Myelin, Kunci Transformasi Diri

Seringkali orang tidak sadar bahwa sebuah kesuksesan tak hanya ditentukan oleh brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Berdasarkan penelitian, yang tidak kalah penting juga adalah muscle memory yang terbentuk dari latihan.

Tentang Myelin

Kalau brain memory terletak di otak dan menghasilkan hafalan teori dan konsep, muscle memory ini ada di seluruh jaringan otot kita dan menghasilkan refleks otomatis. Manusia membutuhkan keduanya, namun seringkali pendidikan kita lebih mengutamakan pada brain memory. Padahal, muscle memory juga tak kalah penting.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan”, komponen muscle memory atau yang disebut myelin ini merupakan pembungkus jaringan sel-sel syaraf yang membawa sinyal yang sama berulang-ulang. Makin sering informasi diulang dalam Myelin, semakin tebal. Hal ini yang menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan kita dan merupakan sumber talenta saat dilatih terus-menerus.

Contoh Myelin dalam Konteks Piwulang Becik

Di Piwulang Becik, proses pembelajaran banyak memanfaatkan fungsi Myelin. Salah satu contohnya adalah Hasan, seorang pengajar musik. Ia bercerita bahwa ia belajar bermain alat musik sejak SMP sampai sekarang. Mulai dari belajar otodidak dengan pinjam alat musik teman dan akhirnya diajari cara bermainnya, sampai bisa otomatis memainkan lagu tanpa tahu lagu tersebut sebelumnya.

Pernah suatu waktu, ia diminta bermain gitar dengan kunci yang diinstruksikan pemain kibor. Ternyata kuncinya salah, namun ia secara otomatis menyesuaikan hanya berdasarkan intuisi. Hal ini merupakan contoh muscle memory atau Myelin.

Hal menarik lainnya adalah saat biasanya ia mengajar offline namun ketika pandemi, ia harus mengalihkan seluruh pembelajaran menjadi online. Awal-awal pembiasaan rasanya sulit karena tidak familiar. Namun lama-kelamaan, berbagai masalah karena keterbatasan belajar online bisa teratasi. Salah satunya, dengan meminta murid mengirimkan karya yang kemudian dikurasi dan dibahas bersama di kelas.

Harus Tahu vs Ingin Tahu

Selain terkait pembelajaran di kelas, Hasan juga mengungkapkan contoh lain saat ia diminta menjelaskan mengenai Piwulang Becik kepada para orang tua. Berhubung  Myelin tak melulu berkaitan dengan keterampilan fisik tapi juga mindset dan mental, momen-momen seperti ini ternyata melatih Hasan untuk mengenali mana yang harus ia ketahui sebagai seorang koordinator dan mana yang berupa keinginan untuk tahu.

“Ibaratnya kita mau ke Bali. Kita harus tahu kan lewat jalan mana. Kalau nggak tahu ya cari tahu,” jelasnya. Saat ia diminta untuk menjelaskan Piwulang Becik kepada para orang tua, ia menyadari ia masih banyak hal yang ia belum tahu. Namun, tanpa mencoba terlebih dahulu, tak akan muncul keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut. Inilah latihan mental yang terus-menerus dilakukan sampai akhirnya terbentuk Myelin yang tebal sehingga secara otomatis ia bisa memilah dan memutuskan mana yang ia harus tahu sebagai seorang koordinator untuk kemudian disampaikan pada para orang tua.

Takut Salah vs Berani Melangkah

Berhubungan dengan latihan mental, ia juga menyebutkan bahwa saat memulai hal baru, refleks selama ini adalah takut salah. Namun, ia melatih dirinya untuk mengubah mindset. “Grogi dan takut salah itu wajar. Yang penting, kita tetap berani untuk melangkah,” tambahnya. Mindset ini penting agar kita bisa terbuka akan hal-hal baru dan mau terus belajar dari kesalahan.

Mengutip kata-kata Nelson Mandela:

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”

Mengamati Diri, Memindai Masa Depan

Ketika kita membicarakan pendidikan masa depan, apa yang kamu bayangkan? Kelas-kelas yang didukung dengan fasilitas teknologi canggih? Konten-konten pembelajaran dengan ilmu global dan berbahasa internasional? Atau justru, kamu membayangkan murid-murid di masa depan? Bagaimana pola pikir dan laku mereka? Apa saja tantangan yang akan mereka hadapi? Seperti apa ekosistem mereka belajar?

Apapun yang kita bayangkan, bisa jadi benar. Tapi pertanyaan yang paling penting untuk kita tanyakan, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk pendidikan masa depan? Kata kuncinya adalah: DIRI. Kesadaran kita untuk melihat dan memahami ke “dalam” lebih dalam sebelum bertransformasi.

