Menjadi Seorang Life-Long Learner

Menurut World Economic Forum, organisasi yang melakukan riset terkait skill atau keterampilan yang dibutuhkan di masa depan, di tahun 2025, diprediksi bahwa manusia dan mesin akan bekerja secara berdampingan untuk menyelesaikan 85 juta peluang kerja yang ada. Untuk itu, setidaknya 50% orang yang bekerja perlu menambah dan memperbaiki skill supaya bisa bertahan di industri.

Tuntutan tersebut ada karena perkembangan teknologi yang semakin cepat tiap tahunnya. Kalau kita tidak bisa beradaptasi, kita bisa terancam digantikan oleh mesin seperti Artificial Intelligence yang biasa disingkat AI. Diprediksi akan ada 85 juta pekerjaan yang tergantikan oleh kehadiran AI ini.

Kabar baiknya, justru dengan kemajuan teknologi, ada peluang 97 juta pekerjaan baru yang tercipta di 26 negara pada tahun 2025. Salah satu skill yang dibutuhkan adalah active learning and learning strategy yaitu keterampilan dalam memperkuat pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk sukses dalam pekerjaan.

Active Learning and Learning Strategy dalam Piwulang Becik

Dalam artikel sebelumnya mengenai pendampingan, disebutkan sekilas mengenai studio 3D yang dikelola oleh Reza sebagai manajer teknis dan Mega sebagai manajer SDM. Pemilik studio tersebut adalah Husayn Akmal Prasetya, seorang lulusan arsitektur dari Architectural Institute in Prague. Dalam percakapan dengan Husayn atau akrab dipanggil Jack, ia menceritakan pengalamannya sampai akhirnya membuka studio 3D.

“Ilmu arsitektur itu sering disebut mother of all arts. Jadi waktu di kampus itu belajar macem-macem. Mulai dari sosiologi, filosofi, fotografi, sampai bikin patung bahkan public speaking. Kita juga belajar banyak tools. Tapi karena waktunya singkat, biasanya kita ngulik sendiri. Karena pada akhirnya yang penting kan hasilnya, bukan pakai tools apa,” ujar Husayn.

Husayn juga menceritakan pengalamannya sebagai anak didikan homeschooling. Proses belajarnya tergantung pada minat saat itu. Mulai dari seni lukis, fotografi, bahkan belajar sepeda BMX dan berjualan. Proses yang dijalani Husayn ini merupakan pembelajaran active learning dan ia aplikasikan juga saat mendirikan studio 3D dan mendampingi tim yang kini berjumlah 10 orang.

“Ternyata apa yang dipelajari selama ini saling berhubungan. Contohnya soal ngulik. Inspirasinya dari pengalaman kuliah di mana aku dituntut untuk nyoba sendiri dan dampaknya positif. Jadi waktu mulai ada tim, anak-anak (tim) langsung disuruh terjun ngerjain project. Aku cuma kasih tau pakai software tertentu, pelajari sendiri, trus supervisi aja. Dari situ biasanya malah nemu caranya sendiri buat bikin sebuah karya.”

Terkait learning strategy, Husayn menjelaskan bahwa makin ke sini, proses kurasi yang ia jalani makin mengerucut. “Sekarang aku lebih bisa memilah fokus. Karena udah punya tim, prioritasnya udah bukan teknis lagi tapi belajar manajemen dan gimana mengelola studio.”

Keterampilan active learning and learning strategy ini membutuhkan kesadaran dan kemauan yang datang dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Brian Herbert:

“The capacity to learn is a gift; the ability to learn is a skill; the willingness to learn is a choice.”

Semoga kita semua senantiasa dimampukan untuk memilih peran menjadi life-long learner.

Pendampingan untuk Mengasah Kepemimpinan

Dalam dunia profesional maupun pendidikan, dikenal istilah mentoring atau pendampingan. Menurut Anderson dan Shannon (1998), proses pendampingan dilakukan oleh sosok yang memiliki bekal kemampuan dan pengalaman yang lebih banyak kepada seseorang yang masih memiliki intensitas kemampuan dan pengalaman yang terbilang minim.

Sosok yang mendampingi biasa disebut mentor, sementara yang didampingi dinamakan mentee. Interaksi dalam proses pendampingan ditujukan untuk peningkatan kemampuan mentee, baik soft skill maupun hard skill. Kesuksesan dalam pendampingan sangat bergantung pada kemauan mentee untuk terus belajar serta kepedulian yang tulus dari mentor untuk membantu mentee berkembang.

Selain itu, dalam pendampingan sangat dibutuhkan pendekatan personal untuk membangun chemistry antara mentor dan mentee. Harapannya, dengan adanya pendekatan ini, terbangun hubungan jangka panjang melampaui relasi yang bersifat teknis.

Proses Pendampingan dalam Piwulang Becik

Mega Herawati (foto tengah) yang kerap disapa Mega, seorang manajer SDM dalam proyek studio 3D, menyebutkan bahwa mentornya, Jack, saat ini menjadi teman yang cukup akrab. Sementara Reza Ahmad Prasetya (foto paling kiri) yang akrab dipanggil Reza, manajer teknis dalam proyek studio 3D yang sama dengan Mega, mengatakan bahwa hubungannya dengan salah satu mentee-nya, Rizky, kini melebur menjadi teman diskusi. Mereka membahas ide-ide kreatif, teknik baru dalam industri 3D, maupun topik di luar itu.

