sini. Itu kunci seseorang menyukai sesuatu. Contoh orang kerja. Seenak apapun pekerjaan itu, kalau lingkungannya nggak bikin nyaman, nggak akan kerasan. Sebaliknya, meskipun kita kerja berat, kalau lingkungannya nyaman, pasti akan terasa ringan. Jadi lingkungan yang membentuk dia jadi seperti itu. Yang saya seneng, dia itu ada motivasi. Yang susah itu kan memberikan semangat. Harus dengan cara apa? Kalau nggak datang dari diri sendiri, susah. Ini saya yakin karena teman-teman dan mentornya.” 

 

Harapan ke Depan 

“Kalau buat aku, pertama, ingin ningkatin dulu skill administrasi ini. Aku harus lebih dari yang sekarang. Kalau itu udah cukup, aku bakal usaha bikin studio sendiri di cabang-cabang Salatiga ini,” kata Erda. 

Menyambung harapan Erda, Sri menjelaskan bahwa ia berharap anaknya bisa terus melanjutkan apa yang dia suka kerjakan di sini. 

“Terima kasih sudah diberikan masukan dan ilmu dari mentornya. Bukan hanya dari segi teknis tapi juga rohani, pengalaman-pengalaman mereka, kiat-kiat sukses, dan lainnya. Setelah ikut di Karir Anak dan Piwulang Becik, Erda jadi lebih punya tujuan. Terima kasih juga dengan teman-temannya di sini karena dia jadi lebih baik karena mungkin saling mengingatkan,” ujar Sri.

Tonton wawancara lengkapnya di:

#LiveInSeries 3 – Brian Masinas: Mengasah Kepekaan

Sejarah Bergabung dalam Komunitas 

Berlatar belakang sebagai sarjana STT Telkom jurusan desain produk, Brian Masinaz (26) mengawali karirnya sebagai 3D Artist. Dalam perjalanannya, ia merasa perlu mengeksplorasi bidang lain. Berhubung ia tinggal di Pekalongan dan ada peluang bisnis fesyen, ia pun memutuskan vakum dari dunia 3D dan mencoba berbisnis. 

Suatu hari, Brian menemukan lowongan pekerjaan sebagai 3D Artist di Facebook Group. Ia tertarik karena lokasinya dekat tempat tinggalnya. Tanpa punya banyak ekspektasi, ia coba mendaftar dan diterima bergabung bersama studio Peanuts Bee. 

“Awalnya aku kira yaudah kerjain desain 3D aja. Tapi ternyata beda banget kerja bareng komunitas. Di sini yang dikedepankan kan manusianya. Secara mindset, kita terus-menerus dikasih nutrisi, ditekankan sisi kemanusiaan dan kepekaannya. Menurutku ini nggak diajarkan di mana-mana. Bahkan kita diprospek untuk bikin studio baru,” ujarnya. 

Pengalaman Live In

Setelah 8 bulan bergabung, Brian diminta untuk belajar di Studio Kampung Becik Project yang digagas oleh Husayn Akmal Prasetya (22). Selama live in di Salatiga, ia berbagi pengalamannya berinteraksi dengan rekan-rekan yang tinggal dan beraktivitas di sana. 

“Yang paling kerasa sih di sini rame. Ada yang nggak tau, bisa langsung tanya. Aku jadi ngerasa terpacu untuk bikin karya yang bagus karena banyak pembanding yang bagus-bagus,” terangnya. 

Hal lain yang ia rasakan dari pengalaman live in ini adalah ia belajar menjadi lebih berempati, peka pada sekitar, dan menjadi manusia yang beradab. “Di sini tuh aku baru paham kalau nggak aware, rugi banget. Sayang kesempatannya kalau selama di sini aku cuma fokus teknis tapi di luar itu kurang peka. Kalau pun nongkrong sambil ngerokok, cuma ngobrol sama satu-dua orang.” Ia merefleksikan prosesnya ini sebagai latihan berempati. 