Dalam buku “Theory U: Leading from the Future as It Emerges” oleh Otto Scharmer, ada sebuah model pemikiran dari Brian Arthur, seorang Economist, untuk membantu kita memahami proses transformasi diri maupun organisasi. Model ini dapat pula dipakai dalam konteks pendidikan.

Observasi. Proses mengamati, mendengar, dan merasakan ke dalam diri untuk menemukan dan membangkitkan potensi terbaik kita. Semakin lihai kita dalam mengobservasi diri, semakin peka juga kita pada sekitar, terutama dalam memahami murid-murid kita. Contoh paling mudah untuk melatih keterampilan observasi adalah mengamati emosi yang hadir. Saat marah pada murid misalnya. Apakah ada emosi lain yang lebih dalam seperti kekecewaan karena punya ekspektasi yang tidak sesuai realita? Seperti apa rasanya? Apa yang saya lihat dari murid tersebut yang memancing kemarahan saya? Apa yang tidak saya lihat? Keterampilan ini merupakan kunci dari proses transformasi.

Refleksi. Mengendapkan dan merenungkan temuan dari proses observasi tadi. Apakah ada keyakinan dan pandangan yang saya miliki yang menghambat proses memahami diri juga anak murid? Apa saja asumsi yang saya sadari? Bagaimana saya mengubah paradigma lama agar bisa melihat potensi yang selama ini tak saya sadari? Pertanyaan-pertanyaan refleksi ini bisa kita tanyakan pada diri sebelum kita bereaksi dan merespon suatu tindakan. Proses pengendapan dan perenungan ini seringkali memunculkan kesadaran baru terkait apa yang selama ini terpendam dalam diri.

Aksi. Setelah proses observasi dan refleksi, langkah terakhir adalah tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan transformasi. Dalam prosesnya, kita akan dihadapkan pada ketidakpastian, ambiguitas tinggi, dan rentan gagal. Maka dari itu, butuh keterbukaan untuk merangkul berbagai kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya dan terus mencoba hal-hal yang mustahil. Tentunya, hal ini tidak akan bisa terlaksana tanpa proses mengamati diri dan keberanian mempertanyakan apakah asumsi yang saya miliki selama ini masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan masa depan?

Pada intinya, untuk dapat memindai masa depan, hal paling penting dan mendasar yang perlu kita lakukan adalah mengamati diri. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Shane Parrish:

Empati, Upaya “Menembus” Dinding

Dalam teori Fisika, ada Hukum Newton 3 tentang Aksi Reaksi yang berbunyi:

“Jika suatu benda mendapatkan gaya, maka benda tersebut akan memberikan kekuatan yang sama besar terhadap sumber gaya tersebut secara berlawanan.”

Contoh paling sederhananya, bila kita mendorong dinding (aksi), dinding tersebut akan berbalik mendorong kita (reaksi).

Apabila kita memandang sebuah masalah seperti menghadapi dinding, beberapa orang terus mendorong bahkan menabrak dinding sampai kelelahan sendiri. Beberapa lainnya, memutuskan menyerah dan berbalik arah.

Dua respon ini merupakan reaksi fight or flight. Wajar saja, karena merupakan insting purba manusia untuk bertahan hidup saat terancam bahaya. Namun, pernahkah kita berpikir solusi alternatif? Bagaimana ya caranya “menembus” dinding?

Kita ambil contoh seorang guru bahasa Indonesia bernama Bela. Selama ini, bahasa Indonesia dianggap membosankan dan tidak penting karena setiap hari juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Memahami tantangan ini, Bela ingin mengubah perspektif bahwa bahasa Indonesia itu menyenangkan. Kalau ia memaksakan pembelajaran text book pada mereka, bisa saja para murid makin merasa bahasa Indonesia membosankan. Semakin ia memaksa, pembelajaran akan semakin jauh dari kata menyenangkan. Semakin melelahkan karena hanya berusaha mendorong dinding. Persis seperti Hukum Aksi Reaksi Newton 3.

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya “menembus” dinding, jawabannya adalah dengan berempati. Pertanyaan berikutnya, bagaimana ya caranya Ani berempati?

  • Pertama, mencoba memahami apa yang murid tersebut pikirkan dan rasakan. Apa ya yang disukai anak-anak? Apa yang jadi tren saat ini? Apa istilah-istilah kekinian yang digunakan supaya bisa masuk ke dunia mereka?
  • Kedua, cari berbagai alternatif pembelajaran seru seperti menonton film, mendengar lagu, menyanyi bersama, main games, dan sebagainya. Kenali apa yang menjadi kesukaan mereka agar belajar terasa lebih menyenangkan.
  • Ketiga, rayakan tiap perkembangan. Dengan mengapresiasi tiap milestones dalam proses belajar, mereka akan menyadari sejauh mana mereka berkembang. Selain itu, bisa memacu semangat agar terus menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak lagi tips lainnya. Namun pada intinya, lakukan secara perlahan dan bertahap. Dinding dalam proses belajar terkadang tak terlihat, tapi kita selalu punya pilihan. Menabrak, menghindar, atau menembus, semua tergantung kita menyikapi.