Proses pendampingan juga berlaku antar rekan kerja. “Reza dulu juga mentorku buat ngajarin gambar. Eh, sekarang malah kerja bareng,” kenang Mega sambil tertawa. Reza pun mengakui belajar banyak dari cara komunikasi Mega. “Aku dulu susah ngomong sama orang. Tapi aku perhatiin caranya Mega bangun suasana, jaga mood, dan aku coba praktekin sendiri.”

Menariknya, baik Mega dan Reza sepakat bahwa meski sebagai mentee mereka sangat terbantu dalam perkembangan diri, saat mereka berperan sebagai mentor, mereka juga belajar banyak.

“Kalau teknis sebetulnya bisa belajar dari Youtube, baca buku, atau latihan sendiri secara otodidak. Tapi dalam mentoring itu kita belajar non-teknis kayak adab dan gimana pendekatan ke orang yang berbeda-beda. Kalau yang emang suka, gas terus. Makin dikasih tantangan, mereka makin seneng. Kalau yang nggak terlalu minat 3D, pelan-pelan dampinginnya,” ujar Reza menceritakan pengalamannya mendampingi project-based learning di Piwulang Becik.

Sementara bagi Mega yang lebih fokus pada pengelolaan SDM, tantangannya berbeda lagi. “Pernah tuh ada yang curhat ke aku. Bosen ngerjain 3D katanya. Yaudah kita atur jadwal main bulutangkis atau basket. Yang penting timeline tetep kekejar.”

Hubungan yang jujur, terbuka, dan penuh empati serta menjunjung adab belajar dalam proses pendampingan menjadi nilai penting yang perlu dijaga. Tidak mudah, namun hal ini melatih kemampuan dalam memimpin.

Seperti kata-kata dari Jack Welch seorang eksekutif dari perusahaan besar dunia:

“Before you are a leader, succes is all about growing yourself. When you become a leader, succes is all about growing others.”

Ekosistem untuk Akselerasi Bakat

Jika pada tulisan sebelumnya kita mengulas tentang Myelin dalam konteks diri, pada tulisan kali ini kita akan melihat Myelin dalam konteks ekosistem. Bagaimana sebenarnya Myelin dapat makin menebal dalam kondisi tertentu? Apakah cukup dengan latihan?

Daniel Coyle, penulis buku Talent Code, menjelaskan bahwa kunci seorang juara dunia adalah berkat tempaan lingkungan yang tepat.  Ada fakta menarik tentang sebuah klub tenis Rusia yang berhasil mencetak petenis-petenis terbaik meski dengan fasilitas seadanya. Prestasi ini tidak pernah dihasilkan oleh klub tenis manapun di seluruh Amerika Serikat.

Apa rahasianya? Ternyata, bagaimana mereka dilatih menjadi faktor penentu yang membedakan dengan klub tenis lainnya. Atlet-atlet tersebut menjadi unggul karena sentuhan pelatih yang menciptakan program latihan yang berat untuk mengoptimalkan potensi seperti yang pernah dibahas dalam tulisan mengenai Quantum Leap.

Contoh di Lingkungan Piwulang Becik

Di lingkungan Piwulang Becik, dikenal istilah mentoring yang memang dirancang untuk melatih Myelin tersebut. Mentor bagi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Ratih, salah seorang orang tua murid, menceritakan pengalamannya selama 4 tahun terakhir di Piwulang Becik. “Dulu, kita selaku orang tua diminta untuk membuat portofolio yang sekarang jadi activity log. Kalau di sekolah, guru yang nulis rapor, di sini orang tua harus bisa bekerjasama dengan anak untuk menulis portofolio.”

Meski tanggung jawab orang tua jadi lebih berat, berkat portofolio, banyak perkembangan yang sekilas terlihat kecil namun terasa berharga. Contohnya, saat anaknya yang berusia 5 tahun berhasil pakai sepatu, kancing baju, dan menguncir rambutnya sendiri. Ia catat semua dalam portofolio.

Tak cuma portofolio. Proses ia mendampingi, mendukung, dan menemukan passion anak juga merupakan tantangan tersendiri. Ia mengaku kesulitan saat mendorong anaknya lebih aktif di kelas, padahal anaknya sendiri yang memilih kelas-kelas Student Club yang ingin dihadiri. Namun seiring berjalannya waktu, mulai terlihat minat anak kecenderungannya ke mana. “Anakku ikut beberapa Student Club, tapi kelas yang dia nggak pernah skip itu Student Club memasak. Dia siapin sendiri bahan-bahannya dan aktif partisipasi di kelas. Saya lega banget akhirnya ketemu juga passion-nya. Walaupun nanti akan berubah, gapapa. Yang penting sekarang paling tidak dia sudah bisa ambil keputusan, sudah tahu kalau nggak ngerti harus nanya,” ujarnya antusias.