Tak hanya dari interaksi dengan sekitar, ia pun mengaku belajar dari hidup sehari-hari seperti piket harian. “Jujur, aku jarang bersih-bersih. Sementara di sini ada piket. Aku baru nyapu ya di sini, jadi nggak tahu bersih apa nggak. Yang penting nyapu aja dulu,” akunya sambil tertawa malu. “Pernah juga temen-temen lagi masak, aku asik sendiri depan laptop. Pas makin rame yang bantuin, aku baru sadar. Lah iya ya, aku ngapain daritadi? Kan nggak enak ya, udah dikasih tempat tinggal, makan, tapi aku nggak ada kontribusinya.” 

Harapan ke Depan 

“Kalau harapan, aku sih pengennya apa yang aku dapetin bisa diterapin, contohnya soal mindset, mental, adab. Misalnya lebih berempati, nggak cuek-cuek banget. Atau kalau terkait teknis, bantu-bantu ajarin apa yang aku dapet di sini. Jadi sama-sama berkembang lebih baik. Dan tentunya kayak semua orang ya, suatu saat pengen punya studio. Tapi kalau buat aku sendiri, aku pengen belajar lebih banyak gimana cara hidup, gimana menjadi manusia, dan gimana adab yang seharusnya. Aku juga pengen bisa lebih berempati dan peka dengan sekitar” tutupnya.

#LiveInSeries 2 – Ivo Febrian: Mengatasi Ruang Sulit

Sejarah Bergabung dalam Komunitas  

Ivo Febrian (19), seorang lulusan SMK 7 Semarang asal Kudus yang kini sedang live in di Piwulang Becik, menceritakan pengalamannya tergabung bersama komunitas. Berawal dari belajar desain dan membuat ikon dalam program magang di Karir Anak, kini ia mulai merambah ke bidang 3D. “Awalnya aku bingung mau magang di mana. Tapi di antara semua perusahaan yang ada di daftar pilihan, aku tertarik sama Karir Anak. Sebenernya aku bimbang banget pilih Internet of Things (IoT) atau desain, cuma akhirnya aku pilih desain,” kenangnya. 

Saat mempersiapkan diri untuk magang, Ivo mulai belajar menggambar 2D dan membuat ikon-ikon secara otodidak. “Aku belajar lewat Youtube. Gada kuratornya. Kuratornya diri sendiri aja. Kalau udah ngerasa bagus, udah.” 

Lambat laun, ia mulai tertarik dunia 3D dan mengulik secara mandiri dengan peralatan seadanya. “Laptopku tuh kentang kalau belajar 3D. Tapi aku pengen soalnya itu hal baru. Aku liat peluangnya tuh yang bisa 3D belum banyak. Jadi aku memutuskan buat belajar itu dengan device yang apa adanya.” Ia menyebut dirinya sebagai orang yang tidak mau kalah sehingga ia terus mengasah keterampilannya, apapun tantangannya. “Di satu sisi aku harus bisa lebih cepet tapi aku juga harus tau laptopku kemampuannya seberapa. Jadi aku harus mikir 2 kali. Kalau aku bikin yang terlalu berekspektasi tinggi, kalau device-nya nggak kuat ya sama aja.” 

Setelah 8 bulan mengerjakan proyek ilustrasi dan micro stock, oleh mentornya, Ivo ditawari untuk belajar 3D. “Wah jelas aku mau banget! Dikabarin jam 12 siang waktu makan, beres-beres, jam 1 langsung berangkat ke Salatiga,” ujarnya dengan antusias.  

Pengalaman Live In – Kebiasaan Baru yang Dibentuk 

Menjalani proses live in di Salatiga, salah satu hal yang ia rasakan berubah dari dirinya adalah bisa masak. “Selama ini aku liat aja temen-temen masak. Paling bantu-bantu sedikit. Lebih banyak melihat. Setelah pulang dari sini, aku jadi mikir. Sebenernya selama ini aku bukannya nggak bisa masak, tapi nggak berani aja. Wah, langsung aku coba lah masak yang belum pernah aku masak. Waktu itu aku coba masak bayem jagung. Aku yang sebelumnya belum pernah ke pasar, nggak ngerti caranya rebus jagung, ya gas coba aja dulu lah. Ternyata pas dicobain, masih layak buat dimakan. Emang layak sih,” ceritanya sambil tertawa. 