Quantum Leap, Sebuah “Lompatan” Potensi

Marvel Multiverse

Apakah kamu pernah mendengar istilah Quantum Leap? Yuk kita kenalan dengan istilah ini!

 

 

 

Tentang Quantum Leap

Quantum Leap merupakan “lompatan” yang membuat manusia mencapai potensinya secara optimal.

Kalau dalam bayanganmu lompatan itu seperti atlet yang melewati halang rintang, Quantum Leap berbeda. “Lompatan”-nya lebih menyerupai gelombang yang menembus suatu batas. Mungkin terdengar membingungkan. Untuk memudahkan, analoginya seperti ini. Bayangkan seseorang yang dalam 2 minggu bisa membuat desain 3D. Padahal, dia belum pernah pegang laptop sebelumnya. Atau seseorang dalam seminggu bisa berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan sampai dapat pasangan. Padahal, sebelumnya dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.

Quantum Leap Wave

Selain itu, Quantum Leap juga bersifat probabilitas. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Makanya, momentum dalam Quantum Leap bisa saja datang tanpa diduga. Apabila kita tidak siap, kesempatan tersebut akan lewat begitu saja.

 

 

Contoh Quantum Leap

Kita ambil contoh Syama, seorang murid di Piwulang Becik yang terlihat pendiam di kelas. Namun, di sebuah pertunjukan drama di kelas, secara mengejutkan, banyak dialog yang diperankan Syama. Bela, guru bahasa Indonesia Syama, kaget dan tak menyangka bahwa ternyata memang selama ini Syama memperhatikan apa yang ia ajarkan. Hanya saja, ia tak banyak bicara.

Contoh lainnya, anggap saja bernama Zizi. Ia seorang difabel tuna netra yang punya keahlian di bidang musik. Saat mengajar di kelas online, Zizi dapat menghapal para muridnya hanya dari mendengar suaranya saja. Bela takjub dan terheran-heran, bagaimana Zizi bisa tau siapa saja muridnya tanpa melihat. Zizi pun tidak pernah terpikir sanggup mengajar musik.

Yang terjadi pada Syama maupun Zizi sebenarnya bukan tiba-tiba. Ada proses yang tidak terlihat.

Contohnya, bagaimana Bela memancing perlahan agar Syama berani berbicara melalui pendekatan personal, bagaimana ia pun kerap bertanya pada orang tua Syama. Apakah anaknya diam karena takut atau memang pendiam? Apakah anaknya menyukai pelajaran bahasa Indonesia? Orang tuanya bilang iya dan bilang bahwa di rumah, Syama sering cerita tentang kegiatannya.

Zizi pun demikian. Ia tidak langsung bisa lancar mengajar tapi karena terus-menerus dilakukan, lama-lama ia terampil. Keterbatasannya tak menghambat potensinya. Zizi bisa saja menolak menjadi pengajar. Namun, ia mengambil momentum untuk terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan, kalau baik Syama, Bela maupun Zizi tidak berhenti dan puas dengan “lompatan” yang terjadi, bisa jadi ada probabilitas terjadinya Quantum Leap di momentum lain dalam hidup mereka.

Pertanyaan untuk kita refleksikan bersama: apakah saat momentum tiba, kita sudah siap untuk menembus batas-batas nalar kita? Kalau pun belum siap, apakah kita berani memulai? Ataukah kita menyerah karena merasa batas tersebut mustahil ditembus?

Setiap Orang Bisa Mengajari, Namun Mereka Belum Tentu Menjadi Pengajar Yang Baik

Setiap Orang Bisa Mengajari, Namun Mereka Belum Tentu Menjadi Pengajar Yang Baik

“Pendidikan Adalah Senjata Paling Mematikan Di Dunia, Karena Dengan Pendidikan Anda Dapat Mengubah Dunia.” –  Nelson Mandela

Dunia banyak berubah karena semakin banyak orang yang melek akan pendidikan. Tentu hal ini tidak terlepas dari peran pengajar yang berdedikasi. Kompetensi seorang pengajar tentu harus memenuhi kualifikasi yang baik agar semakin banyak generasi cerdas yang lahir dari pendidikan yang tepat. Sayangnya banyak orang yang mengira jika pengajar yang baik dinilai dari gelar yang berhasil diperoleh.

Padahal menjadi seorang pengajar tak harus memiliki gelar tentu, siapapun bisa mengajari asal ada keinginan untuk memberikan pemahaman keilmuan ke orang lain. Namun memberikan pemahaman akan suatu ilmu juga tidak boleh asal, ingat apa yang kita sampaikan kepada orang lain juga harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu, tidak mudah menjadi seorang pengajar, mereka harus memenuhi beberapa kualifikasi agar menjadi pengajar yang baik. Berikut ini merupakan kualifikasi pengajar yang baik, antara lain:

1.      Selalu punya energi untuk peserta didiknya

Umumnya seorang pengajar yang baik akan menaruh perhatian pada setiap peserta didiknya baik itu dalam percakapan biasa ataupun diskusi. Seorang pengajar sebaiknya memiliki kemampuan menjadi pendengar yang baik untuk peserta didiknya.

