Kunjungan Guru Banjarnegara: Belajar Membuat PKBM

Pengalaman Belajar dari PKBM Piwulang Becik 

Berawal dari keinginan mendirikan PKBM dan kebutuhan dalam memahami proses pendirian PKBM, Dhian Fatmasari (42), Kepala Sekolah SAMPAI IP Tunas Bangsa Banjarnegara, tergerak untuk berguru dari PKBM Piwulang Becik. Berangkat dari hal tersebut, wanita yang akrab dipanggil Dhian ini, bersama dengan 3 orang guru lainnya, menceritakan pengalaman saat berdialog dengan Aris Prasetya (52), Kepala Sekolah PKBM Piwulang Becik. 

“Saya ngerasa bodoh banget, jadi ekspektasinya pengen belajar dari yang sudah mengerti, merasakan, dan menjalani,” aku Dhian jujur. 

“Kalau saya, sebenernya datang ke sini karena diminta kepala sekolah,” sahut Zuyyinah Murniatul Barokah (35), Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sekaligus Humas SMP IP Tunas Bangsa. “Saya yakin dan percaya aja kalau Bu Dhian ngajak saya, mesti untuk belajar, untuk dapat ilmu-ilmu baru,” lanjut wanita yang biasa dipanggil Zuyyin. 

Dari niatan tersebut, mereka mengaku apa yang didapat lebih dari ekspektasi. Uun Marbawa (42), Guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang kerap disapa Uun mengatakan, “Saya dapat sudut pandang baru yang selama ini sebagai guru yaaa.. menyampaikan apa yang ada di buku aja, apa yang perlu diketahui anak, tanpa mempertimbangkan apa sih kebutuhan anak saat ini. Di sini tadi, saya dapat dari mas Aris tentang bagaimana seharusnya seorang guru itu. Pertama, profiling. Ngerti masing-masing individu. Kedua, memberikan pelajaran, materi yang kontekstual sesuai kondisi saat ini.  Kadang kita memberi materi yang belum tentu mereka butuh dan inginkan sehingga membuat bosan. Yang paling keren, bagaimana cinta dan welas asih. Itu bagus banget karena apa pun kondisi siswa, apa pun yang terjadi pada siswa, tetap cinta dan welas asih harus kita lakukan.” 

Selaras dengan penjelasan Uun, Tengku Apta Naufal (23) yang biasa dipanggil Apta, Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), berkata, “Sebenernya saya udah lama bergelut di dunia pendidikan. Cuma baru-baru ini menggeluti dunia mengajar. Buat saya profiling itu sangat penting apalagi untuk saya yang jarang komunikasi dengan anak. Kita perlu mengetahui pertumbuhan seorang anak, gimana kondisinya di rumah, gimana orang tuanya mendidik agama, dan sebagainya. Justru hal-hal itu bisa langsung kita ajarkan untuk kehidupan mereka. Selain itu, mas Aris mengajarkan bagaimana cara menyampaikan yang sangat mudah diterima oleh anak. Terakhir, lingkaran doa dari murid ke guru, guru ke murid, itu sangat luar biasa. Kalau dari guru tidak ada keinginan untuk membentuk anaknya jadi lebih baik, gimana nanti anaknya jadi baik. Begitu juga kalau anaknya malas-malasan untuk belajar, sebel sama gurunya, gimana dia dapat ilmu yang bermanfaat.“

Refleksi Diri Terkait Peran sebagai Pengajar 

 Menjalani proses Mastermind selama sehari di Piwulang Becik, keempat guru dari Banjar tersebut masing-masing menceritakan refleksi pribadi terkait peran seorang guru. “Kalau saya dapat sesuatu yang luar biasa tentang menjadi kepala sekolah sejati. Beberapa kali mas Aris mengakhiri kalimatnya dengan ‘…karena saya kepala sekolah’. Jadi kalau diiris tuh saya kayak diiris trus dikasi jeruk. Perih. Tapi mas Aris juga bilang sebagaimana seseorang yang tadinya bukan muslim, begitu dia ngucapin syahadat kan lembarannya putih. Kemarin kan bukan berdosa, tapi karena nggak ngerti. Saya harap sih dari hari ini saya bener-bener ngerti bagaimana jadi kepala sekolah sejati,” ujar Dhian. 

