Ekosistem untuk Akselerasi Bakat

Jika pada tulisan sebelumnya kita mengulas tentang Myelin dalam konteks diri, pada tulisan kali ini kita akan melihat Myelin dalam konteks ekosistem. Bagaimana sebenarnya Myelin dapat makin menebal dalam kondisi tertentu? Apakah cukup dengan latihan?

Daniel Coyle, penulis buku Talent Code, menjelaskan bahwa kunci seorang juara dunia adalah berkat tempaan lingkungan yang tepat.  Ada fakta menarik tentang sebuah klub tenis Rusia yang berhasil mencetak petenis-petenis terbaik meski dengan fasilitas seadanya. Prestasi ini tidak pernah dihasilkan oleh klub tenis manapun di seluruh Amerika Serikat.

Apa rahasianya? Ternyata, bagaimana mereka dilatih menjadi faktor penentu yang membedakan dengan klub tenis lainnya. Atlet-atlet tersebut menjadi unggul karena sentuhan pelatih yang menciptakan program latihan yang berat untuk mengoptimalkan potensi seperti yang pernah dibahas dalam tulisan mengenai Quantum Leap.

Contoh di Lingkungan Piwulang Becik

Di lingkungan Piwulang Becik, dikenal istilah mentoring yang memang dirancang untuk melatih Myelin tersebut. Mentor bagi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Ratih, salah seorang orang tua murid, menceritakan pengalamannya selama 4 tahun terakhir di Piwulang Becik. “Dulu, kita selaku orang tua diminta untuk membuat portofolio yang sekarang jadi activity log. Kalau di sekolah, guru yang nulis rapor, di sini orang tua harus bisa bekerjasama dengan anak untuk menulis portofolio.”

Meski tanggung jawab orang tua jadi lebih berat, berkat portofolio, banyak perkembangan yang sekilas terlihat kecil namun terasa berharga. Contohnya, saat anaknya yang berusia 5 tahun berhasil pakai sepatu, kancing baju, dan menguncir rambutnya sendiri. Ia catat semua dalam portofolio.

Tak cuma portofolio. Proses ia mendampingi, mendukung, dan menemukan passion anak juga merupakan tantangan tersendiri. Ia mengaku kesulitan saat mendorong anaknya lebih aktif di kelas, padahal anaknya sendiri yang memilih kelas-kelas Student Club yang ingin dihadiri. Namun seiring berjalannya waktu, mulai terlihat minat anak kecenderungannya ke mana. “Anakku ikut beberapa Student Club, tapi kelas yang dia nggak pernah skip itu Student Club memasak. Dia siapin sendiri bahan-bahannya dan aktif partisipasi di kelas. Saya lega banget akhirnya ketemu juga passion-nya. Walaupun nanti akan berubah, gapapa. Yang penting sekarang paling tidak dia sudah bisa ambil keputusan, sudah tahu kalau nggak ngerti harus nanya,” ujarnya antusias.

Selain bertanggung jawab terhadap anak sendiri, Ratih juga bertanggung jawab pada anak-anak lain dalam mengajar Student Club bahasa Inggris. “Ternyata lebih sabar ngajar anak orang lain ketimbang anak sendiri. Karena kalau anak sendiri tuh punya standar. Ekspektasinya terlalu tinggi kadang-kadang. Padahal kalau dipikir-pikir, dia kan baru 11 tahun. Harapannya udah begitu-begini. Nggak apple to apple lah kalau dibandingin sama diri sendiri di umur segini. Tapi jadi lebih aware. Bandinginnya sama dia 1 tahun yang lalu, 1 bulan yang lalu, dan seterusnya.”

Cerita Ratih tentang pengalamannya selama di Piwulang Becik ini menjadi contoh bagaimana sebetulnya ekosistem belajar yang kondusif di tengah banyaknya himpitan dan tantangan ternyata dapat mempercepat terjadinya penebalan Myelin dan membangun awareness. Tanpa stimulasi lingkungan, minat dan bakat anak tak akan cukup untuk terakselerasi secara optimal.

Seperti kutipan yang terkenal:

“Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.”

Myelin, Kunci Transformasi Diri

Seringkali orang tidak sadar bahwa sebuah kesuksesan tak hanya ditentukan oleh brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Berdasarkan penelitian, yang tidak kalah penting juga adalah muscle memory yang terbentuk dari latihan.