2.      Memiliki tujuan yang jelas dalam mengajar

Bukan hanya peserta didik saja, namun seorang pengajar juga harus memiliki tujuan yang jelas selama proses mengajar. Sehingga ia akan bekerja penuh agar tujuan tersebut dapat tercapai.

3.      Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif

Seorang tenaga pengajar yang baik tentu harus memiliki kemampuan disiplin yang efektif. Hal ini bertujuan untuk mengajak peserta didiknya melakukan perubahan perilaku positif selama proses belajar mengajar.

4.      Memiliki keterampilan dalam mengelola ruang belajar dengan baik

Ruang belajar bukan hanya tentang kelas dalam bentuk fisik, namun juga diskusi-diskusi virtual. Seorang pengajar yang baik tentu memiliki keterampilan dalam mengelola ruang belajarnya. Ia harus memastikan proses belajar dan bekerja berjalan secara kondusif dan efektif.

5.      Membangun komunikasi yang baik dengan orangtua

Pengajar yang baik adalah mereka yang mampu menjaga komunikasi terbuka dengan para orangtua, serta memberikan kabar tentang perkembangan anak-anaknya selama proses. Seperti perilaku, kedisiplinan, kemampuan yang dimiliki, dan isu lainnya.

6.      Memiliki harapan yang besar pada setiap peserta didiknya

Umumnya orangtualah yang memiliki harapan besar terhadap pendidikan anaknya, namun pengajar yang baik juga memiliki harapan kepada setiap peserta didiknya. Sehingga mereka akan memberikan dorongan agar setiap peserta didiknya terus bekerja keras.

7.      Memiliki pengetahuan tentang kurikulum

Kurikulum adalah hal yang penting dalam pendidikan, untuk itu seorang pengajar harus memiliki pengetahuan tentang kurikulum tersebut serta standar-standar pendidikan lainnya.

8.      Pengetahuan tentang subjek yang diajarkan

Pengajar tentu harus memiliki pengetahuan  yang luas dan memiliki minat terhadap subjek yang diajarkan. Sehingga mereka akan siap untuk menjawab pertanyaan dan membuat suasana belajar menjadi lebih menarik.

9.      Memberikan yang terbaik untuk peserta didiknya

Seorang pengajar yang baik umumnya memiliki gairah untuk berbagi ilmu dan bekerja bersama peserta didiknya.

10. Punya hubungan yang berkualitas dengan peserta didik

Pengajar yang baik adalah pengajar yang mampu membangun hubungan yang kuat dan saling menghargai dengan peserta didiknya. Hubungan yang dibangun memiliki landasan kepercayaan yang kuat.

11. Mengajarkan peserta didiknya untuk belajar bagaimana cara belajar

Padat proses ini berarti pengajar membiarkan peserta didiknya menemukan sendiri pertanyaannya atau pertanyaan yang diajukan kepada peserta didiknya.

12. Memiliki sifat baik kepada sesama pengajar

Pengajar bukan hanya memberikan pemahaman keilmuan tapi juga memberikan contoh yang baik. Sifat yang baik seperti rendah hati, mau berbagi ilmu, fleksibel, dan berprasangka baik.

13. Memiliki pengetahuan yang memumpuni terkait media sosial

Sosial media kini menjadi sebuah gaya hidup. Banyak orang yang berperilaku baik di dunia nyata namun jahat di dunia maya. Sebagai seorang pengajar tentu mereka juga harus besikap bijak dan beretika dalam menggunakan media sosial.

Demikian kualifikasi pengajar yang baik, hal ini bukan hanya berlaku kepada tutor. Namun juga berlaku kepada orang dewasa lain yang mendampingi proses belajar anak.

Perlukah Menanamkan Jiwa Kompetitif Pada Anak?

Perlukah Menanamkan Jiwa Kompetitif Pada Anak?

Siapa yang tak bangga ketika melihat anak meraih juara dalam sebuah kompetisi? Mengikutsertakan anak dalam sebuah kompetisi atau perlombaan tentu memberikan banyak dampak, seperti menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri, menjadi dorongan untuk belajar lebih, dan menumbuhkan jiwa kompetitif. Tentu tak ada salahnya mengajak anak untuk mengikuti berbagai lomba selagi belum dewasa. Akan tetapi orangtua harus berhati-hati, karena biasanya ambisi pribadi orangtua sering kali terlibat dalam hal ini.

