Homeschooling: Belajar Sambil Jalan-Jalan

Sarah Diorita (31), ibu dari El Pitu (12), salah satu murid Piwulang Becik, pada Jumat siang lalu (23/12) berkunjung ke Piwulang Becik dan berbincang akrab tentang perjalanan homeschooling dirinya maupun anaknya. 

Pengalaman Menjadi Homeschooler 

Sebagai perempuan berdarah campuran Perancis-Indonesia, masa kecil Sarah dihabiskan dengan bepergian. “Ibu saya orang Perancis, ayah saya orang Indonesia. Jadi otomatis walau kami lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia, tapi dalam setahun pasti ada ke Perancisnya. Makanya dari kecil itu sekolah memang terbagi. Sekolah di sini dan sekolah di sana. Nggak pernah full setahun di kelas yang sama,” ujarnya. 

Kondisi seperti itu ia jalani sampai akhir kelas 4 SD. Di kelas 5 – 6 SD, ia melanjutkan sekolah internasional untuk melancarkan bahasa Inggris dan mendapatkan insight dari jenis pendidikan yang lain. Di masa SMP, situasi keluarga membuat ia akhirnya menjalani homeschooling. “Kan saya anak tunggal. Cuma saya dan ibu saya. Jadi kami bikin deal. Saat itu lagi banyak traveling. Ibu saya memutuskan ‘yaudah kamu homeschooling sehingga kamu bisa ikut saya ke mana aja’. Jadi kami jalan-jalan itu dengan homeschooling kurikulum Perancis. Saya ingat sekali 3 tahun itu banyak belajarnya justru dari pengalaman jalan-jalannya.” 

“Setau aku sekarang homeschooling di Perancis udah nggak boleh karena mereka pengen ada satu standar tertentu. Zaman dulu semua tugas dan modul-modul dikirim dalam bentuk hard copy terus aku kerjain, kirim balik, dinilai, dan kirim balik lagi ke aku. Dulu karena kita dapat duluan kurikulum satu semester, jadi ngerjainnya kalau pas bisa, ya bisa ngebut. Kalau pas nggak bisa, kita take time. Enaknya di situ. Jadi ketika ada waktu luang, kita bener-bener bisa ngerjain hal yang kita suka,” kenangnya. 

 

Awal Mula Mendidik Anak dengan Cara Homeschooling 

Dari pengalaman tersebut, istri dari Eross Candra (41), gitaris band Sheila on 7, ini mengaku menikmati proses yang menginspirasinya untuk mendidik Pitu dengan cara homeschooling juga. “Jadi sebenernya ide untuk homeschooling pengennya itu dari awal SD. Suami juga setuju karena saya pernah homeschooling, tahu betapa serunya belajar dengan cara lain. Kebetulan keluarga kami juga lumayan sering jalan-jalan. Jadi kok kayaknya lebih cocok daripada harus bolos sekolah dan tertinggal pelajaran. Jadi yaudah sini kita aja yang ngajarin. Tapi kan harus cari tahu legalitas di Indonesia itu seperti apa. Apakah boleh? Kalau boleh, formatnya seperti apa? Karena seperti di US kan tidak semua negara bagian mengizinkan untuk homeschooling. Jadi ada waktu cukup lama untuk cari tahu sana-sini. Apalagi kita pengennya homeschooling gaya bebas. Artinya, apa yang mau dipelajari itu ada di tangan anak dan orang tua. Tapi beberapa homeschooling harus lewat lembaga di mana anak harus ke sana seminggu 2-3 kali. Lah ini sama aja. Mending dia sekolah kan,” jelasnya. 

Proses pencarian tersebut akhirnya mempertemukan pengusaha katering Lokaloka Lab ini dengan Piwulang Becik dan memutuskan mendaftarkan Pitu sebagai siswa di sini sejak kelas 3 SD karena merasa cocok dengan ‘gaya bebas’ yang diinginkan keluarganya. Namun selama proses pencarian wadah pendidikan homeschooling yang paling sesuai, Sarah menyekolahkan anaknya di sekolah formal.

“Awalnya sih sekolah ya karena anak kami kan anak tunggal. Saya berpikiran kayaknya dia tetap harus sekolah deh. Biar ada temen. Terus setelah kami pikir-pikir, kayaknya kalau temen nggak harus di sekolah deh. Mungkin karena dia makin besar ya, makin mudah diajak ke mana-mana. Dan anak saya tuh beberapa kali pas saya nganter ke sekolah, dia nanya ‘kenapa aku harus belajar tuh di sekolah?’ JENG JEEENG! Ya sementara begini dulu sambil ayah-ibu cari tahu. Kami kenal anak kami ya. Dia kayaknya tipe yang kalau dibebaskan, artinya kami yang mengikuti apa yang dia suka, kok kayaknya lebih banyak masuk, lebih mudah belajarnya. Jadi mungkin dia perlu sistem belajar yang berbeda. Makanya akhirnya kami putuskan dia untuk homeschooling,” terangnya. 

 

Tantangan Menjalani Homeschooling 

Meski terkesan bebas, homeschooling bukan berarti bebas dari tantangan. “Tantangan itu banyak ya. Maksudnya, bukan berarti dengan homeschooling semuanya jadi lebih santai dan nyaman. Nggak juga. Tantangannya justru menurut saya lebih banyak tetapi menyenangkan karena kami semua sekeluarga sama-sama belajar, berproses. Kalau sekolah kita menyerahkan sebagian hari anak itu kepada orang lain, kalau ini bener-bener kami yang kendalikan gitu kan. Nilai-nilai apa yang ingin kita tanamkan ke anak tuh sepenuhnya dari kami dan itu alami karena benar-benar kita jalani sehari-hari.” 

Ia menyebutkan salah satu tantangannya adalah disiplin dalam konteks konsistensi jadwal. “Kita kan keluarga nyeni semua. Ayahnya seni, saya juga nggak ada jam kantor, jadi disiplin itu salah satu yang paling susah. Tapi ya sambil jalan sih. Tentunya nggak sempurna ya. Kita nggak mencari kesempurnaan juga karena pasti semester ini sama semester depan atau bulan ini sama bulan depan, udah beda ritmenya. Kami pintar-pintar menyesuaikan aja. Oke bulan ini kita akan banyak jalan. Gimana nih kita belajarnya? Jadi selalu di-update, bukan dari jam segini sampai jam segini kamu harus ini. Nggak. Tapi dia ada juga aktivitas yang udah ter-schedule kayak les bahasa Jepang. Terus biasanya kalau kami di rumah, pagi sampai siang itu memang momen dia belajar. Bisa apa aja. Biasanya tuh ada folder tertentu di mana dia bisa mengikuti pelajaran online terdaftar atau dia bisa ambil file worksheet di folder yang dia mau, gambar, atau buat Lego gitu. Pokoknya ada proses belajar di situ. Jadi ya lebih ke soal penjadwalan sih menurut saya,” tuturnya. 