Tentang Myelin

Kalau brain memory terletak di otak dan menghasilkan hafalan teori dan konsep, muscle memory ini ada di seluruh jaringan otot kita dan menghasilkan refleks otomatis. Manusia membutuhkan keduanya, namun seringkali pendidikan kita lebih mengutamakan pada brain memory. Padahal, muscle memory juga tak kalah penting.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan”, komponen muscle memory atau yang disebut myelin ini merupakan pembungkus jaringan sel-sel syaraf yang membawa sinyal yang sama berulang-ulang. Makin sering informasi diulang dalam Myelin, semakin tebal. Hal ini yang menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan kita dan merupakan sumber talenta saat dilatih terus-menerus.

Contoh Myelin dalam Konteks Piwulang Becik

Di Piwulang Becik, proses pembelajaran banyak memanfaatkan fungsi Myelin. Salah satu contohnya adalah Hasan, seorang pengajar musik. Ia bercerita bahwa ia belajar bermain alat musik sejak SMP sampai sekarang. Mulai dari belajar otodidak dengan pinjam alat musik teman dan akhirnya diajari cara bermainnya, sampai bisa otomatis memainkan lagu tanpa tahu lagu tersebut sebelumnya.

Pernah suatu waktu, ia diminta bermain gitar dengan kunci yang diinstruksikan pemain kibor. Ternyata kuncinya salah, namun ia secara otomatis menyesuaikan hanya berdasarkan intuisi. Hal ini merupakan contoh muscle memory atau Myelin.

Hal menarik lainnya adalah saat biasanya ia mengajar offline namun ketika pandemi, ia harus mengalihkan seluruh pembelajaran menjadi online. Awal-awal pembiasaan rasanya sulit karena tidak familiar. Namun lama-kelamaan, berbagai masalah karena keterbatasan belajar online bisa teratasi. Salah satunya, dengan meminta murid mengirimkan karya yang kemudian dikurasi dan dibahas bersama di kelas.

Harus Tahu vs Ingin Tahu

Selain terkait pembelajaran di kelas, Hasan juga mengungkapkan contoh lain saat ia diminta menjelaskan mengenai Piwulang Becik kepada para orang tua. Berhubung  Myelin tak melulu berkaitan dengan keterampilan fisik tapi juga mindset dan mental, momen-momen seperti ini ternyata melatih Hasan untuk mengenali mana yang harus ia ketahui sebagai seorang koordinator dan mana yang berupa keinginan untuk tahu.

“Ibaratnya kita mau ke Bali. Kita harus tahu kan lewat jalan mana. Kalau nggak tahu ya cari tahu,” jelasnya. Saat ia diminta untuk menjelaskan Piwulang Becik kepada para orang tua, ia menyadari ia masih banyak hal yang ia belum tahu. Namun, tanpa mencoba terlebih dahulu, tak akan muncul keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut. Inilah latihan mental yang terus-menerus dilakukan sampai akhirnya terbentuk Myelin yang tebal sehingga secara otomatis ia bisa memilah dan memutuskan mana yang ia harus tahu sebagai seorang koordinator untuk kemudian disampaikan pada para orang tua.

Takut Salah vs Berani Melangkah

Berhubungan dengan latihan mental, ia juga menyebutkan bahwa saat memulai hal baru, refleks selama ini adalah takut salah. Namun, ia melatih dirinya untuk mengubah mindset. “Grogi dan takut salah itu wajar. Yang penting, kita tetap berani untuk melangkah,” tambahnya. Mindset ini penting agar kita bisa terbuka akan hal-hal baru dan mau terus belajar dari kesalahan.

Mengutip kata-kata Nelson Mandela:

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”

Mengamati Diri, Memindai Masa Depan

Ketika kita membicarakan pendidikan masa depan, apa yang kamu bayangkan? Kelas-kelas yang didukung dengan fasilitas teknologi canggih? Konten-konten pembelajaran dengan ilmu global dan berbahasa internasional? Atau justru, kamu membayangkan murid-murid di masa depan? Bagaimana pola pikir dan laku mereka? Apa saja tantangan yang akan mereka hadapi? Seperti apa ekosistem mereka belajar?

Apapun yang kita bayangkan, bisa jadi benar. Tapi pertanyaan yang paling penting untuk kita tanyakan, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk pendidikan masa depan? Kata kuncinya adalah: DIRI. Kesadaran kita untuk melihat dan memahami ke “dalam” lebih dalam sebelum bertransformasi.

Dalam buku “Theory U: Leading from the Future as It Emerges” oleh Otto Scharmer, ada sebuah model pemikiran dari Brian Arthur, seorang Economist, untuk membantu kita memahami proses transformasi diri maupun organisasi. Model ini dapat pula dipakai dalam konteks pendidikan.