Selain bertanggung jawab terhadap anak sendiri, Ratih juga bertanggung jawab pada anak-anak lain dalam mengajar Student Club bahasa Inggris. “Ternyata lebih sabar ngajar anak orang lain ketimbang anak sendiri. Karena kalau anak sendiri tuh punya standar. Ekspektasinya terlalu tinggi kadang-kadang. Padahal kalau dipikir-pikir, dia kan baru 11 tahun. Harapannya udah begitu-begini. Nggak apple to apple lah kalau dibandingin sama diri sendiri di umur segini. Tapi jadi lebih aware. Bandinginnya sama dia 1 tahun yang lalu, 1 bulan yang lalu, dan seterusnya.”

Cerita Ratih tentang pengalamannya selama di Piwulang Becik ini menjadi contoh bagaimana sebetulnya ekosistem belajar yang kondusif di tengah banyaknya himpitan dan tantangan ternyata dapat mempercepat terjadinya penebalan Myelin dan membangun awareness. Tanpa stimulasi lingkungan, minat dan bakat anak tak akan cukup untuk terakselerasi secara optimal.

Seperti kutipan yang terkenal:

“Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.”

Myelin, Kunci Transformasi Diri

Seringkali orang tidak sadar bahwa sebuah kesuksesan tak hanya ditentukan oleh brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Berdasarkan penelitian, yang tidak kalah penting juga adalah muscle memory yang terbentuk dari latihan.

Tentang Myelin

Kalau brain memory terletak di otak dan menghasilkan hafalan teori dan konsep, muscle memory ini ada di seluruh jaringan otot kita dan menghasilkan refleks otomatis. Manusia membutuhkan keduanya, namun seringkali pendidikan kita lebih mengutamakan pada brain memory. Padahal, muscle memory juga tak kalah penting.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan”, komponen muscle memory atau yang disebut myelin ini merupakan pembungkus jaringan sel-sel syaraf yang membawa sinyal yang sama berulang-ulang. Makin sering informasi diulang dalam Myelin, semakin tebal. Hal ini yang menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan kita dan merupakan sumber talenta saat dilatih terus-menerus.

Contoh Myelin dalam Konteks Piwulang Becik

Di Piwulang Becik, proses pembelajaran banyak memanfaatkan fungsi Myelin. Salah satu contohnya adalah Hasan, seorang pengajar musik. Ia bercerita bahwa ia belajar bermain alat musik sejak SMP sampai sekarang. Mulai dari belajar otodidak dengan pinjam alat musik teman dan akhirnya diajari cara bermainnya, sampai bisa otomatis memainkan lagu tanpa tahu lagu tersebut sebelumnya.

Pernah suatu waktu, ia diminta bermain gitar dengan kunci yang diinstruksikan pemain kibor. Ternyata kuncinya salah, namun ia secara otomatis menyesuaikan hanya berdasarkan intuisi. Hal ini merupakan contoh muscle memory atau Myelin.

Hal menarik lainnya adalah saat biasanya ia mengajar offline namun ketika pandemi, ia harus mengalihkan seluruh pembelajaran menjadi online. Awal-awal pembiasaan rasanya sulit karena tidak familiar. Namun lama-kelamaan, berbagai masalah karena keterbatasan belajar online bisa teratasi. Salah satunya, dengan meminta murid mengirimkan karya yang kemudian dikurasi dan dibahas bersama di kelas.

Harus Tahu vs Ingin Tahu

Selain terkait pembelajaran di kelas, Hasan juga mengungkapkan contoh lain saat ia diminta menjelaskan mengenai Piwulang Becik kepada para orang tua. Berhubung  Myelin tak melulu berkaitan dengan keterampilan fisik tapi juga mindset dan mental, momen-momen seperti ini ternyata melatih Hasan untuk mengenali mana yang harus ia ketahui sebagai seorang koordinator dan mana yang berupa keinginan untuk tahu.

“Ibaratnya kita mau ke Bali. Kita harus tahu kan lewat jalan mana. Kalau nggak tahu ya cari tahu,” jelasnya. Saat ia diminta untuk menjelaskan Piwulang Becik kepada para orang tua, ia menyadari ia masih banyak hal yang ia belum tahu. Namun, tanpa mencoba terlebih dahulu, tak akan muncul keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut. Inilah latihan mental yang terus-menerus dilakukan sampai akhirnya terbentuk Myelin yang tebal sehingga secara otomatis ia bisa memilah dan memutuskan mana yang ia harus tahu sebagai seorang koordinator untuk kemudian disampaikan pada para orang tua.

Takut Salah vs Berani Melangkah

Berhubungan dengan latihan mental, ia juga menyebutkan bahwa saat memulai hal baru, refleks selama ini adalah takut salah. Namun, ia melatih dirinya untuk mengubah mindset. “Grogi dan takut salah itu wajar. Yang penting, kita tetap berani untuk melangkah,” tambahnya. Mindset ini penting agar kita bisa terbuka akan hal-hal baru dan mau terus belajar dari kesalahan.

Mengutip kata-kata Nelson Mandela:

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”