Zuyyin menambahkan, “katanya kan kalau hari esok lebih buruk dari hari ini, itu pastinya rugi. Jadi yang akan dilakukan adalah refleksi. Kalau saya cenderung kurang dekat dengan siswa karena tuntutan kurikulum dan dikejar-kejar harus selesai kompetensi dasarnya. Jadi ngobrol sama anak itu intensitasnya lebih sedikit. Makanya dimulai dari cari tau dulu. Bukan cuma nama dan kesukaan, tapi lebih dari itu. Lebih detail.” 

Bagi Apta, ia merefleksikan caranya mengajar. “Sebenernya memang banyak anak-anak yang jenuh, rasanya lama kalau pelajaran PAI. Ternyata di sini kita disadarkan tentang cara kita menyampaikan mungkin ada yang salah. Karena tuntutan kurikulum, jadinya mau nggak mau itu yang disampaikan terlepas dari keperluan anak itu sendiri. Harus banyak doa, banyak introspeksi. Yang ingin saya tau dulu, anak itu gimana sih agamanya? Di rumah itu udah diimplementasi seperti apa? Trus kenapa mereka nggak melakukan ini-itu? Apa beratnya? Kenapa? Bangun semangat kalau kata mas Aris.” 

Sementara Uun menjelaskan refleksi terkait kedekatan dengan para murid. “Sampai sore ini sebenernya banyak refleksi diri. Salah satunya, aku kurang mengenal sama murid-murid. Sebagai wali kelas, aku pegang sekitar 16 siswa. Dari situ aku refleksi, oh ya, aku baru kenal nama. Baru tau kesukaan. Belum tau cerita bagaimana rasanya dia belajar selama ini sama saya atau mungkin bagaimana sih sebenernya dia merasakan bersekolah di sini. Apakah menyenangkan atau justru membuat tertekan. Itu penting banget. Jadi ya bismillah setelah ini mencoba untuk ngobrol dan yang penting lagi welas asih dengan apapun. Selama ini kan ya namanya guru berurusan sama berbagai perilaku siswa, harus mengedepankan mereka anak-anak kita. Mereka butuh dimengerti, bukan hanya butuh materi pelajaran.”

Harapan ke Depan

“Saya pengen bawa ini ke Banjarnegara. Sebenernya di depan kan kita udah dikasih tau nih blom tentu bisa lanjut. Bisa jadi hasil belajar hari ini tuh Mas Aris bilang cukup. Jadi kalau sampai opsi itu terjadi, saya bakalan memperjuangkan ini tetep harus dibawa ke Banjar. Semoga mas Aris bersedia mendampingi dan menemani kami,” aku Dhian dengan penuh antusias, sekaligus menutup sesi dialog sore itu.

Tonton wawancara lengkapnya di:

#LiveInSeries 4 – Salsabila Erda & Sri Jumariah: Manfaat Mentoring

Salsabila Erda (17), siswi SMKN 1 Tengaran yang akrab disapa Erda, menceritakan pengalamannya setelah mengikuti program Karir Anak dan kemudian magang di Piwulang Becik. Perjuangan yang tidak mudah, karena dia sendiri saat masuk ke SMK saja karena terpaksa. Ditambah lagi, saat mengikuti program live in, ia mendapat penolakan dari ibunya, Sri Jumariah (43) yang biasa dipanggil Sri. 

 

Memberi Restu Setelah Melihat Perubahan pada Anak 

“Sebenernya saya kan awalnya nggak setuju. Saya tuh sukanya dia di SMA aja karena mata pelajarannya umum. Jadi kalau ada uang buat kuliah, lebih gampang. Itu menurut saya. Ternyata apa yang di pikiran saya itu tidak tepat. Untung saja ayahnya memaksa. Pertimbangannya supaya mandiri dan siap kerja. Kalau di SMK kan dilatih keterampilan. Tapi saya nggak kebayang Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) itu seperti apa, nanti ngapain. Saya sendiri lulusan SMA,” aku Sri. 

“Tapi saya lihat gambarnya tuh lebih bagus. Karena saya nggak tahu tentang dunia ini, bingung saya. Caranya gimana? Di situ saya dikasih tahu, gini loh caranya. Dari situ saya lihat cara menjelaskan ke saya itu senang dan semangat. Awal-awal memang setengah tidak yakin. Tapi dari wajah kan keliatan. Dia tunjukin juga karya-karyanya. Kan saya ikut senang. Untuk sikap, mungkin kalau Erda melakukan kesalahan dan yang kasih tahu mentor, cara menyampaikannya berbeda dari orang tua. Kalau kita kan ngomel-ngomel. Kalau mentornya menjelaskan sedikit aja, langsung masuk,” tambahnya. 