Observasi. Proses mengamati, mendengar, dan merasakan ke dalam diri untuk menemukan dan membangkitkan potensi terbaik kita. Semakin lihai kita dalam mengobservasi diri, semakin peka juga kita pada sekitar, terutama dalam memahami murid-murid kita. Contoh paling mudah untuk melatih keterampilan observasi adalah mengamati emosi yang hadir. Saat marah pada murid misalnya. Apakah ada emosi lain yang lebih dalam seperti kekecewaan karena punya ekspektasi yang tidak sesuai realita? Seperti apa rasanya? Apa yang saya lihat dari murid tersebut yang memancing kemarahan saya? Apa yang tidak saya lihat? Keterampilan ini merupakan kunci dari proses transformasi.

Refleksi. Mengendapkan dan merenungkan temuan dari proses observasi tadi. Apakah ada keyakinan dan pandangan yang saya miliki yang menghambat proses memahami diri juga anak murid? Apa saja asumsi yang saya sadari? Bagaimana saya mengubah paradigma lama agar bisa melihat potensi yang selama ini tak saya sadari? Pertanyaan-pertanyaan refleksi ini bisa kita tanyakan pada diri sebelum kita bereaksi dan merespon suatu tindakan. Proses pengendapan dan perenungan ini seringkali memunculkan kesadaran baru terkait apa yang selama ini terpendam dalam diri.

Aksi. Setelah proses observasi dan refleksi, langkah terakhir adalah tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan transformasi. Dalam prosesnya, kita akan dihadapkan pada ketidakpastian, ambiguitas tinggi, dan rentan gagal. Maka dari itu, butuh keterbukaan untuk merangkul berbagai kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya dan terus mencoba hal-hal yang mustahil. Tentunya, hal ini tidak akan bisa terlaksana tanpa proses mengamati diri dan keberanian mempertanyakan apakah asumsi yang saya miliki selama ini masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan masa depan?

Pada intinya, untuk dapat memindai masa depan, hal paling penting dan mendasar yang perlu kita lakukan adalah mengamati diri. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Shane Parrish:

Empati, Upaya “Menembus” Dinding

Dalam teori Fisika, ada Hukum Newton 3 tentang Aksi Reaksi yang berbunyi:

“Jika suatu benda mendapatkan gaya, maka benda tersebut akan memberikan kekuatan yang sama besar terhadap sumber gaya tersebut secara berlawanan.”

Contoh paling sederhananya, bila kita mendorong dinding (aksi), dinding tersebut akan berbalik mendorong kita (reaksi).

Apabila kita memandang sebuah masalah seperti menghadapi dinding, beberapa orang terus mendorong bahkan menabrak dinding sampai kelelahan sendiri. Beberapa lainnya, memutuskan menyerah dan berbalik arah.

Dua respon ini merupakan reaksi fight or flight. Wajar saja, karena merupakan insting purba manusia untuk bertahan hidup saat terancam bahaya. Namun, pernahkah kita berpikir solusi alternatif? Bagaimana ya caranya “menembus” dinding?

Kita ambil contoh seorang guru bahasa Indonesia bernama Bela. Selama ini, bahasa Indonesia dianggap membosankan dan tidak penting karena setiap hari juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Memahami tantangan ini, Bela ingin mengubah perspektif bahwa bahasa Indonesia itu menyenangkan. Kalau ia memaksakan pembelajaran text book pada mereka, bisa saja para murid makin merasa bahasa Indonesia membosankan. Semakin ia memaksa, pembelajaran akan semakin jauh dari kata menyenangkan. Semakin melelahkan karena hanya berusaha mendorong dinding. Persis seperti Hukum Aksi Reaksi Newton 3.

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya “menembus” dinding, jawabannya adalah dengan berempati. Pertanyaan berikutnya, bagaimana ya caranya Ani berempati?

  • Pertama, mencoba memahami apa yang murid tersebut pikirkan dan rasakan. Apa ya yang disukai anak-anak? Apa yang jadi tren saat ini? Apa istilah-istilah kekinian yang digunakan supaya bisa masuk ke dunia mereka?
  • Kedua, cari berbagai alternatif pembelajaran seru seperti menonton film, mendengar lagu, menyanyi bersama, main games, dan sebagainya. Kenali apa yang menjadi kesukaan mereka agar belajar terasa lebih menyenangkan.
  • Ketiga, rayakan tiap perkembangan. Dengan mengapresiasi tiap milestones dalam proses belajar, mereka akan menyadari sejauh mana mereka berkembang. Selain itu, bisa memacu semangat agar terus menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak lagi tips lainnya. Namun pada intinya, lakukan secara perlahan dan bertahap. Dinding dalam proses belajar terkadang tak terlihat, tapi kita selalu punya pilihan. Menabrak, menghindar, atau menembus, semua tergantung kita menyikapi.