Sayangnya di luar sana banyak orangtua yang ingin anaknya memenangkan perlombaan sehingga menuntut anak menjadi pemenang. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pertumbuhan anak, mereka akan mendapatkan tekanan mental yang cukup besar. Apalagi jika anak tak berhasil memenangkan perlombaan, mereka akan menyalahkan diri sendiri dan menunjukkan rasa kekecewaannya baik itu langsung maupun tidak. Jika hal ini terus terjadi, anak akan menjadi rendah diri, dan terlalu berambisi. Terlalu ambisius membuat anak melakukan berbagai cara untuk menjadi pemenangnya, tanpa peduli apakah cara yang mereka lakukan itu jujur ataupun curang.

Pada kondisi itu tentu sikap kompetitif sudah tidak sehat. Jiwa kompetitif yang seharusnya mendukung anak untuk berkembang secara mental dan kemampuan, justru membuat mereka tertekan. Untuk itu, sebagai orangtua anda perlu memahami  bagaimana anak memiliki sifat kompetitif yang sehat.

Perlu dipahami jika berkompetisi tak berarti bersaing dengan orang lain, namun anak bersaing dengan dirinya sendiri. Anak harus mengusahakan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Sayangnya banyak orangtua yang tidak memahami perkara ini, sehingga mereka justru meminta anak untuk menjadi terbaik diantara teman-temannya. Untuk itu, ada kiat-kiat yang dapat diterapkan oleh orangtua untuk menumbuhkan jiwa kompetisi yang sehat pada anak.

1.      Tanamkan konsep positif tentang kompetisi

Katakan pada anak jika pencapaian bukan hanya tentang memenangkan sesuatu, akan tetapi memiliki tujuan yang jelas dan usaha meraihnya. Jika seandainya mereka mengalami kegagalan, itu bukan masalah besar, mereka justru memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman tersebut.

2.      Jadilah role model yang baik untuk anak

Anak adalah peniru yang baik. Untuk mencontohkan bagaimana persaingan yang sehat kepada anak anda bisa mengajak anak bermain bersama. berikan sikap yang baik saat anda mengalami kekalahan dan bagaimana anda memenangkan permainan.

3.      Bangun rasa empati

Kompetisi akan menjadi sehat jika orangtua mengajarkan kepada anak untuk menomorsatukan pertemanan yang baik. Ajak anak untuk tidak memikirkan dirinya sendri saja, serta membangun hubungan interpersonal yang baik. Katakan padanya jika menang dan kalah adalah hal yang biasa.

4.      Tekankan pada motivasi intrinsik

Dalam suatu kompetisi, seseorang bukan hanya di dorong oleh faktor-faktor luar seperti, kemenangan, piala, piagam, atau uang. Namun, ada faktor dari dalam diri yang turut mendorong seperti kegembiraan dan pengembangan diri. Tekankan dorongan pada anak yang bersifat intrinsik, misalnya menjadi pribadi yang lebih kuat secara mental, menumbuhkan rasa percaya diri, dan lain-lain.

5.      Keseimbangan itu penting

Ingat kemenangan bukan segalanya, saat anak merasa sedih karena tak meraih hasil yang memuaskan, maka orangtua harus memberikan apresiasi dan dorongan positif. Katakan pada anak jika ia telah mengusahakan yang terbaik. Mungkin saja, hari ini bukan hari keberuntungannya.

Ingat kompetisi yang sehat bukan berfokus pada kemenangan, namun proses yang dijalani oleh anak. Mulailah tanamkan mindset pada diri sendiri dan anak jika setiap perjuangan tentu selalu ada usaha dan progres untuk lebih berkembang.

Nilai Dibalik Kata “Gotong Royong” Dan Penerapannya Dalam Dunia Pendidikan

Nilai Dibalik Kata “Gotong Royong” Dan Penerapannya Dalam Dunia Pendidikan

“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua”

Itulah sepenggal pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Gotong royong sebenarnya bukan sebuah istilah yang baru dikumandangkan pada zaman penjajahan, namun sudah lama dinarasikan oleh para leluhur.

Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat yang mau menolong sesama. Hal ini diwujudkan pada beberapa momen seperti kerja bakti membangun fasilitas umum, membersihkan lingkungan sekitar, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, bahkan menolong dengan berbagai bentuk sumbangan pada korban bencana alam.

Misalnya saja Tradisi Masyarakat Jawa yang bernama “Sinoman”. Sinoman sangat identik dengan acara pernikahan, akan tetapi sinoman juga ada pada beberapa penyelenggaraan acara lain dalam tradisi Jawa. Sinoman umumnya terdiri dari ibu-ibu yang membantu memasak di dapur, dan para pemuda desa dan beberapa bapak-bapak mendirikan tenda atau menata kursi dan meja untuk para tamu undangan. Saat hari pernikahan tiba, keluarga besan serta para tamu undangan hadir di acara pernikahan maka para sinoman akan bertindak sebagai pramusaji.