“Tantangan lainnya, menemukan minat. Ketika kendala nih misalnya dia mulai sesuatu terus kok kayaknya kurang suka ya kita jadi harus cari lagi. Tapi ya memang itu yang menyenangkan juga. Dan itu yang menarik karena kami sebagai orang tua sepenuhnya berada di situ, di momen-momen tersebut, dan keputusan kita ambil bersama. Jadi saya rasa yang paling menyenangkan itu kami semua belajar. Paling menyenangkan dan paling menantang juga. Tapi kembali lagi ke keputusan awal kenapa sih kita homeschooling. Jadi yaudah nanti pasti ada aja cara yang kita temukan. Solusinya,” sambungnya. 

 

Hal yang Menyenangkan Saat Homeschooling 

Dalam proses wawancara, Eros berceletuk spontan bahwa hal menyenangkan dari homeschooling adalah tidak harus bangun pagi. Hal ini menimbulkan gelak tawa semua orang. Sarah kemudian menjabarkan, “Sebenernya sih kenapa nggak harus bangun pagi itu juga jauh lebih alami untuk kami jalankan karena kan sefleksibel itu. Jadi tidak bersebelahan dengan kehidupan kita sehari-hari. Jadi kita hidup bersama tapi juga masing-masing.”

Selain itu, ia menambahkan bahwa ada kepuasan tersendiri saat melihat hasil setelah melewati berbagai kesulitan bersama. “Kalau lihat progress, seneng banget karena ini hasil kerja keras bersama. Reward-nya di situ. Terus bonding juga. Kemudian kita jadi lebih ada waktu ketika kita harus pelan ya kita memelan, saling cari tahu kira-kira kenapa ya? Kita sebaiknya seperti apa ya? Itu semua dikomunikasikan bersama dan itu yang paling menyenangkan. Terus bebas aja. Maksudnya, topik pembelajarannya jadi lebih seru karena tidak terkait dengan hal yang sudah ditentukan. Bener-bener pertanyaan muncul dari keseharian anak. Jadi dari kami pun kadang jadi harus cari tahu juga,” ujarnya antusias. 

Hal menyenangkan lainnya adalah dengan proses homeschooling, guru bisa datang dari mana saja, termasuk dari nenek. “Di sini kita mengikutsertakan neneknya dan dia akhirnya merasa punya peran kembali. Benar-benar menganggap serius. Seneng karena waktu Pitu ke sana, benar-benar disiapin belajar apa. Jadi sangat terbantu karena mitologi dan sejarah itu bener-bener bukan hal yang aku kuasai tapi ibuku iya. Pokoknya aku serahkan waktunya dengan nenek.”

 

Sosialisasi bagi Anak Homeschooler 

Bagi orang tua yang ingin memulai homeschooling, salah satu pertimbangan adalah bagaimana anak akan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bagi Sarah, ia tak terlalu memusingkan dan khawatir akan hal tersebut. “Kalau segi sosialisasi sih sebenernya bisa dicari ya, bisa diakalin. Memang kalau tidak diatur bisa dengan sangat mudah jadi tertutup. Tapi kan anak pasti ada aktivitas di luar. Nggak mungkin selamanya dia sendiri di rumah. Misalnya ada minat untuk pingpong, kan dia ketemu dengan pelatihnya, kemudian nanti kalau ada rencana dia ikut klub, pasti akan berteman dengan anak-anak di klub itu karena udah seminat kan. Jadi soal berteman, ah itu mah bisa dicari sih. Pinter-pinter orang tuanya aja. Orang manusia banyak banget kok,” jawabnya santai. 

 

Bukti Pembelajaran Anak Homeschooler 

Bagi para pegiat homeschooling, jurnal dan portofolio menjadi bagian dari keseharian, tak terkecuali Sarah dan Pito. Sambil bercerita, Sarah menunjukkan 5 jenis dokumen yang ia bukukan bersama anaknya. Mulai dari jurnal yang ditulis sendiri oleh Pitu, dokumentasi perjalanan saat traveling, portofolio project Lego, rangkuman kegiatan dalam satu semester, juga kumpulan worksheet dan sertifikat yang disimpan rapi dalam satu arsip. 

“Kayaknya ini bawaan dari ibu ya. Dulu kami harus berpindah-pindah, jadi pinter-pinternya ibu saya simpan dokumentasi buat jaga-jaga. Kira-kira kalau masuk sekolah nanti, dimintain apa ya? Kan jadinya kita harus punya semua ya. Dan dari kecil memang diajarkan untuk misalnya saya gambar, pasti disimpan sama ibu. Di-frame lah, dimasukin ke file lah, jadi kalau portofolio memang sealami itu sih kalau buat saya. Saya juga ajarin itu ke anak. Dia kan nggak terlalu akademis, tapi seneng bikin-bikin nih kayak bikin Lego. Dijadiin project aja.” Sembari membuka dokumen portofolio, Sarah mulai menjelaskan dengan penuh semangat. 

“Mungkin di Piwulang kan banyak ditekankan ya betapa pentingnya portofolio. Itu yang nanti akan jadi bukti nyata ketika kita mau masuk kuliah lah, mau ke dunia kerja lah, dan untuk kenang-kenangan juga. Untuk seorang ibu, ada sisi emosionalnya ngeliat anak berkembang. Seneng juga karena anak ikut menyusun portofolio. Jadi dia melihat sendiri buktinya. Mungkin 3 tahun lagi dia akan bilang, ‘Ah, ini mah gampang banget!’ tapi kan dia lihat ada progress. Semuanya diberi nilai dalam arti tidak hanya disimpan di kolong dan dijadikan kertas buat coret-coret atau apa tapi dia menyusun ini tuh ada hasilnya. Maksudnya, gambar ditaroh di file dengan dibiarkan gitu aja kan beda ya. Dan dalam prosesnya, ketika orang tua juga mem-file-kan hasil karyanya kan dia merasa ‘oh ternyata aku bikin ini tuh dihargai ya.’ Itu penting sih menurut saya proses portofolio itu. Bener-bener menambah rasa percaya diri dan semangat pada anak,” tambahnya. 

 

Merancang Kurikulum Homeschooling 

Di balik portofolio yang disusun dengan amat rapih, ternyata ada proses perancangan kurikulum yang sangat personalized, menyesuaikan dengan minat dan kondisi saat itu. “Sehari-hari tetep ada ya guidance dari orang tua karena pasti anak ada hari di mana dia nggak tahu mau belajar apa, jadi kita kasih opsi. Tapi jarang sih karena kan tiap hari orang tua sama anak komunikasi ya. Jadi pasti ada lah topik pembelajarannya. Aku rasa nggak akan pernah mentok atau bingung. Tapi kadang anak juga dibebaskan misalnya ketika bikin Lego. Itu juga harus dianggap sebagai proses belajar. Dia gunting-gunting, dia ngecat, itu kan proses berkembang ya. Homeschooling sekarang di Indonesia sangat enak. Memang ada setara daring. Tapi selebihnya bener-bener disesuaikan dengan keluarga dan apa yang anak senang,” terangnya.