Quantum Leap, Sebuah “Lompatan” Potensi

Marvel Multiverse

Apakah kamu pernah mendengar istilah Quantum Leap? Yuk kita kenalan dengan istilah ini!

 

 

 

Tentang Quantum Leap

Quantum Leap merupakan “lompatan” yang membuat manusia mencapai potensinya secara optimal.

Kalau dalam bayanganmu lompatan itu seperti atlet yang melewati halang rintang, Quantum Leap berbeda. “Lompatan”-nya lebih menyerupai gelombang yang menembus suatu batas. Mungkin terdengar membingungkan. Untuk memudahkan, analoginya seperti ini. Bayangkan seseorang yang dalam 2 minggu bisa membuat desain 3D. Padahal, dia belum pernah pegang laptop sebelumnya. Atau seseorang dalam seminggu bisa berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan sampai dapat pasangan. Padahal, sebelumnya dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.

Quantum Leap Wave

Selain itu, Quantum Leap juga bersifat probabilitas. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Makanya, momentum dalam Quantum Leap bisa saja datang tanpa diduga. Apabila kita tidak siap, kesempatan tersebut akan lewat begitu saja.

 

 

Contoh Quantum Leap

Kita ambil contoh Syama, seorang murid di Piwulang Becik yang terlihat pendiam di kelas. Namun, di sebuah pertunjukan drama di kelas, secara mengejutkan, banyak dialog yang diperankan Syama. Bela, guru bahasa Indonesia Syama, kaget dan tak menyangka bahwa ternyata memang selama ini Syama memperhatikan apa yang ia ajarkan. Hanya saja, ia tak banyak bicara.

Contoh lainnya, anggap saja bernama Zizi. Ia seorang difabel tuna netra yang punya keahlian di bidang musik. Saat mengajar di kelas online, Zizi dapat menghapal para muridnya hanya dari mendengar suaranya saja. Bela takjub dan terheran-heran, bagaimana Zizi bisa tau siapa saja muridnya tanpa melihat. Zizi pun tidak pernah terpikir sanggup mengajar musik.

Yang terjadi pada Syama maupun Zizi sebenarnya bukan tiba-tiba. Ada proses yang tidak terlihat.

Contohnya, bagaimana Bela memancing perlahan agar Syama berani berbicara melalui pendekatan personal, bagaimana ia pun kerap bertanya pada orang tua Syama. Apakah anaknya diam karena takut atau memang pendiam? Apakah anaknya menyukai pelajaran bahasa Indonesia? Orang tuanya bilang iya dan bilang bahwa di rumah, Syama sering cerita tentang kegiatannya.

Zizi pun demikian. Ia tidak langsung bisa lancar mengajar tapi karena terus-menerus dilakukan, lama-lama ia terampil. Keterbatasannya tak menghambat potensinya. Zizi bisa saja menolak menjadi pengajar. Namun, ia mengambil momentum untuk terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan, kalau baik Syama, Bela maupun Zizi tidak berhenti dan puas dengan “lompatan” yang terjadi, bisa jadi ada probabilitas terjadinya Quantum Leap di momentum lain dalam hidup mereka.

Pertanyaan untuk kita refleksikan bersama: apakah saat momentum tiba, kita sudah siap untuk menembus batas-batas nalar kita? Kalau pun belum siap, apakah kita berani memulai? Ataukah kita menyerah karena merasa batas tersebut mustahil ditembus?

Nilai Dibalik Kata “Gotong Royong” Dan Penerapannya Dalam Dunia Pendidikan

Nilai Dibalik Kata “Gotong Royong” Dan Penerapannya Dalam Dunia Pendidikan

“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua”

Itulah sepenggal pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Gotong royong sebenarnya bukan sebuah istilah yang baru dikumandangkan pada zaman penjajahan, namun sudah lama dinarasikan oleh para leluhur.

Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat yang mau menolong sesama. Hal ini diwujudkan pada beberapa momen seperti kerja bakti membangun fasilitas umum, membersihkan lingkungan sekitar, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, bahkan menolong dengan berbagai bentuk sumbangan pada korban bencana alam.