Selain dari segi teknis, penolakan di awal juga terjadi saat program magang di mana Erda tinggal dan beraktivitas di lingkungan Piwulang Becik. 

“Awalnya, ketika diminta izin menginap, rasanya horor. Namanya orang tua, pertama kali punya anak menginjak remaja, khawatir kan. Ternyata saat lihat kondisinya seperti ini, jadi tahu di sini teman-temannya banyak dan dapat pengalaman positif yang membikin anak saya lebih baik. Bukan yang sebelumnya buruk, tapi jadi lebih baik. Lebih mandiri. Mungkin pertamanya terpaksa karena jauh dari orang tua, tapi lingkungannya positif. Jadi terlihat kemajuan dari segi perilaku. Sekarang kalau dikasih tahu orang tua jadi lebih dewasa,” jelas Sri yang kini berbalik menjadi sangat mendukung proses belajar Erda. Ia melihat semakin banyak perubahan di diri anaknya ke arah yang lebih baik. 

 

Meyakinkan Diri Sendiri untuk Meyakinkan Orang Tua 

Tentunya restu yang diberikan pada Erda merupakan buah dari upayanya meyakinkan orang tua. Namun sebelum meyakinkan orang tua, ia pun mengalami proses meyakinkan dirinya sendiri untuk mengikuti serangkaian program terkait dunia 3D. 

“Awalnya aku mikir, bisa nggak ya? Soalnya ini 3D, sementara aku nggak 3D sama sekali. Trus aku dapat masukan dari mentor ‘kalau kamu mau, kamu pasti bisa’. Dari situ aku mikir, aku mau atau nggak. Aku butuh atau nggak. Akhirnya aku putuskan aku mau walau lama dan aku belum terlalu bisa,” jelas Erda. 

“Kalau untuk meyakinkan orang tua, kan aku udah yakin. Kalau aku udah yakin, aku bakal usaha kasih bukti apa aja yang aku lakuin supaya dapet izin. Apa yang aku buat, dari awal sampai akhir, aku kasih tahu semua. Entah susahku apa, bisaku apa, kekuranganku apa, aku kasih tahu semua biar orang tuaku tuh tahu gitu loh tingkatanku dari nol sampai sekarang apa aja,” sambungnya. 

Sri menambahkan, sebetulnya di awal, Erda juga punya keinginan yang berbeda dari yang dijalani sekarang. “Dulu masuk RPL aja nangis-nangis nggak mau. Awalnya pengen masuk SMA. Ternyata dia nggak tahu bahwa di situlah, dari nangis-nangisnya, ada hal yang dia suka. Sedihnya lama itu. Hikmahnya di situ. Ternyata orang nggak bisa menyepelekan sesuatu yang awalnya nggak sesuai dengan keinginan. Sampai saat ini, dia kalau cerita, antusias sekali. Jadi dia menemukan sesuatu yang sangat dia senangi.” 

 

Menemukan Kesukaan dan Kenyamanan di Tempat Bekerja 

3 bulan live in di lingkungan Piwulang Becik, Erda mengakui menikmati prosesnya meski banyak tantangan yang harus dihadapi. “Aku tuh kan tipikal orang yang kalau ngerjain sesuatu gampang bosen. Trus kalau udah pusing, emosi sendiri. Mentor aku tuh ngasih tahu aku caranya gimana biar nggak bosen atau pusing. Tapi aku juga harus tahu batesannya. Jadi aku berusaha dulu, kalau bener-bener nggak bisa baru tanya. Karena itu, aku jadi termotivasi gitu. Semisal aku yakin aku bisa, bisa jadi nggak semestinya aku bisa. Harus ada orang yang membimbing kita supaya kita tahu kita bisanya apa dan kalau kita nggak bisa, bener-bener nggak bisa, yaudah diomongin. Kalau di 3D kan sekarang aku akuin aku nggak bisa. Jadi mentorku kasih jalan lain di 3D kayak bantu administrasi. Itu sih,” ujar Erda. 

“Di admin ini, aku makin suka. Aku emang suka ngetik-ngetik gitu kan daripada nge-sketch. Bukan lebih santai sih. Itu tanggung jawabnya gede banget. Kalau satu aja datanya salah, itu semuanya bakal salah dan ngulang lagi dari awal. Tantangannya itu besar banget dan aku harus lebih teliti dari sebelumnya.” Erda menjelaskan dengan penuh semangat. 