 

Harapan ke Depan untuk Anak 

Sebagai penutup, Sarah membagi harapannya untuk masa depan Pitu. “Ke depannya sih bebas ya. Selama tidak menyakiti orang lain, dianya happy, bahagia, dan selalu ingat itu bisa berguna bagi sekitar dia, itu aja cukup. Kita nggak punya gol yang gimana-gimana yang penting dia nyaman dengan apa yang dia lakukan, itu kita udah bahagia sekali. Pokoknya bebas asal jangan merugikan orang lain,” tutupnya.

Tonton wawancara lengkapnya di:

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Saat ini kita telah memasuki era digital, di mana semua kegiatan dipermudah dengan adanya internet dan perangkat teknologi yang mendukung. Adanya internet membuat kita dapat mengakses segala informasi terbaru, bahkan terhubung secara langsung dengan orang lain tak terbatas tempat dan waktu.

Banyak masyarakat yang sangat bergantung dengan adanya internet, gawai, laptop atau perangkat canggih lainnya. Hal ini tentu banyak mengubah gaya hidup masyarakat, mulai dari cara berpikir, bertindak dan berkomunikasi. Adanya sosial media misalnya, membuat kita seakan menjadi lebih mudah terhubung dengan orang lain yang sudah dikenal maupun asing. Akan tetapi dengan kemudahan akses yang diberikan, tanpa sadar kita kehilangan batas antara ranah privat dan publik.

Minimnya keterampilan komunikasi dalam ranah sosial bisa menjerumuskan seseorang pada kesalahpahaman. Kecepatan informasi dan tersebarnya informasi yang tersaji dalam layar gawai, seringkali membuat seseorang kehilangan cara mereka dalam menyaring informasi. Misalnya seperti banyak orang di luar sana yang tak bisa menempatkan bahasa pada konteksnya sehingga bahasa yang disampaikan justru mengarah pada kesalahpahaman dan berujung pada pertikaian baik secara daring maupun luring.

Komunikasi yang buruk tak hanya ditemui pada orang dewasa, hal ini juga sering ditemukan pada kalangan remaja hingga anak-anak. Banyak dari mereka yang belum tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan lawan bicaranya. Contoh sederhana, bagi masyarakat Jawa tentu mengetahui jika Bahasa Jawa terbagi menjadi empat tingkatan, yakni Ngoko Lugu, Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Inggil. Tingkatan tersebut ditujukan kepada siapa yang diajak bicara, misalnya seperti anak kepada orangtua diharapkan menggunakan Krama Inggil, sebagai rasa hormat dan kesopanan. Sayangnya, sekarang ini tak banyak anak asli Jawa yang menggunakan Krama Inggil untuk berbicara dengan orang tuanya. Justru banyak dari mereka yang menggunakan bahasa Ngoko, yang mana bahasa tersebut digunakan untuk teman sebaya.

Dapat dikatakan, bahasa yang digunakan adalah cerminan kesopanan. Oleh sebab itu pemilihan kata saat menyampaikan informasi, gagasan, ataupun kritik sangatlah diperlukan. Bahasa adalah langkah awal pada seseorang bisa berperilaku baik dengan diri maupun pada orang lain. Apabila bahasa yang seorang dengar adalah bahasa kasar, jika salah dalam memaknai maka bahasa tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan kemungkinan diterapkan juga pada orang lain. Hal tersebut juga bisa dilihat ketika seorang anak tumbuh dengan orang tua yang saling mencaci maki satu sama lain setiap harinya serta orang tua yang sering memberi label sebagai anak nakal atau bodoh. Anak bisa menginternalisasi apa yang didengar setiap harinya dan tanpa disadari bisa berpengaruh pada pembentukan karakter di kehidupan selanjutnya.

Belajar berbahasa yang baik sama artinya dengan kita berusaha mendidik pikiran dan jiwa untuk lebih sehat lagi. Selain itu, bahasa juga sangat erat dengan nilai sosial, religi, dan budaya. Menjadi penting untuk membangun budaya berbahasa yang baik di lingkungan keluarga dengan mulai menyadari setiap kata yang terucap.

 

Sering Mengalami Stres Dan Cemas Saat Belajar, Ikuti Tips Berikut Ini

Sering Mengalami Stres Dan Cemas Saat Belajar, Ikuti Tips Berikut Ini

Saat mengerjakan tugas-tugas dari tutor terkadang membuat siapapun merasa pusing, termasuk anak-anak baik itu usia remaja atau usia menjelang dewasa. Apalagi jika sudah berdekatan dengan ujian, rasanya ada banyak tekanan yang dirasakan. Rasa tertekan yang dialami kemudian berubah menjadi stres yang berlebihan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan rasa cemas yang berlebihan hingga depresi.

Kenapa mereka bisa mengalami stres?

Stres dan cemas bukan hanya memberikan beban psikologis saja, namun juga berdampak pada kondisi fisik seseorang misalnya sering sakit kepala, mudah marah, pola tidur terganggu, tubuh terasa lemas meskipun tidak melakukan aktivitas berat, serta perubahan tekanan darah. Banyak anak yang masih berusia remaja yang bersaing merebutkan peredikat nomor 1 diantara teman-temannya, sehingga hal inilah yang membuat mereka harus belajar lebih keras hingga larut malam.

Apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini banyak anak remaja yang mengalami kesulitan untuk belajar secara online. Tingkat stres yang dialami anak semakin meningkat, bukan hanya disebabkan oleh tugas-tugas belajar atau sistem pembelajaran jarak jauh, namun juga kegiatan belajar yang dilalui sendirian.

Selain itu penyebab umum remaja mengalami stres saat belajar adalah rasa jenuh, karena mereka harus menatap layar monitor selama berjam-jam. Tingkat stres semakin tinggi jika fasilitas semakin terbatas seperti jaringan internet yang lama atau alat elektronik yang digunakan kurang mumpuni. Interaksi yang minim membuat anak menjadi sulit memahami materi. Misalnya saat kegiatan belajar secara tatap muka, anak dapat bertanya secara langsung kepada pengajar, akan tetapi selama belajar online anak hanya bertanya secara virtual. Sehingga ada kemungkinan muncul kesalahpahaman atau justru ketidakpahaman tentang ilmu tertentu.

Lalu bagaimana cara mengatasi stres dalam belajar?

1.      Beristirahat jika sudah merasa lelah

Saat kita merasa lelah untuk menatap layar komputer atau smartphone, maka jangan dipaksakan. Istirahatlah sejenak setidaknya lima belas menit. Kita bisa berkeliling rumah atau sekadar melihat halaman depan yang hijau.