Umumnya gotong royong bersifat suka rela dengan tujuan untuk memperlancar suatu pekerjaan. Gotong royong telah menjadi kepribadian dan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa ini, ada beberapa unsur yang melekat di dalamnya yakni kesatuan, kebersamaan, kekeluargaan, dan kerukunan.

Lalu bagaimana penerapan gotong royong dalam dunia pendidikan?

Gotong royong bisa terwujud pada beberapa hal misalnya dalam tugas kelompok ataupun student club, kegiatan ini akan membuat anak-anak saling berdiskusi untuk menyelesaikan tugas kelompoknya. Mereka akan membagi tugas secara adil dan sesuai kemampuan masing-masing.

Selain itu gotong royong juga bisa diwujudkan dalam kegiatan lain seperti saat membersihkan lingkungan belajar, ataupun menolong temannya yang tengah mengalami musibah. Di masa pandemi seperti sekarang ini wujud dari gotong royong dalam dunia pendidikan bukan hanya melibatkan peserta didik (anak-anak) saja, namun guru dan orangtua juga bisa turut terlibat.

Di kondisi yang serba terbatas dan berubah ini, bisa dikatakan jika Indonesia mengalami “Revolusi pembelajaran.” Pembelajaran yang umumnya dilakukan secara tatap muka menjadi pembelajaran daring. Meskipun sudah lama berlalu, namun beberapa orangtua, guru, ataupun anak masih gagap dengan sistem pembelajaran yang daring ini. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, minimnya fasilitas yang memadai seperti internet, device, hingga materi belajar.

Untuk itu, sikap gotong royong sangat dibutuhkan. Dimana baik pengajar, orangtua dan anak saling berkolaborasi menutupi kekurangan masing-masing. Pihak pengajar akan menyusun desain pembelajaran daring yang nantinya disampaikan kepada setiap orangtua. Orangtua akan bertugas mengawasi selama proses pembelajaran anak, serta memberikan fasilitas yang dibutuhkan. Sedangkan anak, akan menjalankan proses belajar dengan baik yang nantinya mereka memberikan saran dari desain pembelajaran yang dibuat oleh pengajar.

Dengan bergotong royong maka kepentingan umum seperti terpenuhinya kebutuhan pendidikan setiap orang akan berjalan dengan baik. Kesejahteraan bersama akan diperoleh asal setiap masyarakat berintegrasi dan menyesuaikan diri demi kepentingan bersama.

Menumbuhkan Kebiasaan Belajar Mandiri Di Rumah Dengan Bimbingan Dari Pengajar dan Orang Sekitar

Menumbuhkan Kebiasaan Belajar Mandiri Di Rumah Dengan Bimbingan Dari Pengajar dan Orang Sekitar

Belajar adalah sebuah proses panjang yang bukan hanya terjadi dalam bersekolah saja, namun proses belajar berlangsung seumur hidup. Itu artinya proses belajar tetap berjalan meskipun sudah di rumah dan tidak bertemu dengan para pengajar. Sejatinya belajar bukan hanya tentang menghafal atau memahami materi saja, tapi belajar juga berkaitan dengan menjalin hubungan yang baik antara anak dengan pengajarnya, begitupun sebaliknya. Adanya hubungan erat antara pengajar dan anak akan menimbulkan dampak positif, seperti muncul dorongan untuk lebih bersemangat untuk memahami hal baru.

Namun dalam situasi pandemi seperti ini, pertemuan antara pengajar dan anak menjadi terbatas. Proses belajar di rumah menjadi tantangan tersendiri. Minimnya interaksi secara langsung tentu hal ini membuat anak harus belajar dengan cara baru, yakni belajar mandiri. Setelah jam belajar bersama pengajar selesai, maka anak memiliki tanggung jawab untuk bereksplorasi dari materi yang sudah diberikan.

Dengan belajar secara mandiri, membantu anak dalam memecahkan persoalan yang terkait proses belajarnya secara mandiri dan hal ini tentu saja bagus untuk bekal kehidupannya kedepan. Namun belajar secara mandiri tetaplah bukan hal yang mudah bagi anak, apalagi jika sebelumnya belum pernah dilakukan. Untuk itu, simak penjelasan berikut ini untuk membantu dalam mendapingi anak dalam proses belajar mandiri:

1.      Buatlah jadwal belajar dengan baik

Belajar mandiri memang tidak mudah, perlu komitmen yang besar pada diri anak. Agar mempermudah proses belajar langkah awal yang harus dilakukan adalah membuat ‘to-do-list’ dengan menuliskan semua kegiatan yang harus dikerjakan dalam satu hari. Dari kegiatan-kegiatan tersebut selanjutnya urutkan kegiatan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, proses ini harus berdasarkan skala prioritas. Anak juga bisa menyertakan jam belajar bersama pengajar dan belajar secara mandiri.

2.      Buat porsi belajar yang pas

Saat anak tengah bersemangat, seringkali mereka jadi lupa waktu dan justru terus belajar tanpa ingat waktu. Walau seakan terlihat baik tapi sebenarnya hal ini akan menjadi kurang efektif bagi proses belajarnya. Saat belajar mandiri anak harus pandai mengatur waktu belajar dan istirahat. Anda bisa membantunya membuat perkiraan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar begitupun juga dengan istirahat.

3.      Jangan ragu untuk melibatkan orang lain sebagai bentuk dari inisiatif

Belajar mandiri bukan berarti anak harus menyelesaikannya semuanya sendiri. Tentu ada beberapa kemampuan yang tak dimiliki anak dan sulit untuk menyelesaikannya sendiri. Pada saat ini maka biarkan anak berinisiatif untuk melibatkan orang lain selama proses belajarnya. Munculnya inisiatif merupakan bagian dari kemandirian, dalam konteks belajar di rumah, anak bisa berinisiatif dengan melibatkan orang lain seperti orangtua ataupun kakak. Misalnya orangtua dapat membantu anak untuk mengevaluasi pemahaman mereka terhadap suatu materi.

4.      Fokus!

Jika ketiga poin di atas sudah dilakukan maka yang terakhir adalah FOKUS. Selama proses belajar jauhkan diri dari berbagai benda yang mendistraksi. Jika perlu buat peratuan, benda-benda seperti remote TV, handphone, game, dan lainnya bisa disentuh setelah proses belajar selesai. Jika proses belajar anak menggunakan gawai, maka anda bisa membuat peraturan aplikasi mana saja yang boleh dibuka selama belajar.

Belajar secara mandiri memang tidak mudah, oleh sebab itu orang tua atau pendamping juga perlu terlibat dalam proses belajar anak. Orang tua tak hanya sebagai pengawar semata, namun juga memainkan peran sebagai sumber dukungan positif bagi anak agar makin termotivasi pada proses belajar mandiri yang sedang dijalaninya.

Melebur Dengan Lingkungan, Upaya-Upaya Menjadi Pribadi Yang Adaptif

Melebur Dengan Lingkungan, Upaya-Upaya Menjadi Pribadi Yang Adaptif

Hidup ini terus mengalami perubahan, dari zaman berkomunikasi menggunakan surat kini berubah hanya melalui pesan singkat digital. Dunia berubah seiring berkembangnya zaman, perubahan ini turut mengubah berbagai budaya dan kebiasaan masyarakat secara global.

Misalnya saja masa pandemi seperti ini, ada banyak perubahan yang kita alami. Seperti semua kegiatan dilakukan secara online, pembatasan pergi ke beberapa tempat, dan keterbatasan bertemu secara tatap muka dengan orang lain.  Ada banyak perubahan yang kita alami, sehingga menuntut kita beradaptasi dengan perubahan kondisi.

Menjadi pribadi yang adaptif dengan kondisi sekitar tentu sangat dibutuhkan di masa sekarang. Bukan hanya dalam kondisi pandemi seperti ini, sikap adaptif juga diperlukan saat anda berada di lingkungan yang baru, berada di lingkungan yang heterogen, dan lain sebagainya. Meskipun perubahan itu sebuah hal yang mutlak, namun ternyata ada beberapa orang yang justru bersikap menolak atas perubahan. Mereka merasa kondisi yang baru sebaiknya tidak terjadi dan menyalahkan orang lain atas perubahan yang terjadi. Tentu sikap seperti ini yang akan menghambat perkembangan hidup seseorang.

Sebagai makhluk sosial tentu kita tidak bisa hidup sendirian, ada orang lain dan lingkungan sekitar yang mencukupi kebutuhan hidup. Kemampuan beradaptasi sangatlah dibutuhkan setiap saat. Untuk itu ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menjadi pribadi yang adaptif di berbagai lingkungan dan perubahan.

1.      Menerimanya dengan ikhlas

Memang menyadari jika dunia telah berubah adalah hal yang cukup sulit. Namun kita harus menyadari jika dunia ini penuh dengan misteri, ada banyak hal yang tak terduga lainnya menanti kita. Untuk itu, kita harus bersiap setiap saat, karena ada banyak orang yang memiliki sifat berbeda-beda dan kita tak bisa hidup sendirian. Bersikap adaptif akan membuat kita lebih tenang dalam mengatasi berbagai masalah, serta dapat bertahan hidup lebih lama.

2.      Bersikaplah proaktif

Saat kita berada di lingkungan baru entah itu tempat tinggal, tempat kerja, atau bahkan tempat yang memiliki budaya berbeda, maka hal yang harus dilakukan adalah bersikap proaktif. Jangan malu untuk memulai berinteraksi terlebih dahulu. Misalnya saat pandemi seperti ini, jangan hanya diam saja. Carilah informasi yang harus dilakukan agar kita bisa terhindar dari paparan virus. Kita bisa mencarinya melalui internet atau bertanya dengan ahli. Menjadi proaktif menjadi salah satu langkah untuk hidup lebih luwes. Sikap proaktif juga membuat kita lebih mengenal lingkungan baru.