Untuk keseharian lainnya, ia menyebutkan ada kebiasaan baru yang dibawa dari proses live in, contohnya kebiasaan doa bersama di pagi hari sebelum mengawali kegiatan. 

Tak hanya itu, kebiasaan gotong royong dalam membersihkan lingkungan juga terbentuk selama live in. “Di sini kan kalau pagi bersih-bersih. Kewajiban semua orang yang ada di sini. Pagi bersih-bersih kebun depan, samping, kebun kopi. Ya aku seneng sih bisa ngelakuin itu karena hobiku dulu berkebun. Jadi aku menemukan hobiku lagi. Suka liat yang ijo-ijo. Karena kebiasaan itu, pagi aku nggak usah nunggu ngerjain apa atau nunggu perintah, langsung ambil sapu.” 

Meski demikian, ada satu hal yang ia ingat saat berbincang dengan Aris Prasetya (52), kepala sekolah Piwulang Becik. “Aku tuh inget banget obrolan om Aris tentang bermuka dua. Contohnya aja kalau di rumah jelek, tapi di studio pengen terlihat bagus. Itu kan jadinya nggak autentik dengan karakter diri sendiri. Capek juga ingin terlihat lebih dari apa yang dipunya. Jadi kalau di studio bersih-bersih dan pengen nunjukin sisi terbaik diriku, di rumah harusnya juga gitu,” terangnya saat menceritakan percakapan yang berkesan selama live in di Salatiga. 

Kekurangan Bukan Halangan – Kondisi Buta Warna Parsial 

Selain berbagi pengalaman live in, Ivo juga bercerita mengenai kesulitan yang ia hadapi selama ini. Industri desain sangat erat kaitannya dengan warna. Meski demikian, Ivo yang didiagnosa buta warna parsial tidak melihat hal tersebut sebagai keterbatasan. Justru, ia menjadikan hal tersebut sebagai tantangan yang perlu dihadapi, bukan dihindari. 

“Aku pertama tau aku buta warna parsial soalnya aku pengen masuk SMK. Saat aku cari-cari persyaratannya, ternyata salah satu syaratnya itu tes buta warna. Trus aku cari-cari di Youtube dan coba tes yang bentuknya lingkaran dengan angka dan warna. Loh kok jawabanku buta warna parsial semua. Trus aku riset dan tes lagi. Tapi jawabannya buta parsial terus. Di situ aku makin yakin soalnya yang orang lain bisa liat, aku nggak bisa. Sebaliknya, aku bisa liat angka ini, orang lain nggak bisa. Tapi karena aku mau masuk SMK, aku bener-bener harus mempersiapkan dengan matang, gimana caranya supaya bisa tetap diterima. Ternyata lolos.” 

Selama 3 tahun bersekolah dan setahun magang, ia berhasil melewati tantangan warna dengan strategi yang ia lakukan. “Aku jarang banget nyebutin warna. Misalkan, ini warnanya pakai ini. Jadi nggak nyebut itu warna apa, tapi nunjuk warna.” 

Namun, ada satu momen di mana akhirnya ia mengaku bahwa ia buta warna parsial. “Saat itu, aku lagi belajar ilustrasi. Di situ aku salah buat ngasih warna. Mentorku bilang ‘loh itu salah. Wah kamu buta warna ya’. Aku jawab aja ‘loh emang iya’. Mentorku kaget dan satu komunitas tau semua. Tapi aku ngerasanya itu udah waktunya aku ngaku. Toh satu tahun aku udah berhasil melewati desain yang urusannya dengan warna. Jadi aku ngeliat kekuranganku itu dicari jalannya. Dengan parsialku, aku menemukan caraku sendiri. Sekarang, aku malah menganggap kekuranganku sebagai kelebihan.” 