Misalnya saja Tradisi Masyarakat Jawa yang bernama “Sinoman”. Sinoman sangat identik dengan acara pernikahan, akan tetapi sinoman juga ada pada beberapa penyelenggaraan acara lain dalam tradisi Jawa. Sinoman umumnya terdiri dari ibu-ibu yang membantu memasak di dapur, dan para pemuda desa dan beberapa bapak-bapak mendirikan tenda atau menata kursi dan meja untuk para tamu undangan. Saat hari pernikahan tiba, keluarga besan serta para tamu undangan hadir di acara pernikahan maka para sinoman akan bertindak sebagai pramusaji.

Umumnya gotong royong bersifat suka rela dengan tujuan untuk memperlancar suatu pekerjaan. Gotong royong telah menjadi kepribadian dan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa ini, ada beberapa unsur yang melekat di dalamnya yakni kesatuan, kebersamaan, kekeluargaan, dan kerukunan.

Lalu bagaimana penerapan gotong royong dalam dunia pendidikan?

Gotong royong bisa terwujud pada beberapa hal misalnya dalam tugas kelompok ataupun student club, kegiatan ini akan membuat anak-anak saling berdiskusi untuk menyelesaikan tugas kelompoknya. Mereka akan membagi tugas secara adil dan sesuai kemampuan masing-masing.

Selain itu gotong royong juga bisa diwujudkan dalam kegiatan lain seperti saat membersihkan lingkungan belajar, ataupun menolong temannya yang tengah mengalami musibah. Di masa pandemi seperti sekarang ini wujud dari gotong royong dalam dunia pendidikan bukan hanya melibatkan peserta didik (anak-anak) saja, namun guru dan orangtua juga bisa turut terlibat.

Di kondisi yang serba terbatas dan berubah ini, bisa dikatakan jika Indonesia mengalami “Revolusi pembelajaran.” Pembelajaran yang umumnya dilakukan secara tatap muka menjadi pembelajaran daring. Meskipun sudah lama berlalu, namun beberapa orangtua, guru, ataupun anak masih gagap dengan sistem pembelajaran yang daring ini. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, minimnya fasilitas yang memadai seperti internet, device, hingga materi belajar.

Untuk itu, sikap gotong royong sangat dibutuhkan. Dimana baik pengajar, orangtua dan anak saling berkolaborasi menutupi kekurangan masing-masing. Pihak pengajar akan menyusun desain pembelajaran daring yang nantinya disampaikan kepada setiap orangtua. Orangtua akan bertugas mengawasi selama proses pembelajaran anak, serta memberikan fasilitas yang dibutuhkan. Sedangkan anak, akan menjalankan proses belajar dengan baik yang nantinya mereka memberikan saran dari desain pembelajaran yang dibuat oleh pengajar.

Dengan bergotong royong maka kepentingan umum seperti terpenuhinya kebutuhan pendidikan setiap orang akan berjalan dengan baik. Kesejahteraan bersama akan diperoleh asal setiap masyarakat berintegrasi dan menyesuaikan diri demi kepentingan bersama.

Ilmu Tidak Mudah Didapat Jika Tubuh Terlalu Nyaman

Ilmu Tidak Mudah Didapat Jika Tubuh Terlalu Nyaman

“Engkau tak dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal yaitu cerdas, selalu ingin tahu, tabah, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama.” Ali Bin Abi Thalib.

Ada banyak pepatah lama yang menggambarkan bagaimana seseorang bisa memperoleh ilmu. Menjadi seorang berintelektual tentu membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang keras. Umumnya orang yang cerdas lahir dari bangku-bangku sekolah, mereka mengeyam pendidikan dari Dasar, Menengah, Perguruan Tinggi atau Universitas. Namun, saat ini kecerdasan bisa diciptakan dari berbagai hal, dan tak selamanya bersumber dari bangku sekolah. Sekolah, lulus, kemudian sukses adalah hal yang sering digaungkan orang-orang pada zaman dulu. Sekolah seakan menjadi jaminan kesuksesan seseorang di masa mendatang. Namun, ada banyak ilmuwan dan pengusaha yang sukses, meskipun mereka bukan tamatan sekolah tinggi.