Terkait kenyamanan, Erda menceritakan bahwa faktor lingkungan sangat signifikan dalam membuatnya betah. “Yang bikin aku nyaman di sini tuh orang-orangnya. Cara mereka mendidik aku tuh nggak keras. Ngomongnya pelan tapi aku langsung tahu. Aku salahnya di mana itu langsung diomongin, nggak ditunda-tunda dulu. Jadi itu sih yang bikin aku nyaman di sini.” 

Selaras dengan pengakuan Erda, Sri menambahkan, “Kalau nggak nyaman, pasti dia pulang terus kok tiap hari. Berarti kan kerasan di sini. Itu kunci seseorang menyukai sesuatu. Contoh orang kerja. Seenak apapun pekerjaan itu, kalau lingkungannya nggak bikin nyaman, nggak akan kerasan. Sebaliknya, meskipun kita kerja berat, kalau lingkungannya nyaman, pasti akan terasa ringan. Jadi lingkungan yang membentuk dia jadi seperti itu. Yang saya seneng, dia itu ada motivasi. Yang susah itu kan memberikan semangat. Harus dengan cara apa? Kalau nggak datang dari diri sendiri, susah. Ini saya yakin karena teman-teman dan mentornya.” 

 

Harapan ke Depan 

“Kalau buat aku, pertama, ingin ningkatin dulu skill administrasi ini. Aku harus lebih dari yang sekarang. Kalau itu udah cukup, aku bakal usaha bikin studio sendiri di cabang-cabang Salatiga ini,” kata Erda. 

Menyambung harapan Erda, Sri menjelaskan bahwa ia berharap anaknya bisa terus melanjutkan apa yang dia suka kerjakan di sini. 

“Terima kasih sudah diberikan masukan dan ilmu dari mentornya. Bukan hanya dari segi teknis tapi juga rohani, pengalaman-pengalaman mereka, kiat-kiat sukses, dan lainnya. Setelah ikut di Karir Anak dan Piwulang Becik, Erda jadi lebih punya tujuan. Terima kasih juga dengan teman-temannya di sini karena dia jadi lebih baik karena mungkin saling mengingatkan,” ujar Sri.

Tonton wawancara lengkapnya di:

#LiveInSeries 3 – Brian Masinas: Mengasah Kepekaan

Sejarah Bergabung dalam Komunitas 

Berlatar belakang sebagai sarjana STT Telkom jurusan desain produk, Brian Masinaz (26) mengawali karirnya sebagai 3D Artist. Dalam perjalanannya, ia merasa perlu mengeksplorasi bidang lain. Berhubung ia tinggal di Pekalongan dan ada peluang bisnis fesyen, ia pun memutuskan vakum dari dunia 3D dan mencoba berbisnis. 

Suatu hari, Brian menemukan lowongan pekerjaan sebagai 3D Artist di Facebook Group. Ia tertarik karena lokasinya dekat tempat tinggalnya. Tanpa punya banyak ekspektasi, ia coba mendaftar dan diterima bergabung bersama studio Peanuts Bee. 

“Awalnya aku kira yaudah kerjain desain 3D aja. Tapi ternyata beda banget kerja bareng komunitas. Di sini yang dikedepankan kan manusianya. Secara mindset, kita terus-menerus dikasih nutrisi, ditekankan sisi kemanusiaan dan kepekaannya. Menurutku ini nggak diajarkan di mana-mana. Bahkan kita diprospek untuk bikin studio baru,” ujarnya. 

Pengalaman Live In

Setelah 8 bulan bergabung, Brian diminta untuk belajar di Studio Kampung Becik Project yang digagas oleh Husayn Akmal Prasetya (22). Selama live in di Salatiga, ia berbagi pengalamannya berinteraksi dengan rekan-rekan yang tinggal dan beraktivitas di sana. 

“Yang paling kerasa sih di sini rame. Ada yang nggak tau, bisa langsung tanya. Aku jadi ngerasa terpacu untuk bikin karya yang bagus karena banyak pembanding yang bagus-bagus,” terangnya. 

Hal lain yang ia rasakan dari pengalaman live in ini adalah ia belajar menjadi lebih berempati, peka pada sekitar, dan menjadi manusia yang beradab. “Di sini tuh aku baru paham kalau nggak aware, rugi banget. Sayang kesempatannya kalau selama di sini aku cuma fokus teknis tapi di luar itu kurang peka. Kalau pun nongkrong sambil ngerokok, cuma ngobrol sama satu-dua orang.” Ia merefleksikan prosesnya ini sebagai latihan berempati. 

