Posts

Sekolah Yang Membebaskan (2)

Landasan Rasional

Sekolah yang membebaskan bukan hanya sekadar slogan dan jargon tetapi punya tanda dan ciri yang bisa dikenali. Diantaranya adalah tidak pernah ada pembiasaan suatu perbuatan tanpa landasan pemikiran yang rasional yang dijelaskan kepada siswa. Ciri lainnya adalah cinta atau welas asih yang merupakan kebijakan dan pedoman pembelajaran yang dibangun berdasarkan konstruksi pengetahuan yang kokoh.

Korban Kebiasaan

Alkisah, di zaman Hitler ada tiga orang tawanan yang ditangkap dan dipenjarakan. Singkat cerita, tiga tawanan tersebut memilih berupaya untuk melarikan diri dari penjara daripada hanya menunggu waktu dan giliran untuk menerima vonis kematian.

Dan akhirnya berhasillah mereka melarikan diri. Setelah merasa aman dan jauh dari penjara, saat  ketiganya akan berpelukan, tiba-tiba satu orang dari mereka melangkah mundur dan berencana kembali ke penjara.

Dua temannya tentu saja kaget dan bingung melihat sikap teman yang satu ini. Lalu keduanya bertanya, apa alasanmu ingin kembali mendekam di penjara, padahal kamu tahu bahwa akhir dari nasibmu adalah kematian dan bila mereka menangkapmu setelah kamu melarikan diri dari penjara tentu sebelum dibunuh engkau akan disiksa dengan berbagai siksaan yang pedih.

Dengan enteng, ia  menjawab:  kalau aku bebas dari penjara bagaimana aku mendapatkan kerjaan dan makan secara teratur? Sementara di penjara, hidupku begitu teratur dan terbiasa dengan makan dan minum di jam-jam tertentu. Ini lebih aku sukai daripada hidup di alam bebas tapi serba tidak menentu.

Demikianlah pola pikir dan sikap orang yang menjadi korban kebiasaan. Ia lebih memilih mati secara tragis, asal tidak keluar dari zona kenyamanan dan kebiasaan yang selama ini dilakukannya.

Sang Guru berkata
janganlah kalian tertipu 
dengan banyaknya ibadah seseorang
karena mungkin itu 
sekedar kebiasaan yang dilakukan
tetapi nilailah seseorang dengan kejujuran 
dalam berbicara dan menunaikan amanat

Banyak guru yang berupaya menanamkan perilaku baik kepada anak didiknya dengan cara sekedar membiasakan mereka untuk mengerjakan dan mengulang-ulang suatu kebiasaan tertentu.

Pembiasaan suatu aktivitas menjadi tidak bagus ketika tidak dibangun dengan nalar yang bisa dipahami oleh siswa. Siswa mestinya dipahamkan kenapa mereka melakukan kebiasaan itu: apa manfaat dan madaratnya. Apa urgensinnya, apa kebaikannya.

Jika tidak, alih-alih membebaskan, kebiasaan bisa memenjarakan. Kebiasaan tanpa pemahaman rasional, sering membentuk kepribadian ganda: terlihat disiplin di lingkungan tertentu, tapi tidak tampak di lingkungan lain.

Mengenali Dulu, Mencintai Kemudian

Berapa banyak orang yang memuja tanpa terlebih dahulu mengenalinya. Bukankah akal bak lentera yang menuntun kita untuk berjalan dan melangkah secara benar?

Sadar atau tidak, kita terlalu emosional dan tidak rasional, sehingga gampang percaya dan mudah meriwayatkan kebohongan. Gampang menerima hoax dan gagal memberdayakan akal karuniaNya yang besar.

Sekolah yang membebaskan, memberikan perhatian besar pada pendidikan rasional sedari dini. Pemikiran yang logis dan tidak kontradiktif, karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bertemu.

Makrifat

Makrifat melahirkan cinta dan cinta menciptakan pengabdian. Di sekolah yang membebaskan, anda akan bertemu siswa pecinta yang rasional.

 

Don’t Read This Book

Buku cetakan ke-4 thn 2018, dimana pertama kali terbit tahun 2016 di Amsterdam Netherlands ini, sangat menarik untuk dibaca bagi generasi Z. Generasi yang serba cepat mendapatkan, cepat berubah dan cepat bosan (seringnya begitu). Keserbacepatan ini membelenggu mereka dan hanya cintalah yang akan membebaskan mereka dari belenggu zaman ini.

 

Buku ini bisa dibeli di Amazon atau di Tokopedia

Sekolah Yang Membebaskan (1)

Kebebasan

Kebebasan adalah hadiah terbaik dan terindah yang dipersembahkan oleh Tuhan kepada manusia. Mengapa? Karena satu-satunya makhluk yang diciptakan merdeka, memiliki ikhtiar dan bisa mengubah dirinya sendiri adalah manusia.

Sang Guru berkata
janganlah engkau menjadi budak alias tawanan orang lain
karena Tuhan melahirkanmu sebagai orang yang merdeka

Sekolah sebagai wahana belajar dan ekspresi kreativitas siswa harus menjadi tempat yang membebaskan siswa untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai dan tidak menjadi “penjara” yang mengekang kebebasan dan justru membuat anak-anak terasing dengan dirinya sendiri; terasing dengan cita-cita dan kesukaannya.

Anak-anak bukan hanya menjalankan perintah-perintah dan aturan-aturan yang sudah didesain dan ditentukan oleh sekolah dan guru-gurunya, tapi mereka disadarkan untuk berkarya dan melakukan hal-hal yang menumbuhkan kemampuannya.

Kontrak Belajar

Mestinya anak-anak sejak semula terikat kontrak belajar untuk menentukan sendiri sekarang mau jadi apa dan berupaya sungguh-sungguh untuk melakukan aktivitas yang mendukung kemajuan pilihan cita-cita yang ditetapkannya. Orangtua seyogianya membebaskan anaknya dan mendukung anaknya mewujudkan kemampuannya. Orangtua tidak seharusnya memaksa anak mengikuti semua keinginannya dan mencetaknya seperti dirinya tanpa melibatkan kehendak dan kesukaan serta kenyamanan anaknya. Ingat, anak kita terlahir bukan di zaman kita dan metode pendidikan pun sudah banyak berubah.

Tidak sedikit anak-anak yang seperti robot yang harus menuruti apa keinginan pemiliknya.  Mereka pergi ke sekolah hanya untuk memenuhi harapan orangtuanya sementara mereka sendiri tidak menikmati keberadaannya di sekolah dan masa belajarnya semua dilakukan dengan terpaksa dan ketidaknyamanan.

Bebaskan Ruhku

Ya, di sana banyak batin yang menjerit dan berteriak, wahai ayah, wahai ibu, biarkan dan izinkan aku menjadi diriku sendiri seperti yang aku inginkan dan aku suka! Carikan sekolah yang membebaskan ruhku! Jangan jadikan sekolah sebagai penjara tahunanku! Aku perlu guru sang pembebas? Aku harus cari guru yang membantu kebebasanku dari tawanan raga dan nafsu amarah! Aku harus pastikan sekolah menjadi rumah keduaku dan surga kebahagiaanku.

Sa'di berkata
Bila sekolah membebaskan dan menyenangkan
hari libur pun para siswa merengek minta masuk sekolah