 

Ilmu Tidak Mudah Didapat Jika Tubuh Terlalu Nyaman

Siapa yang suka menonton animasi Mickey Mouse? Walt disney merupakan tokoh dibalik karakter Mickey Mouse yang sangat populer itu. Namun tahukah, jika Walt Disney menempuh pendidikan formal hanya sampai kelas 8? Dan karena tak ada yang mempekerjakannya, ia memutuskan untuk  membuka perusahaan komersial dan bertahan hingga sekarang. Bukan hanya itu, Thomas Edison yang lahir pada 11 Februari 1847, dikeluarkan dari sekolah karena memiliki beberapa masalah dengan indra pendengarannya. Kemudian ia berjualan koran dan permen di kereta sambil belajar autodidak. Dengan bakat dan keterampilan yang dimilikinya, ia mampu menemukan bola lampu listrik dan banyak perangkat lain. Bahkan Edison dianggap sebagai salah satu ilmuwan yang berpengaruh di dunia, ia telah memegang lebih dari 1.093 paten Amerika Serikat.

Bukan hanya Walt Disney dan Thomas Edison saja, ada banyak tokoh lain yang berpengaruh di dunia namun mereka tak mengenyam sekolah tinggi. Sebut saja, Henry Ford, George Eastman, George Washington, Rabindranath Tagore. Bahkan tokoh yang kita kenal seperti Steve Jobs, Bill Gates, Travis Kalanick, dan Mark Zuckerberg juga memilih dari pendidikan formalnya dan mendirikan perusahaan yang saat ini layanan/produknya kita gunakan.

Kisah-kisah di atas seakan menjadi gambaran bagi kita  tentang proses belajar seseorang ditengah keterbatasan yang ada. Keterbatasan dalam belajar bukan hanya perihal kondisi keuangan semata, ada banyak bentuk keterbatasan seperti kondisi fisik seseorang, dan kondisi alam seperti masa pandemi Covid-19. Atau, bisa saja keterbatasan muncul karena fasilitas yang dimiliki kurang memumpuni. Misalnya kekurangan buku, dan fasilitas lainnya. Namun semua itu bukan berarti kita tak bisa menjadi sosok yang berilmu.

Ditengah keterbatasan yang membuat kita merasa nyaman, tentu muncul banyak alasan yang membuat kita malas untuk belajar. Namun dengan 6 hal yang disampaikan pada kutipan di atas, sangat mungkin seseorang menjadi seseorang yang berilmu dan meraih mimpinya. Cerdas, selalu ingin tahu, tabah, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama. Cerdas dan selalu ingin tahu adalah dorongan internal yang membuat seseorang terus belajar. Sikap tabah, memiliki bekal dalam menutut ilmu yang dapat berupa nilai-nilai kehidupan, bimbingan dari guru yang berarti ada seseorang yang berperan sebagai pengajar, pembimbing, dan pemberi dorongan. Serta waktu yang lama, yang berarti seseorang berproses.

Banyak orang yang memahami jika ilmu tidak didapat dari kemudahan dan kenyamanan, tentu ada proses sulit yang dilalui terlebih dahulu. Untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru seseorang harus menerjang keterbatasan, dan membutuhkan pengajar yang berkompeten. Serta sosok yang mendorong proses mereka belajar, yang mana sosok itu adalah pihak orangtua.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.

Filosofi Ilmu Padi “Semakin Berilmu, Semakin Merunduk” Haruskah Terus Begitu?

Filosofi Ilmu Padi “Semakin Berilmu, Semakin Merunduk” Haruskah Terus Begitu?

“Jadilah seperti padi, semakin berisi maka semakin merunduk” mungkin istilah ini merupakan nasihat yang sering disampaikan orangtua kepada kita. Hal ini bermakna jika tidak sepantasnya manusia bersikap sombong atas ilmu yang mereka miliki. Selalu ingat jika di atas langit masih ada langit. Makna dari filosofi padi ini tentu bisa kita sepakati bersama, sebagai manusia kita tentu tidak boleh berjalan dengan congkak seakan semua orang akan tak lebih diri dari kita.

 

Akan tetapi, apakah hal ini membuat kita mengharuskan orang-orang yang cerdas untuk terus merundukkan dirinya? Jika banyak orang yang berilmu tapi mereka  memilih untuk diam dan tunduk sepertinya itu tidaklah bijak. Mereka yang memiliki ilmu dan berpengalaman seharusnya menjadi sosok yang lantang bersuara, membagikan ilmunya kepada sesama manusia, atau mulai membuat penemuan yang akan mengubah peradaban.

Tahukah jika ternyata Indonesia termasuk negera yang cukup lambat dalam memproduksi intelektual dalam bentuk publikasi ilmiah dibanding negara lain yang ada di ASEAN? Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, namun yang paling berpengaruh adalah fundamental seseorang. Banyak kalangan pelajar yang hanya mengengincar gelar tanpa mendalami apa yang mereka pelajari, sehingga mereka malas untuk belajar dan mengerjakan karya.