2.      Belajar meditasi

Saat mengalami stres mungkin ini saatnya kita belajar meditasi, kita bisa bisa melakukan meditasi sederhana dengan melakukan teknik pernapasan. Meditasi ini akan membantu pikiran dan perasaan seseorang kembali stabil.

3.      Luangkan waktu untuk berolahraga

Dibanding bermalas-masalan, lebih baik kita menyempatkan waktu untuk berolahraga sejenak. Olahraga dapat meningkatkan hormon dopamin sehingga suasana hati terasa membaik.

4.      Atur jadwal dengan jelas

Saat kita ingin menambah kegiatan yang lain seperti olahraga itu artinya kita perlu mengatur kembali jadwal harian yang dimiliki. Buatlah jadwal sesuai dengan kapan waktunya belajar, berolahraga, bermain, dan beristirahat.

5.      Tidur cukup

Pola tidur umumnya akan terganggu saat seseorang mengalami stres. Untuk itu, cobalah atur lagi jadwal tidur setiap hari setidaknya 7-8 jam. Jauhkan hal-hal yang bersifat distraksi dari tempat tidur.

6.      Diskusikan masalah ini dengan orang dewasa

Saat remaja stres umumnya mereka bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Atau justru masih belum sadar jika mereka mengalami stres. Pada kondisi ini peran orang dewasa terutama orangtua di sekitar anak sangatlah penting. Pada saat anak merasa stres maka tugas orangtua adalah mendampinginya. Orangtua bisa menjadi teman dekat yang baik dengan mendengarkan setiap keluh kesahnya, atau jika perlu kita bisa meminta bantuan profesional untuk mengatasi stres tersebut.

Banyak remaja yang mengalami tekanan terkait pendidikannya. Untuk itu peran orangtua dan lingkungan terdekat anak sangat penting, untuk menemani dan memberikan dukungan. Katakan pada mereka jika mereka tak sendiri, keluarga selalu menemaninya dalam kondisi apapun.

Perlukah Menanamkan Jiwa Kompetitif Pada Anak?

Perlukah Menanamkan Jiwa Kompetitif Pada Anak?

Siapa yang tak bangga ketika melihat anak meraih juara dalam sebuah kompetisi? Mengikutsertakan anak dalam sebuah kompetisi atau perlombaan tentu memberikan banyak dampak, seperti menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri, menjadi dorongan untuk belajar lebih, dan menumbuhkan jiwa kompetitif. Tentu tak ada salahnya mengajak anak untuk mengikuti berbagai lomba selagi belum dewasa. Akan tetapi orangtua harus berhati-hati, karena biasanya ambisi pribadi orangtua sering kali terlibat dalam hal ini.

Sayangnya di luar sana banyak orangtua yang ingin anaknya memenangkan perlombaan sehingga menuntut anak menjadi pemenang. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pertumbuhan anak, mereka akan mendapatkan tekanan mental yang cukup besar. Apalagi jika anak tak berhasil memenangkan perlombaan, mereka akan menyalahkan diri sendiri dan menunjukkan rasa kekecewaannya baik itu langsung maupun tidak. Jika hal ini terus terjadi, anak akan menjadi rendah diri, dan terlalu berambisi. Terlalu ambisius membuat anak melakukan berbagai cara untuk menjadi pemenangnya, tanpa peduli apakah cara yang mereka lakukan itu jujur ataupun curang.

Pada kondisi itu tentu sikap kompetitif sudah tidak sehat. Jiwa kompetitif yang seharusnya mendukung anak untuk berkembang secara mental dan kemampuan, justru membuat mereka tertekan. Untuk itu, sebagai orangtua anda perlu memahami  bagaimana anak memiliki sifat kompetitif yang sehat.

Perlu dipahami jika berkompetisi tak berarti bersaing dengan orang lain, namun anak bersaing dengan dirinya sendiri. Anak harus mengusahakan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Sayangnya banyak orangtua yang tidak memahami perkara ini, sehingga mereka justru meminta anak untuk menjadi terbaik diantara teman-temannya. Untuk itu, ada kiat-kiat yang dapat diterapkan oleh orangtua untuk menumbuhkan jiwa kompetisi yang sehat pada anak.

1.      Tanamkan konsep positif tentang kompetisi

Katakan pada anak jika pencapaian bukan hanya tentang memenangkan sesuatu, akan tetapi memiliki tujuan yang jelas dan usaha meraihnya. Jika seandainya mereka mengalami kegagalan, itu bukan masalah besar, mereka justru memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman tersebut.

2.      Jadilah role model yang baik untuk anak

Anak adalah peniru yang baik. Untuk mencontohkan bagaimana persaingan yang sehat kepada anak anda bisa mengajak anak bermain bersama. berikan sikap yang baik saat anda mengalami kekalahan dan bagaimana anda memenangkan permainan.

3.      Bangun rasa empati

Kompetisi akan menjadi sehat jika orangtua mengajarkan kepada anak untuk menomorsatukan pertemanan yang baik. Ajak anak untuk tidak memikirkan dirinya sendri saja, serta membangun hubungan interpersonal yang baik. Katakan padanya jika menang dan kalah adalah hal yang biasa.

4.      Tekankan pada motivasi intrinsik

Dalam suatu kompetisi, seseorang bukan hanya di dorong oleh faktor-faktor luar seperti, kemenangan, piala, piagam, atau uang. Namun, ada faktor dari dalam diri yang turut mendorong seperti kegembiraan dan pengembangan diri. Tekankan dorongan pada anak yang bersifat intrinsik, misalnya menjadi pribadi yang lebih kuat secara mental, menumbuhkan rasa percaya diri, dan lain-lain.

5.      Keseimbangan itu penting

Ingat kemenangan bukan segalanya, saat anak merasa sedih karena tak meraih hasil yang memuaskan, maka orangtua harus memberikan apresiasi dan dorongan positif. Katakan pada anak jika ia telah mengusahakan yang terbaik. Mungkin saja, hari ini bukan hari keberuntungannya.

Ingat kompetisi yang sehat bukan berfokus pada kemenangan, namun proses yang dijalani oleh anak. Mulailah tanamkan mindset pada diri sendiri dan anak jika setiap perjuangan tentu selalu ada usaha dan progres untuk lebih berkembang.

Menumbuhkan Kebiasaan Belajar Mandiri Di Rumah Dengan Bimbingan Dari Pengajar dan Orang Sekitar

Menumbuhkan Kebiasaan Belajar Mandiri Di Rumah Dengan Bimbingan Dari Pengajar dan Orang Sekitar

Belajar adalah sebuah proses panjang yang bukan hanya terjadi dalam bersekolah saja, namun proses belajar berlangsung seumur hidup. Itu artinya proses belajar tetap berjalan meskipun sudah di rumah dan tidak bertemu dengan para pengajar. Sejatinya belajar bukan hanya tentang menghafal atau memahami materi saja, tapi belajar juga berkaitan dengan menjalin hubungan yang baik antara anak dengan pengajarnya, begitupun sebaliknya. Adanya hubungan erat antara pengajar dan anak akan menimbulkan dampak positif, seperti muncul dorongan untuk lebih bersemangat untuk memahami hal baru.