Mendobrak Ruang Sulit – Latihan Public Speaking 

Dari proses wawancara, sekilas Ivo terlihat sebagai orang yang lancar berbicara depan umum. Ternyata, ia mengaku dulu ia tak seperti sekarang. “Aku tuh sebenernya orangnya pendiam. Awal-awal magang aku diem aja, cuma denger orang ngomong, nggak ada interaksi sama sekali. Kalau nggak dipancing, nggak ngomong. Tapi setelah itu, aku dapet wejangan, kalau nanti aku punya studio, punya karyawan, cara ngobrolku tuh gimana? Kalau mereka salah, aku nggak bisa ajak ngobrol, jadi tambah salah, akhirnya malah jatuh semua. Di situ aku mulai sadar dan sedikit demi sedikit latihan komunikasi. Misalnya kasih tebak-tebakan. Padahal sebelumnya aku nggak pernah becanda. Pada kaget juga sih, cuma untungnya jokes-nya masih masuk. Pada ketawa,” celotehnya panjang. 

“Dari situ, aku mulai dengan ngobrol berdua, ngobrol mastermind, sampai akhirnya aku diminta untuk buka forum kecil. Di situ aku belajar menghadapi semua orang yang melihat diriku. Aku paling nggak bisa dilihat orang banyak. Itu ndredeg, pikiran nge-blank, parah pokoknya. Tapi aku jadi belajar nge-handle forum sampai disuruh mimpin forum. Wah itu tantangan paling besar sih. Awalnya cuma 5 orang, trus jadi sekitar 25 orang. Itu pengalaman yang bener-bener wow. Dari situ aku jadi paham cara bicaraku, karakterku, dan kenalan dengan orang-orang baru gimana.” 

Ivo menutup ceritanya dengan konsep yang ia pahami tentang belief system. “Kuncinya itu dari mindset. Mindset ini akan membentuk perilaku, perilaku membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan jadi realita kita. Ini prinsip yang aku pegang selama ini.” 

#LiveInSeries 1 – Haydar Wira & Reizzan Prasetya: Berkarya Sejak Muda

Awal Mula Belajar 3D 

Sebagai anggota termuda yang melakukan project-based learning di Piwulang Becik, Haydar Wira Prasetya (13) dan Mohammed Reizzan Setyawan (14), mengaku menikmati proses menggambar 3D. “Awal mulanya aku bikin gambar cuma main-main aja. Manual, digital, trus sekarang 3D. Tertariknya karena suka animasi-animasi gitu. Lihat behind the scence-nya kan keren tuh, bikin 3D” ujar Haydar saat menceritakan asal mula ketertarikannya pada 3D. Sementara itu, Izzan menyebutkan prosesnya berkarya saat mengerjakan project di studio Kampung Becik. “Awalnya aku bikin stok ikon, trus bikin ilustrasi, dan sekarang 3D. Aku seneng gitu, pengen explore.” 

Haydar dan Izzan menjelaskan bahwa keterampilan membuat karya 3D terasah justru saat bermain game. “Tangan jadi lebih luwes saat pegang mouse,” kata Haydar. Izzan pun menyetujui. “Kalo aku emang suka main game pakai komputer gitu. Jadi pas ngerjain 3D kayak udah enak soalnya mirip-mirip.” 

Menekuni 3D sejak dini dan benar-benar terjun menghasilkan karya, Haydar dan Izzan merasakan kebanggaan tersendiri. “Aku bangga soalnya bisa ngelakuin project yang besar. Pengen nantinya jadi 3D artist,” aku Haydar. “Aku juga ngerasa bangga tapi bisa lebih baik lagi,” tambah Izzan. 

Sejauh ini, keduanya merasa senang dan belum terpikirkan untuk eksplorasi bidang lain. “Kalau penasaran bidang lain nggak ada. Masih belum ketemu yang nyenengin lagi. Masih enjoy 3D. Paling seru itu modeling,” ujar Haydar. “Tapi sebetulnya ada susahnya. 3D kan ada lighting sama texture, jadi kompleks banget,” tambahnya. 

Sebaliknya, Izzan merasa tidak terlalu sulit. “Paling susahnya itu suka ada revisi. Kadang bingung kliennya itu maunya gimana,” terang Izzan polos yang sontak diikuti anggukan setuju oleh Haydar.  