Tak hanya dari interaksi dengan sekitar, ia pun mengaku belajar dari hidup sehari-hari seperti piket harian. “Jujur, aku jarang bersih-bersih. Sementara di sini ada piket. Aku baru nyapu ya di sini, jadi nggak tahu bersih apa nggak. Yang penting nyapu aja dulu,” akunya sambil tertawa malu. “Pernah juga temen-temen lagi masak, aku asik sendiri depan laptop. Pas makin rame yang bantuin, aku baru sadar. Lah iya ya, aku ngapain daritadi? Kan nggak enak ya, udah dikasih tempat tinggal, makan, tapi aku nggak ada kontribusinya.” 

Harapan ke Depan 

“Kalau harapan, aku sih pengennya apa yang aku dapetin bisa diterapin, contohnya soal mindset, mental, adab. Misalnya lebih berempati, nggak cuek-cuek banget. Atau kalau terkait teknis, bantu-bantu ajarin apa yang aku dapet di sini. Jadi sama-sama berkembang lebih baik. Dan tentunya kayak semua orang ya, suatu saat pengen punya studio. Tapi kalau buat aku sendiri, aku pengen belajar lebih banyak gimana cara hidup, gimana menjadi manusia, dan gimana adab yang seharusnya. Aku juga pengen bisa lebih berempati dan peka dengan sekitar” tutupnya.

Menjadi Seorang Life-Long Learner

Menurut World Economic Forum, organisasi yang melakukan riset terkait skill atau keterampilan yang dibutuhkan di masa depan, di tahun 2025, diprediksi bahwa manusia dan mesin akan bekerja secara berdampingan untuk menyelesaikan 85 juta peluang kerja yang ada. Untuk itu, setidaknya 50% orang yang bekerja perlu menambah dan memperbaiki skill supaya bisa bertahan di industri.

Tuntutan tersebut ada karena perkembangan teknologi yang semakin cepat tiap tahunnya. Kalau kita tidak bisa beradaptasi, kita bisa terancam digantikan oleh mesin seperti Artificial Intelligence yang biasa disingkat AI. Diprediksi akan ada 85 juta pekerjaan yang tergantikan oleh kehadiran AI ini.

Kabar baiknya, justru dengan kemajuan teknologi, ada peluang 97 juta pekerjaan baru yang tercipta di 26 negara pada tahun 2025. Salah satu skill yang dibutuhkan adalah active learning and learning strategy yaitu keterampilan dalam memperkuat pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk sukses dalam pekerjaan.

Active Learning and Learning Strategy dalam Piwulang Becik

Dalam artikel sebelumnya mengenai pendampingan, disebutkan sekilas mengenai studio 3D yang dikelola oleh Reza sebagai manajer teknis dan Mega sebagai manajer SDM. Pemilik studio tersebut adalah Husayn Akmal Prasetya, seorang lulusan arsitektur dari Architectural Institute in Prague. Dalam percakapan dengan Husayn atau akrab dipanggil Jack, ia menceritakan pengalamannya sampai akhirnya membuka studio 3D.

“Ilmu arsitektur itu sering disebut mother of all arts. Jadi waktu di kampus itu belajar macem-macem. Mulai dari sosiologi, filosofi, fotografi, sampai bikin patung bahkan public speaking. Kita juga belajar banyak tools. Tapi karena waktunya singkat, biasanya kita ngulik sendiri. Karena pada akhirnya yang penting kan hasilnya, bukan pakai tools apa,” ujar Husayn.

Husayn juga menceritakan pengalamannya sebagai anak didikan homeschooling. Proses belajarnya tergantung pada minat saat itu. Mulai dari seni lukis, fotografi, bahkan belajar sepeda BMX dan berjualan. Proses yang dijalani Husayn ini merupakan pembelajaran active learning dan ia aplikasikan juga saat mendirikan studio 3D dan mendampingi tim yang kini berjumlah 10 orang.

“Ternyata apa yang dipelajari selama ini saling berhubungan. Contohnya soal ngulik. Inspirasinya dari pengalaman kuliah di mana aku dituntut untuk nyoba sendiri dan dampaknya positif. Jadi waktu mulai ada tim, anak-anak (tim) langsung disuruh terjun ngerjain project. Aku cuma kasih tau pakai software tertentu, pelajari sendiri, trus supervisi aja. Dari situ biasanya malah nemu caranya sendiri buat bikin sebuah karya.”

Terkait learning strategy, Husayn menjelaskan bahwa makin ke sini, proses kurasi yang ia jalani makin mengerucut. “Sekarang aku lebih bisa memilah fokus. Karena udah punya tim, prioritasnya udah bukan teknis lagi tapi belajar manajemen dan gimana mengelola studio.”

Keterampilan active learning and learning strategy ini membutuhkan kesadaran dan kemauan yang datang dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Brian Herbert:

“The capacity to learn is a gift; the ability to learn is a skill; the willingness to learn is a choice.”

Semoga kita semua senantiasa dimampukan untuk memilih peran menjadi life-long learner.

Pendampingan untuk Mengasah Kepemimpinan

Dalam dunia profesional maupun pendidikan, dikenal istilah mentoring atau pendampingan. Menurut Anderson dan Shannon (1998), proses pendampingan dilakukan oleh sosok yang memiliki bekal kemampuan dan pengalaman yang lebih banyak kepada seseorang yang masih memiliki intensitas kemampuan dan pengalaman yang terbilang minim.

Sosok yang mendampingi biasa disebut mentor, sementara yang didampingi dinamakan mentee. Interaksi dalam proses pendampingan ditujukan untuk peningkatan kemampuan mentee, baik soft skill maupun hard skill. Kesuksesan dalam pendampingan sangat bergantung pada kemauan mentee untuk terus belajar serta kepedulian yang tulus dari mentor untuk membantu mentee berkembang.

Selain itu, dalam pendampingan sangat dibutuhkan pendekatan personal untuk membangun chemistry antara mentor dan mentee. Harapannya, dengan adanya pendekatan ini, terbangun hubungan jangka panjang melampaui relasi yang bersifat teknis.

Proses Pendampingan dalam Piwulang Becik

Mega Herawati (foto tengah) yang kerap disapa Mega, seorang manajer SDM dalam proyek studio 3D, menyebutkan bahwa mentornya, Jack, saat ini menjadi teman yang cukup akrab. Sementara Reza Ahmad Prasetya (foto paling kiri) yang akrab dipanggil Reza, manajer teknis dalam proyek studio 3D yang sama dengan Mega, mengatakan bahwa hubungannya dengan salah satu mentee-nya, Rizky, kini melebur menjadi teman diskusi. Mereka membahas ide-ide kreatif, teknik baru dalam industri 3D, maupun topik di luar itu.

Proses pendampingan juga berlaku antar rekan kerja. “Reza dulu juga mentorku buat ngajarin gambar. Eh, sekarang malah kerja bareng,” kenang Mega sambil tertawa. Reza pun mengakui belajar banyak dari cara komunikasi Mega. “Aku dulu susah ngomong sama orang. Tapi aku perhatiin caranya Mega bangun suasana, jaga mood, dan aku coba praktekin sendiri.”

Menariknya, baik Mega dan Reza sepakat bahwa meski sebagai mentee mereka sangat terbantu dalam perkembangan diri, saat mereka berperan sebagai mentor, mereka juga belajar banyak.

“Kalau teknis sebetulnya bisa belajar dari Youtube, baca buku, atau latihan sendiri secara otodidak. Tapi dalam mentoring itu kita belajar non-teknis kayak adab dan gimana pendekatan ke orang yang berbeda-beda. Kalau yang emang suka, gas terus. Makin dikasih tantangan, mereka makin seneng. Kalau yang nggak terlalu minat 3D, pelan-pelan dampinginnya,” ujar Reza menceritakan pengalamannya mendampingi project-based learning di Piwulang Becik.

Sementara bagi Mega yang lebih fokus pada pengelolaan SDM, tantangannya berbeda lagi. “Pernah tuh ada yang curhat ke aku. Bosen ngerjain 3D katanya. Yaudah kita atur jadwal main bulutangkis atau basket. Yang penting timeline tetep kekejar.”

Hubungan yang jujur, terbuka, dan penuh empati serta menjunjung adab belajar dalam proses pendampingan menjadi nilai penting yang perlu dijaga. Tidak mudah, namun hal ini melatih kemampuan dalam memimpin.

Seperti kata-kata dari Jack Welch seorang eksekutif dari perusahaan besar dunia:

“Before you are a leader, succes is all about growing yourself. When you become a leader, succes is all about growing others.”