Namun dalam situasi pandemi seperti ini, pertemuan antara pengajar dan anak menjadi terbatas. Proses belajar di rumah menjadi tantangan tersendiri. Minimnya interaksi secara langsung tentu hal ini membuat anak harus belajar dengan cara baru, yakni belajar mandiri. Setelah jam belajar bersama pengajar selesai, maka anak memiliki tanggung jawab untuk bereksplorasi dari materi yang sudah diberikan.

Dengan belajar secara mandiri, membantu anak dalam memecahkan persoalan yang terkait proses belajarnya secara mandiri dan hal ini tentu saja bagus untuk bekal kehidupannya kedepan. Namun belajar secara mandiri tetaplah bukan hal yang mudah bagi anak, apalagi jika sebelumnya belum pernah dilakukan. Untuk itu, simak penjelasan berikut ini untuk membantu dalam mendapingi anak dalam proses belajar mandiri:

1.      Buatlah jadwal belajar dengan baik

Belajar mandiri memang tidak mudah, perlu komitmen yang besar pada diri anak. Agar mempermudah proses belajar langkah awal yang harus dilakukan adalah membuat ‘to-do-list’ dengan menuliskan semua kegiatan yang harus dikerjakan dalam satu hari. Dari kegiatan-kegiatan tersebut selanjutnya urutkan kegiatan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, proses ini harus berdasarkan skala prioritas. Anak juga bisa menyertakan jam belajar bersama pengajar dan belajar secara mandiri.

2.      Buat porsi belajar yang pas

Saat anak tengah bersemangat, seringkali mereka jadi lupa waktu dan justru terus belajar tanpa ingat waktu. Walau seakan terlihat baik tapi sebenarnya hal ini akan menjadi kurang efektif bagi proses belajarnya. Saat belajar mandiri anak harus pandai mengatur waktu belajar dan istirahat. Anda bisa membantunya membuat perkiraan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar begitupun juga dengan istirahat.

3.      Jangan ragu untuk melibatkan orang lain sebagai bentuk dari inisiatif

Belajar mandiri bukan berarti anak harus menyelesaikannya semuanya sendiri. Tentu ada beberapa kemampuan yang tak dimiliki anak dan sulit untuk menyelesaikannya sendiri. Pada saat ini maka biarkan anak berinisiatif untuk melibatkan orang lain selama proses belajarnya. Munculnya inisiatif merupakan bagian dari kemandirian, dalam konteks belajar di rumah, anak bisa berinisiatif dengan melibatkan orang lain seperti orangtua ataupun kakak. Misalnya orangtua dapat membantu anak untuk mengevaluasi pemahaman mereka terhadap suatu materi.

4.      Fokus!

Jika ketiga poin di atas sudah dilakukan maka yang terakhir adalah FOKUS. Selama proses belajar jauhkan diri dari berbagai benda yang mendistraksi. Jika perlu buat peratuan, benda-benda seperti remote TV, handphone, game, dan lainnya bisa disentuh setelah proses belajar selesai. Jika proses belajar anak menggunakan gawai, maka anda bisa membuat peraturan aplikasi mana saja yang boleh dibuka selama belajar.

Belajar secara mandiri memang tidak mudah, oleh sebab itu orang tua atau pendamping juga perlu terlibat dalam proses belajar anak. Orang tua tak hanya sebagai pengawar semata, namun juga memainkan peran sebagai sumber dukungan positif bagi anak agar makin termotivasi pada proses belajar mandiri yang sedang dijalaninya.

Bukan Hanya Pengajar, Orangtua juga Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak

Bukan Hanya Pengajar, Orangtua juga Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak

Sebagai orangtua tentu anda bertanggung jawab penuh atas kebutuhan mereka mulai dari, sandang, pangan, hingga pendidikan. Banyak orangtua yang menggantungkan masa depan anak mereka pada pendidikan yang ditempuh. Tak heran mereka bersusah payah mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan dasar belajar, seperti biaya operasional pada lembaga pendidikan, kebutuhan buku dan alat tulis, bahkan pakaian/seragam.

Biaya pendidikan anak tentu tidak murah, ada uang dan usaha yang harus dibayarkan oleh orangtua. Meskipun demikian, banyak orangtua yang fokus bekerja dan tak mengamati proses belajar yang dilakukan anak. Padahal peran orangtua bukan hanya membiayai pendidikan anak saja. Orangtua juga harus terlihat sebagai support system anak untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.

Melakukan pendampingan belajar pada anak tentu berbeda dan harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Penyesuaian ini akan memberikan dampak yang cukup besar pada proses belajar anak baik itu akademik maupun non-akademik. Agar lebih jelas simak berikut ini adalah tanggung jawab orangtua dalam mendampingi anak belajar, antara lain:

1.      Memberi semangat pada anak

Pendampingan orangtua dalam proses belajar anak sangatlah penting dan berpengaruh positif pada tumbuh kembangnya. Pada proses pendampingan orangtua dapat menyampaikan nilai-nilai pendidikan agar anak lebih bersemangat dalam belajar. Memberi semangat juga bisa dalam bentuk mengapresiasi pada setiap inisiatif yang dilakukan, serta progres belajarnya. Sikap-sikap positif orangtua akan membuat anak menjadi lebih optimis dan bersemangat. Jika orangtua bersemangat maka anak juga demikian.

2.      Membantu menyelesaikan kesulitan yang dialami anak saat belajar

Setiap proses belajar tentu ada kalanya anak mengalami kesulitan, entah mengerjakan tugas dari pengajar atau mempraktekan sesuatu. Pada saat itu, sebaiknya anda mendekati anak dan menawarkan bantuan padanya. Ingat, jangan memarahi anak atas ketidakpahamannya terhadap sesuatu. Di usianya sangat wajar jika mereka keliru atau bahkan tidak paham sama sekali. Dibanding memarahi atau mengomel, ada baiknya anda dan anak mengerjakan tugas itu bersama.

3.      Mengawasi perkembangan belajar anak

Umumnya orangtua hanya tahu perkembangan anak dari nilai raport saja, padahal ini bukan bentuk pengawasan yang baik. Orangtua harus mengawasi dan mengamati proses belajar anak, seperti mengetahui bagaimana cara mereka belajar, pelajaran apa yang meraka sukai dan tidak sukai, hingga bagaimana pemahaman anak terhadap ilmu baru. Pengawasan ini juga sebuah tindakan untuk memastikan hal yang dipelajari anak adalah hal positif.