Belajar Mengenai Kecerdasan Ruang 

Selain teknis 3D, Haydar dan Izzan juga belajar hal-hal non teknis, termasuk perihal kecerdasan ruang, terutama relasi dengan Reza Ahmad Prasetya (16) sebagai mentor mereka berdua. “Sebetulnya agak susah buat bedain antara keluarga sama guru. Misalnya kalau sebagai keluarga, aku bisa minta tolong ambilin piring atau nemenin makan. Kalau sebagai guru, aku nurut soalnya masih belajar juga,” ungkap Haydar. Hal serupa disebutkan juga oleh Izzan. Ia menyadari peran saat project-based learning berbeda dengan saat di waktu luang. “Kalau di ruang kerja, mas Reza jadi mentor kita. Jadi manut gitu. Kalau lagi main ya kayak mas aja.” 

Memaknai Kesalahan dan Masalah 

Semua manusia tak luput dari kesalahan. Begitu pula dengan Izzan dan Haydar. “Pernah waktu itu, sore-sore Haydar ajak aku main trus aku langsung ikut ke sana nggak pakai sendal. Nggak becek sih, tapi kan jadinya kotor. Trus ditegor om Aris. Dari situ jadi sadar kalau keluar harus pakai sendal. Jadi nggak tersinggung kalau diingetin,” kenang Izzan. “Aku juga sama. Yang lainnya aku lupa. Tapi kalau aku agak kesel juga,” sahut Haydar jujur. 

Selain kesalahan, mereka pun tak lepas dari masalah. Namun menariknya, baik Haydar maupun Izzan merasa tidak terlalu mempermasalahkan. “Aku nggak nyadar kayaknya. Nggak nganggep itu masalah. Jadi kalau ngerjain 3D kan kita perlu komputer yang spec-nya bagus. Jadinya sering nge-freeze gitu. Trus restart komputer paksa. Solusinya upgrade PC,” cetus Haydar. “Kalau aku pernah sih tapi ya kalau ada masalah trus sudah selesai masalahnya, jadi lupa,” sambut Izzan. Intinya, buat mereka berdua, tips menyelesaikan masalah adalah tidak berlarut-larut dalam masalah tersebut. Cari solusinya lalu move on.  

Proses Adaptasi di Ruang Komunal 

Berada jauh dari rumah dan belajar hidup mandiri, Izzan menceritakan pengalamannya beradaptasi dengan lingkungan baru. “Awal-awalnya kan aku di sini jauh dari orang tua. Bisa tapi aku ya kangen sih,” ungkapnya jujur. Sementara itu, Haydar merasa senang akhirnya punya teman sebaya. 

Mereka juga bercerita mengenai kebiasaan makan, terutama saat makan siang. “Kalau soal makanan, rasanya beda, tapi enak soalnya laper,” Izzan tertawa renyah. Ia juga melakukan kegiatan bersih-bersih seperti menyapu, cuci piring, dan membersihkan meja. Berbeda dengan Izzan yang lahap makan apapun, Haydar lebih memilih menu makan yang berbeda dari yang lainnya. “Soalnya di sini kebanyakan makannya sayur. Aku kurang suka,” jelasnya blak-blakan. Meski demikian, ia tetap ikut berbaur dan berkumpul saat makan siang. 

Terkait interaksi dengan teman-teman yang berbeda umur, Haydar dan Izzan tidak merasa ada perbedaan yang signifikan. Mereka bisa membaur seperti bermain game bersama, olahraga basket, menonton bioskop, dan sebagainya. “Sebenernya sama kakak-kakak di sini biasa aja sih. Manggilnya sih tetep kak, tapi ngobrolnya santai. Kalau bosen biasanya refreshing trus nyapa kakak-kakak ‘halo, lagi ngapain?’,” jelas Izzan. “Aku juga biasa aja sih. Udah terbiasa bertaun-taun main bareng beda umur,” sahut Haydar.  

Harapan ke Depannya 

Ketika bicara masa depan, baik Haydar maupun Izzan merasa ingin hidup bebas. “Kalau aku, 4-5 tahun udah ada studio jadi udah ada orang yang ngurusin,” tutur Haydar. Selaras dengan Haydar, Izzan bercita-cita ingin memulai bisnisnya sendiri. “Kalau aku ke depannya pengen punya studio juga. Umur berapanya belum tau, yang pasti aku udah tinggi,” katanya ceplas-ceplos sambil tertawa. 

Tonton wawancara lengkapnya di: