Mengkultuskan Ujian dan Ijazah ?

“Ki Hajar ternyata pernah mengkritik pendidikan nasional kita. Ini sebenarnya kita sudah merespons dalam Merdeka Belajar, kita coba untuk memindahkan fokus dari Ujian Nasional yang berbasis kepada mapel, kepada Asesmen Kompetensi Minimum yang sifatnya literasi, numerasi, karakter. Sifatnya lintas mapel dan fleksibel,”

Demikian ungkap Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud, Iwan Syahril pada webinar bertema “Kebijakan Pendidikan terkait Guru dan Tenaga Kependidikan” yang diselenggarakan oleh Pusdatin Kemendikbud, Selasa (15/9/2020).

Dan beliau memandang apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara berikut, layak untuk dijadikan bahan refleksi tentang kondisi saat ini.

“Ini pesan Ki Hajar di tahun 1956 dan saya rasa ini masih relevan untuk kita berefleksi apakah kita sudah bergerak dari sini atau masih tergerak dalam cara berpikir yang mengultuskan ujian dan tidak menumbuhkembangkan secara holistik. Jadi ini sebenarnya sudah lama diingatkan oleh bapak pendidikan kita,”

Ki Hajar pernah melakukan kritik terhadap pendidikan Indonesia melalui pernyataannya pada tahun 1956:

“Kita lihat di zaman sekarang masih terpakainya bentuk-bentuk rumah sekolah, daftar-daftar pelajaran yang tidak memberi cukup semangat mencari ilmu pengetahuan sendiri, karena tiap-tiap hari, tiap-tiap tri wulan, tiap-tiap tahun, pelajar-pelajar kita terus menerus terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualis. Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raport-nya atau untuk dapat ijazah. Dalam soal ini sebaiknyalah kita para pemimpin perguruan, bersama-sama dengan Kementerian P.P. dan K, mencari bagaimana caranya kita dapat memberantas penyakit examen cultus dan diploma jacht itu.

Examen cultus berarti mengultuskan ujian. Sedangkan diploma jacht berarti mengejar-ngejar ijazah.

referensi:
https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/memberantas-penyakit-yang-mengultuskan-ujian (17 September 2020)

Paket A Mulai Kelas 1 atau 4 ?

Paket A dimulai dari awal Tingkatan 1 (Kelas I).
Calon peserta didik bisa langsung ke Tingkatan 2 (Kelas IV) jika memiliki satu dari dua hal ini:
– sertifikat SUKMA Lanjutan (Surat Keterangan Melek Aksara Lanjutan), atau
– memiliki rapor kelas III semester genap SD/MI

Untuk diketahui, pembagian Tingkat dan Kelas saat ini adalah sebagai berikut:
– Tingkat 1 (Kelas I – III) – SD
– Tingkat 2 (Kelas IV – VI) – SD
– Tingkat 3 (Kelas VII – VIII) – SMP
– Tingkat 4 (Kelas IX) – SMP
– Tingkat 5 (Kelas X) – SMA
– Tingkat 6 (Kelas XI – XII) – SMA

Pembelajaran di Tingkat 1 (Kelas I – III)

Hakekat muatan kurikulum Tingkat 1 adalah : membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tingkatan 1 lebih membutuhkan bahan ajar dengan pendekatan tematik, bukan mata pelajaran. Karena peserta didik (dalam usia sekolah) di tingkat 1 ini belum bisa membaca dan belajar secara mandiri.

Bahan ajar tematik ini berdasarkan silabus atau kompetensi dasar yang sudah diterbitkan oleh Kemendikbud. Bahan ajar ini bisa sangat berbeda antar wilayah, sesuai dengan kondisi dna lingkungan wilayahnya sendiri-sendiri.

referensi:
https://fauziep.com/tingkatan-1-tidak-ada-modul-kenapa/ (4 September 2020)

catatan:
Pbx sudah mencoba, tetapi belum mendapatkan kepastian apakah ujian utk mendapatkan sertifikat SUKMA ini bisa dikerjakan secara daring atau tdk, di era wabah corona ini. Mengingat saat ini banyak anak HS yg tdk pernah bersekolah sama sekali dan ketika menginjak usia 10 tahun, ingin langsung masuk kelas 4 SD (Tingkat 2). Dimana kebanyakan mereka belajarnya di https://www.ixl.com/ atau situs online lainnya, dengan hasil nilai yang bagus kalau dinilai dari *kemampuan calistung* nya.