4.      Menjaga komitmen anak dalam belajar

Terkadang komitmen atau niat belajar anak sering mengalami pasang surut, hal inilah yang terkadang menjadi penghambat anak dalam memahami sesuatu. Ada banyak hal yang menyebabkan anak kurang berkomitmen atas cara belajar yang mereka pilih seperti rasa bosan, lingkungan yang kurang mendukung, dan lain sebagainya. Pada kondisi ini, orangtua sebagai pendamping anak untuk menciptakan tempat belajar yang nyaman, menyingkirkan rasa bosan. Serta mengingatkan anak tentang apa yang ingin ia capai dari proses belajarnya.

5.      Menjadikan anak menjadi seseorang yang dimimpikannya

Anak pasti memiliki mimpi atau cita-cita, melalui pendampingan serta hubungan emosional yang baik antara anak dan orangtua, maka hal ini akan membantu kebanyakan anak dalam mencapai apa yang mereka mimpikan, entah itu dalam bentuk profesi atau pencapaian lainnya.

Meskipun anda tidak ahli dalam pelajaran atau semua bidang yang diajarkan oleh tenaga pengajar. Bukan berarti anda tidak bisa mendampingi pendidikan anak. Mendampingi anak juga bisa ditunjukan dari sikap memberikan semangat, memberikan keleluasaan untuk berekplorasi, dan mengawasi. Jadilah orangtua yang memberikan ruang aman untuk anak bertumbuh baik dengan turut mengamati setiap proses belajar yang dilaluinya.

Mengajarkan Olahraga Pada Anak Untuk Menunjang Kecerdasan Dan Kesehatan Mental

Mengajarkan Olahraga Pada Anak Untuk Menunjang Kecerdasan Dan Kesehatan Mental

Olahraga tentu menjadi salah satu pelajaran yang menyenangkan bagi anak-anak. Meskipun demikian terkadang banyak orangtua yang abai dengan olahraga, mereka cenderung mengutamakan pelajaran akademis yang menunjang kemampuan otak anak. Tentu hal ini tidak baik bagi tumbuh kembang mereka. Di masa sekarang sering kali kita melihat banyak orangtua yang mendikte anak untuk menyelesaikan PR mereka, berusaha mendapatkan nilai baik pada pelajaran matematika, dan lain sebagainya. Padahal selain hal-hal akademis anak juga perlu ruang agar mereka bisa berolahraga atau beraktivitas fisik, entah sekadar bermain sepak bola bersama teman-temannya di lapangan.

Mengajarkan Olahraga Pada Anak Untuk Menunjang Kecerdasan Dan Kesehatan Mental

Olahraga dan aktivitas fisik bukan hanya melatih otot-otot tubuh saja, kegiatan ini juga menunjang kecerdasan anak serta menyehatkan kesehatan baik secara fisik maupun mental. Bahkan semakin dini mengenalkan olahraga pada anak, maka anak akan semakin terbiasa  untuk berolahraga di usia dewasa.

Agar anda semakin yakin mengenalkan olahraga pada anak maka berikut ini adalah manfaat yang diperoleh, antara lain:

  1. Meningkatkan kebugaran
  2. Memicu pertumbuhan tulang dan otot
  3. Meningkatkan koodinasi gerak dan keseimbangan tubuh
  4. Membantu dalam proses pembentukan postur ideal tubuh bagi anak
  5. Menurunkan risiko obesitas atau kelebihan besar badan sejak anak-anak
  6. Meningkatkan kemampuan sosial dan kedisplinan

Olahraga akan berpengaruh besar bagi perkembangan anak baik secara fisik, mental, maupun sosial. Dalam sebuah penelitian, kegiatan fisik yang dilakukan anak ternyata dapat meningkatkan kecerdasan pada anak, selain itu hal ini juga meningkatkan fungsi kognitif seperti melatih daya ingat, fokus, dan kemampuan anak dalam memecahkan masalah. Namun mengajarkan olahraga atau aktifitas fisik pada anak tidak boleh sembarangan. Hal ini harus disesuaikan dengan usia dan kebutuhan anak itu sendiri, misalnya: Anak usia 4-5 tahun Pada usia ini, ajarkan anak berolahraga ringan, sederhana, dan singkat. Selain itu, olahraga atau aktivitas fisik yang diajarkan fokus pada perkembangan motorik. Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak yang berusia 6 hingga 12 tahun, pada usia ini anak mulai menunjukkan minatnya pada bidang olahraga tertentu. Sebagai bentuk dukungan kepada mereka cobalah ajak anak untuk mengikuti club tertentu yang sesuai dengan minat anak. Selain itu, ajak anak berlatih secara rutin.

Aktivitas fisik yang diajarkan pada anak tidak harus olahraga. Ada beragam aktivitas fisik lainnya yang bisa anda berikan pada anak, antara lain.

1.      Outbound

Kegiatan outbound merupakan kegiatan fisik yang dilakukan di luar ruangan bisa di halaman yang luas, atau tempat-tempat wisata yang menyediakan outbound untuk anak. Kegiatan outbound bertujuan agar anak dapat mengatasi situasi dan kondisi di alam bebas yang penuh dengan tantangan. Kegiatan di luar ruangan sangat beragam dan tentunya menyenangkan bagi anak-anak, misalnya berjalan diatas titian, memanjat dinding tali, flying fox, berkebun dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi catatan pastikan kegiatan outbound yang dilakukan anak sesuai dengan usianya.

2.      Menari, bernyanyi dan melompat

Mungkin beberapa orang mengira bernyanyi, menari, dan melompat adalah sebatas permainan untuk anak. Akan tetapi, ternyata ketiga hal tersebut termasuk dalam aktivitas fisik. Meskipun terlihat sederhana namun ternyata hal ini bisa melatih kemampuan otak dalam mengingat. Misalnya anak akan mengingat gerakan berikutnya saat menari. Selain itu, siapa tahu dari hal sederhana ini bakat anak dalam bidang seni akan tumbuh.

3.      Bela diri

Bela diri merupakan aktivitas fisik dan cabang olahraga yang jarang diminati banyak orangtua. Ada banyak cabang olahraga bela diri yang bisa diikuti oleh anak mulai dari taekwondo, silat, hingga tinju. Olahraga bela diri akan membantu anak menyalurkan emosinya ke hal positif.

Olahraga dan aktivitas fisik adalah hal yang sangat membantu, namun semua harus diawasi oleh orang dewasa. Karena jangan sampai olahraga atau aktivitas fisik tersebut membuat anak kelelahan dan kurang istirahat.

Kegiatan belajar tentu akan lebih seimbang jika dibarengi dengan olahraga dan kegiatan fisik, untuk itu ada baiknya saat memiliki lembaga pendidikan perhatikanlah prestasi mereka dalam bidang non-akamedik. Prestasi bukan hanya memenangkan olimpiade, prestasi bisa juga dilihat dari cara pengajar menyampaikan, serta kurikulum yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhan anak. Selain itu kegiatan olahraga dan aktivitas fisik yang diberikan tentu diawasi dengan baik oleh pihak pengajar yang profesional, agar meminimalisir terjadinya cidera. Semoga dengan informasi ini semakin banyak orangtua yang sadar untuk mengajarkan anak berolahraga sejak dini.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.

Jangan Menyamakan Cara Belajar Anak, Simak Gaya-Gaya Belajar Yang Tak Banyak Orang Paham

Jangan Menyamakan Cara Belajar Anak, Simak Gaya-Gaya Belajar Yang Tak Banyak Orang Paham

Apakah anda termasuk orangtua yang memarahi anak saat ia menonton video animasi di YouTube padahal sudah waktunya belajar? Jika iya, cobalah tahan emosi Anda sejenak. Cobalah duduk di samping anak, kemudian tunggu sampai videonya berakhir. Jika sudah, tanyakan pada anak apa yang mereka tonton barusan, mintalah mereka agar menceritakan ulang apa saja yang terjadi dalam video animasi tersebut. Jika anak ternyata menjelaskan dengan baik tentang apa yang mereka tonton, bisa jadi menonton video adalah cara belajarnya.

Jangan Menyamakan Cara Belajar Anak, Simak Gaya-Gaya Belajar Yang Tak Banyak Orang Paham

Contoh di atas hanya sebuah ilustrasi yang mungkin sering terjadi di sekitar kita. Sampai saat ini masih banyak orangtua yang belum memahami jika ternyata gaya belajar setiap anak itu berbeda. Sehingga jika sebuah kelompok belajar hanya menggunakan satu metode pengajaran saja, maka sangat memungkinkan bagi beberapa anak untuk tertinggal materi. Ini belum tentu karena anak tersebut tidak memperhatikan si pengajarnya,  bisa jadi anak-anak tersebut kurang cocok dengan metode belajar yang disampaikan oleh pengajar.

Tak banyak orang yang tahu jika ada beberapa jenis gaya belajar yang dimiliki setiap anak ataupun orang dewasa. Sayangnya, masih banyak orang yang tak menyadari itu, padahal dengan memahami gaya belajarnya maka seseorang akan lebih cakap dalam memperluas pengetahuan. Untuk itu, pahami beberapa gaya belajar yang ada di bawah ini.

Gaya belajar visual

Gaya belajar ini berfokus pada penglihatan, saat anak mendapatkan materi baru mereka umumnya melihat secara visual terlebih dahulu agar memahami materi tersebut. Gaya belajar visual umumnya berkaitan dengan gambar, akan tetapi tak menutup kemungkinan jika mereka nyaman belajar dengan penggunaan warna-warna, garis, ataupun bentuk. Hal ini, membuat anak yang memiliki gaya belajar visual lebih cepat memahami nilai-nilai artistik. Untuk mengatahui apakah anak termasuk orang yang memiliki gaya belajar visual berikut ciri-cirinya:

  1. Lebih mudah mengingat apa yang dilihatnya dibanding didengarkan
  2. Lebih suka membaca dibanding dibacakan
  3. Berbicara dengan tempo yang cepat
  4. Cukup memperhatikan penampilannya
  5. Sulit menerima instruksi secara verbal, cenderung memahami peringatan yang tertulis
  6. Suka menggambar apapun di kertas atau buku

Jika anak Anda termasuk dalah gaya belajar ini, maka anda bisa menjadikan media video dan gambar yang menarik agar anak cepat belajar hal baru. Berikan buku yang bukan hanya berisi tekst saja, berikan buku yang terdapat ilustrasi, jika perlu sediakan pridol warna-warni untuk membuat catatan anak.

Gaya belajar auditori

Gaya belajar auditori mengandalkan indera pendengaran untuk menerima berbagai sumber informasi dan pengetahuan. Anak dengan gaya belajar ini tidak mempermasalahkan tampilan visual saat mengajar, yang terpenting dia dapat mendengarkan apa yang orang lain jelaskan padanya dengan baik. Sehingga, anak yang memiliki gaya belajar ini cenderung peka dan hafal setiap perkataan yang didengarnya. Adapun ciri-ciri yang menandakan jika anak memiliki gaya belajar auditori:

  1. Senang mendengarkan
  2. Mudah terdistraksi dengan keramaian
  3. Kesulitan saat memahami hal baru yang melibatkan visual
  4. Pandai meniru nada atau irama suara
  5. Senang membaca dengan mengeluarkan suara atau menggerakkan bibir saja
  6. Fasih berbicara
  7. Mudah mengingat nama saat berkenalan dengan orang baru

Jika anak anda memiliki ciri-ciri di atas, maka untuk mendukung proses belajarnya anda bisa menyetel musik relaksasi saat belajar, merekam pengajar kemudian didengarkan kembali, biarkan anak membaca buku dengan bersuara. Serta ajak anak untuk berdiskusi dengan temannya akan lebih mudah memahami dan mengingat materi.

Gaya belajar kinestetik

Gaya belajar yang terakhir adalah gaya belajar yang melibatkan gerakan tubuh. Biasanya anak yang memiliki gaya belajar ini cenderung mempelajari dengan mempraktikannya. Misalnya, anak bukan hanya sekadar membaya namun ia juga menggerakan tangan atau kakinya untuk memperjelas apa yang dibacanya. Selain itu, dengan melakukan atau menyentuh objek yang dipelajari mereka akan memperoleh pengalaman tersendiri. Sehingga anak yang memiliki gaya belajar ini termasuk anak yang susah diam. Adapun ciri-ciri yang dimiliki:

  1. Lebih suka belajar secara praktik
  2. Kedulitan untuk menulis namun pandai bercerita
  3. Menyukai aktivitas yang melibatkan gerakan tubuh seperti olahraga atau menari
  4. Dapat berkomunikasi dengan isyarat tubuh
  5. Menghafal dengan cara berjalan

Jika anak anda memiliki ciri-ciri di atas, maka sebagai orangtua yang perlu dilakukan ajaklah anak untuk mempraktikan apa yang mereka pelajari. Biarkan anak bereksperimen dari materi yang dia peroleh, ajak anak untuk mengunjungi tempat wisata edukasi bisa museum, pusat kebudayaan, agrowisata berkebun dan lain sebagainya.

Dengan memahami gaya belajar anak, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk menerima materi baru atau mengasah kemampuan yang dimiliki. Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum peka dengan gaya belajar anaknya. Untuk itu, orangtua harus membangun kedekatan yang baik dengan anak serta menjadi pihak pendamping selama proses belajar mereka. Semoga artikel ini bermanfaat.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.