Apakah hal itu dipengaruhi oleh filosofi padi yang selama ini sering dinasehatkan oleh para orang-orangtua?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu tahu sejarahnya terlebih dahulu. Selama ini padi menjadi akar kebudayaan manusia. Padi diolah menjadi nasi, kemudian nasi menjadi sumber makanan pokok manusia. Dengan mengonsumsi nasi, seseorang akan menjadi lebih bertenaga dan produksi untuk bekerja sekaligus beraktivitas setiap hari. Sejak sistem pertanian padi mulai dikenal manusia, maka peningkatan kegiatan produksi berkembang semakin pesat. Sehingga muncullah transaksi jual-beli antara petani dan mereka yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu kebutuhan manusiapun kini semakin beragam, seperti sandang dan papan. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan jika kehidupan ini terus bergerak. Padi sebagai sumber makanan pokok seakan menjadi keniscayaan hidup bagi peradaban. Dari bulir padi orang-orang kemudian memiliki profesi petani dan melakukan transaksi untuk mencipatakan ekonomi yang stabil. Bahkan pada abad ke-19, Thomas Stamford Raffles mengakui jika seluruh tanah di Jawa bisa dimanfaatkan, kualitas variasi tanaman dan kuantitas produksi yang dapat dihasilkan di pulau ini tak tertandingi.

Namun bagaimana memaknai filosofi padi agar tetap rendah hati namun sukses ke depannya? Padi seakan menjadi sebuah objek yang sakral di masyarakat Jawa hal ini karena padi menjadi bahan pokok yang penting dan wajib ada dalam upacara suci. Masyarakat Jawa meyakini jika padi merupakan bagian dari keberkahan yang dilimpahkan Tuhan untuk umat manusia. Bahkan proses hidup tumbuhan padi menjadi pandangan bagi orang Jawa yang menjalani kehidupan. Pada dasarnya filosofi padi mengandung beragam penghayatan manusia khususnya masyarakat Jawa. Peran alam dalam pertumbuhan padi dan peran roh atau spirit yang mempengaruhi kehidupan padi sehingga hal ini kemudian difilosofikan.

Di era modern saat ini perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan berjalan dengan cepat. Dengan banyaknya penemuan dan industri kreatif terkadang muncul persaingan antara satu sama lain. Sikap terus merunduk dalam arti yang sebenarnya adalah mengalah, tidak bisa diterapkan jika ingin bersaing dengan ilmuwan atau penggiat kreatif lainnya. Saat ini kita perlu menunjukkan kompetensi yang dimiliki. Akan tetapi saat kita sudah memiliki kompetensi dan ilmu pengetahuan gunakanlah sebaik-baiknya, pastikan apa yang kita tekuni bermanfaat bagi orang lain. Kita memang tak harus terus merunduk, namun kita bertindak sesuai dengan porsinya masing-masing. Jangan terlalu sombong atau merasa benar-benar mengetahui sesuatu.

Memahami filosofi ilmu padi terkadang butuh kehati-hatian agar tak menimbulkan pemaknaan yang keliru. Untuk itu perlu adanya lembaga pendidikan yang mampu merepresentasikan filosofi ilmu namun tetap disesuaikan dengan kondisi zaman. Sehingga sebagai orangtua kita perlu mengajarkan anak untuk menjadi sosok yang berilmu dan bisa beradaptasi dengan zaman, namun masih mempertahankan nilai-nilai kehidupan yang luhur seperti apa yang digambarkan pada filosofi padi.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.

4 Karakter Yang Harus Ditanamkan Pada Anak Sedari Dini

4 Karakter Yang Harus Ditanamkan Pada Anak Sedari Dini

Pendidikan Karakter merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi anak-anak. Pendidikan karakter bukan hanya sekadar pengenalan anak terhadap diri mereka, namun pendidikan karakter juga membantu anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan hampir semua lembaga pendidikan di dunia, mementingkan unsur pendidikan karakter dalam setiap kegiatan yang dilakukan sang anak. Apalagi jika lembaga pendidikan tersebut berbasis ajaran-ajaran agama, dimana kecerdasan spiritual dijunjung tinggi. Lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan umumnya bukan hanya mementingkan aspek akademis saja, mereka juga membentuk perilaku anak, dan menanamkan karakter keagamaan secara praktek.

 

Sebenarnya pendidikan karakter bisa dilakukan mulai dari hal yang paling kecil, contohnya saja membiasakan anak untuk pamit sebelum pergi entah belajar atau bermain dengan temannya, atau mengucapkan salam kepada orangtua, membuang sampah pada tempatnya sebagai wujud melindungi alam sekitar. Namun saat ini masih banyak orangtua yang belum memahami bagaimana pendidikan karakter pada anak. Bahkan mereka belum tahu karakter seperti apa yang sebaiknya diajarkan pada anak sedari dini.