3.      Kenali bagaimana lingkungan kita saat ini

Mengenal lingkungan sekitar menjadi hal yang tak boleh diabaikan. Karena hal ini dapat memudahkan segala urusan kita. Cobalah untuk menengok sebentar apa yang terjadi di luar sana, amati setiap benda-benda yang ada di sekitar tempat kita. Mengamati lingkungan akan membuat kita lebih menyadari dimana kita sekarang dan apa yang harus dilakukan berikutnya.

4.      Lebih komunikatif

Komunikasi adalah salah satu unsur penting dalam menjalin relasi. Komunikasi bukan hanya bahasa saja, namun juga media. Di era yang serba digital sekarang tentu kita tak perlu khawatir untuk memberi kabar atau menyampaikan informasi kepada yang lain. Berkomunikasi dengan orang lain bukan hanya untuk keperluan tertentu (seperti pendidikan, pekerjaan, ataupun kekeluargaan). Komunikasi bisa berupa memberikan dukungan untuk saling menguatkan di kala dunia telah berubah. Memberi dukungan satu sama lain akan membuat kita tidak terbebani dalam menjalani perubahan kondisi baru.

Dunia memang tidak pernah bisa diprediksi, untuk itu kita harus bersikap adaptif. Meleburkan diri dengan segala bentuk kondisi yang ada di bumi.

Januari 2021 anak masuk sekolah tatap muka?

Akhir-akhir ini group orangtua murid dipenuhi dengan diskusi rencana dibukanya kembali sekolah tatap muka setelah 10 bulan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) akibat pandemi. Pro dan kontra tidak terelakkan lagi. Hal ini dipicu oleh pernyataan Mas Menteri Pendidikan & Kebudayaan beberapa waktu lalu.

Banyak yang tidak memahami kebijakan Mas Menteri tersebut secara utuh. Jika kita menyimak baik-baik, BUKAN KELAS TATAP MUKA DIMULAI JANUARI 2021, tetapi mulai Januari 2021 awal semester pembelajaran baru, keputusan sekolah akan tatap muka atau daring diserahkan kepada 3 pihak, yaitu:
– Kepala Daerah setempat
– Kepala Sekolah
– Orangtua (POMG)

Kenapa begitu?
Saya termasuk yang setuju dengan keputusan Kemendikbud tersebut. Karena Indonesia ini luas dan wilayah kepulauan. Kondisi satu wilayah dengan yang lain bisa sangat berbeda. Begitu pun tingkat resiko penyebaran virus Covid 19. Yang paling tahu adalah Kepala Pemerintahan setempat, bukan Mas Menteri atau Menkes. Jadi sudah selayaknya keputusan sekolah dibuka atau tidak, kewenangannya ada di tingkat lokal.

Dan bukan hanya Kepala Daerah, tetapi harus sepersetujuan Kepala sekolah serta orangtua. Ketiga pihak harus menyetujui apakah sekolah akan dibuka lagi atau belum. Jika salah satu pihak saja tidak setuju, maka PJJ tetap dilakukan.

Jika pun ketiga pihak setuju sekolah dibuka, masing-masing orangtua masih berhak untuk menolak dan anaknya tetap harus difasilitasi untuk PJJ.

Selain kondisi setiap daerah berbeda, kondisi setiap keluarga pun berbeda. Ada yang cukup rentan secara kesehatan sehingga sekolah tatap muka walau di zona hijau tetap berisiko.

Mari belajar untuk menyerap informasi secara utuh dan mencerna dengan baik sebelum ribut dan menyebarkan keresahan. Bukan Mas Menteri mengijinkan Januari 2021 sekolah dibuka lagi, tetapi keputusan sekolah dibuka lagi atau tidak ada di 3 pihak tersebut. Sebagai orangtua, mari secara aktif berkomunikasi dengan sekolah, ambil keputusan terbaik. Bagaimana pun kesehatan anak-guru-staf adalah yang utama.

Note tambahan:
Keputusan 3 pihak tersebut tetap dalam pengawasan Gugus Tugas Covid -19, Pemerintah pusat tetap menjadi penanggung jawab utama.

Kalau saya sendiri sebagai orangtua, apakah mengizinkan anaknya masuk sekolah tatap muka lagi? Gila aja Jakarta Desember ini merah membara nyaris hitam gitu lo! Januari masih gak yakin langsung ijo royo-royo. Fokus aja dulu di PAS (penilaian akhir semester), Januari kita ributkan eh pikir nanti. Oke?

dimuat ulang dari https://www.facebook.com/niswati atas izin Ainun Niswa, 4 Desember 2020.