Saat ini banyak lembaga pendidikan baik itu formal maupun non-formal yang menggaungi pendidikan karakter. Tentu saja hal itu sangatlah bagus, namun sebagai orangtua tentu kita harus tahu dasar-dasar dari pendidikan karakter itu sendiri. Jangan sampai karena minimnya informasi anda langsung memasrahkan semuanya pada pihak pengajar. Padahal peran orangtua juga sangat penting dalam membangun karakter anak-anaknya.

Secara istilah formal, pendidikan karakter merupakan sebuah sistem pendidikan yang sistematis dan direncanakan dalam mendidik serta memberdayakan dan mengembangkan potensi peserta didik agar membangun karakter pribadinya sehingga mereka dapat tumbuh sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat umum.

Berbagai pendidikan karakter yang perlu ditanamkan pada anak sedari dini

Karakter merupakan identitas yang melekat pada anak. Karakter bisa ditunjukkan melalui sikap, perilaku, dan tindakan anak dalam lingkungan sosialnya. Tanpa ada pendidikan karakter, anak akan kesulitan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Pendidikan karakter yang kurang baik akan membangun stigma negatif masyarakat terhadap anak tersebut. Adapun pendidikan karakter yang perlu ditanamkan sedari dini, antara lain:

1.      Karakter religius

Nilai agama sangat dijunjung tinggi di masyarakat, karena nilai-nilai agama menjadi langkah awal manusia dalam mengembangkan sifat, sikap, dan perilaku. Apalagi agama menjadi cerminan penghargaan terhadap perbedaan terutama pada perkembangan anak. Nilai religi mernjadi nilai yang paling tepat ditanamkan sejak kecil dan tentunya harus berkembang seiring bertambahnya usia anak. Tentu peran orangtua dan pihak pengajar sangatlah penting, karena mereka akan menjadi sosok teladan sekaligus pengingat bagi anak.

2.      Mencintai kebersihan dan lingkungannya

Pendidikan karakter lain yang harus ditanamkan sedari dini adalah cinta terhadap kebersihan diri dan lingkungan di sekitarnya. Kebersihan dapat menghindarkan anak dari hal-hal buruk seperti gangguan kesehatan. Apalagi semakin hari kondisi bumi semakin buruk, karena tingkat polusi yang semakin tinggi. Kebersihan diri bukan hanya tentang rajin mencuci tangan saja, namun hal ini berkaitan pula dengan kondisi jiwa yang kuat.

3.      Sikap dan perilaku yang simpatis

Rasa simpati yang besar menjadi hal yang perlu dimiliki anak saat hidup bermasyarakat nanti. Rasa peduli akan membantu anak dalam membangun relasi yang sehat nantinya. Relasi ini bukan hanya dalam lingkup pertemanan saja, namun juga dalam keluarga, ataupun bermasyarakat. Wujud dari simpatik bisa dalam bentuk menolong sesama, serta dapat memposisikan dirinya sebagai orang lain. Saat anak berhasil memposisikan dirinya sebagai orang lain, maka ia akan lebih cerdas dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

4.      Sikap dan perilaku yang jujur

Sikap jujur merupakan sesuatu yang sangat mahal di zaman sekarang. Tak heran kini banyak orang yang mengalami krisis kepercayaan, seperti  membuat orang sulit mempercayai kebaikan seseorang yang secara tulus. Sehingga kejujuran menjadi hal yang langka. Menumbuhkan kejujuran pada anak bisa dikatakan memiliki tantangan tersendiri. Kejujuran kini menjadi investasi dan modal yang besar bagi anak untuk membangun komunikasi yang sehat dan efektif dengan orang lain. Cara mudah untuk mengajarkan anak bersikap jujur adalah dengan membiasakan bersikap jujur pula bagi orang dewasa.

Mengingat pentingnya pendidikan karakter, ada baiknya orangtua dan lingkungan sekitar anak ikut berperan dalam proses pembentukkannya. Mulailah melakukan hal-hal baik bersama anak, serta berikan nasihat-nasihat yang menenangkan hati pada mereka. Sehingga secara perlahan anak akan mulai memahami nilai-nilai karakter. Ingat, saat masih berusia anak-anak seseorang tidak bisa membedakan baik dan buruk. Orang dewasalah yang sepatutnya membimbing mereka.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.