Dongeng Bukan Sekadar Penghantar Tidur, Dongeng Metode Pendidikan Yang Manjur

Dongeng Bukan Sekadar Penghantar Tidur, Dongeng Metode Pendidikan Yang Manjur

Pernahkah Anda membacakan dongeng pada anak sebelum tidur?

Meskipun bukan untuk meninabobokan mereka, banyak orang yang meyakini jika metode berdongeng bukan hanya sekadar ritual menjelang tidur. Metode berdongeng atau bercerita menjadi cara mendidik anak yang sudah ada sejak dulu dan banyak dipraktekan sampai sekarang. Jika diperhatikan dalam kitab suci agama manapun, Tuhan menggunakan kisah-kisah untuk membimbing umat manusia di bumi ini. Selain itu, di Indonesia sendiri ada banyak dongeng legenda, fabel, dan buku cerita karangan anak lainnya. Bahkan banyak sekolah, perpustakan umum, dan rumah-rumah yang mengoleksi buku dongeng agar bisa dibaca anak.

David Mc Clelland, sempat meneliti tentang membandingkan dua negara besar yakni Spanyol dan Inggris pada abad ke-16. Kedua negara tersebut mengalami perubahan dan perbedaan yang nyata, Negara Inggris menjadi negara yang lebih maju dibandingkan Spanyol. Setelah David Mc meneliti, ternyata cerita atau dongeng yang berkembang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada kedua negara tersebut. Di negara Inggris kebanyakan cerita/dongeng yang dibawakan bertemakan ajakan atau merangsang pendengarnya untuk berprestasi. Sehingga cerita tersebut membawa “Virus” the need for achievement atau dibutuhkan prestasi yang kemudian disimbolkan dengan “n-Ach”.  Sedangkan negara Spanyol menggunakan dongeng/cerita yang bersifat meninabobokan saja.

Saat ini, sepertinya Indonesia mengalami kondisi seperti negara Spanyol di abad ke-16. Hal ini bisa dilihat dari merosotnya mental dan karakter bangsa kita yang tampak jelas dan sering muncul di kabar berita. Misalnya kabar tawuran antar pelajar, bullying dan pelecehan yang banyak dilakukan tanpa memandang usia, pencurian, kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dilakukan oknum pejabat, dan masih banyak lagi. Memang ada banyak faktor yang menyebabkan tindakan tersebut, salah satunya adalah pendidikan yang diperoleh dari usia dini. Hilangnya cara mengajar bercerita atau berdongeng, baik di lembaga pendidikan ataupun di rumah turut mengambil andil tentang sikap dan perilaku anak di masa mendatang. Dongeng juga menjadi salah satu metode yang efektif dalam menanamkan pendidikan karakter anak sedari dini. Dibutuhkan kerja keras dan upaya semua pihak untuk memperbaiki karakter bangsa yang tengah terpuruk. Membudayakan kembali bercerita dan berdongeng adalah hal positif bagi anak-anak usia dini agar mereka dapat memahami nilai-nilai kehidupan.

Ada banyak fungsi cerita atau dongeng bagi anak-anak yang tidak diketahui banyak orang, antara lain:

1.      Membangun kontak batin

Kontak batin bukan hanya dimiliki oleh ibu dan anak saja, kontak batin juga dimiliki oleh siapapun yang tengah menjadi hubungan, termasuk pengajar dan peserta didik. Berdongeng/bercerita adalah salah satu cara membangun kontak batin tersebut. Jika kontak batin berhasil terhubung, maka hal ini akan berdampak positif, seperti anak akan lebih menyayangi dan menghormati pengajarnya, pihak pengajar akan mendapatkan perhatian anak, serta pengajar akan menjadi sosok yang diteladani dan dipercayai.

2.      Menyampaikan pesan

Setiap cerita tentu menyimpan pesan yang ingin disampaikan ke pendengarnya, melalui cerita pengajar ataupun orangtua dapat menyelipkan nasihat-nasihat baik yang mudah dipahami anak.

3.      Mengasah imajinasi anak

Saat orang dewasa menceritakan sebuah kisah, anak bukan hanya sekadar mendengarkan saja. Dalam alam pikirannnya mereka berimajinasi, dan berfantasi membayangkan jalanya kisah tersebut. Jangan meremehkan imajinasi, karena ada banyak kemajuan yang timbul bermula dari imajinasi seseorang. Dulu manusia hanya berimajinasi untuk bisa terbang, tapi sekarang bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan.

4.      Membentuk identitas diri anak

Dengan mendengarkan dongeng anak akan mudah memahami mana sifat-sifat yang baik dan buruk. Sehingga perlahan mereka akan mengenal karakter-karakter manusia dan membedakan mana yang harus diteladani dan tidak.

5.      Menambah kosa kata baru anak

Di usia yang masih anak-anak, mungkin ada banyak kata atau kalimat yang belum dipahami bahkan kata-kata yang mereka rangkai masih berantakan. Untuk itu, berdongeng adalah teknik menyampaikan kisah dengna tutur kata yang sudah dirangkai sangat rapi. Selain menambah perbendaharaan kata bagi anak, mereka juga akan belajar menyampaikan sesuatu dengan kata-kata yang baik dan tepat.

6.      Mengajak anak untuk mencintai ilmu sedari dini

Buku adalah jendela ilmu, penggunaan buku cerita adalah salah satu cara untuk merangsang keingintahuan anak akan pengetahuan yang belum mereka pelajari. Mungkin anak sudah familir dengan buku, namun mereka belum akrab dengan media tersebut. Selain mengajarkan anak untuk rajin membaca. Berdongeng juga menumbuhkan rasa cinta anak terhadap buku dan ilmu pengetahuan.

Ada lebih banyak lagi fungsi dari berdongeng bagi pendidikan anak. Meskipun terdengar sepele, namun nyatanya dongeng-dongeng yang anak dengarkan bisa mengubah masa depan mereka. Bukan hanya pengetahuan saja yang bertambah, karakter anak akan terbentuk seiring dengan dongeng-dongeng yang mereka dengarkan setiap saat. Bisa jadi anak akan terinspirasi menjadi karakter yang diceritakan dalam dongen. Untuk itu, cobalah luangkan waktu anda untuk membacakan dongeng dan cerita anak sebagai bagian dari proses belajar mereka.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.

Banyak Orangtua Tak Sadar, Pendidikan Yang Salah Dapat Memicu Stres Pada Anak

Banyak Orangtua Tak Sadar, Pendidikan Yang Salah Dapat Memicu Stres Pada Anak

Semua orangtua tentu ingin anaknya menjadi sosok yang berprestasi dan membanggakan. Namun terkadang tak banyak orangtua yang sadar jika yang mereka lakukannya justru membuat anak merasa stres dan tertekan.

 

Dalam sebuah penelitian mengungkapkan jika anak usia remaja sangat rentan mengalami stres. Menurut American Psycological Association mengatakan jika usia milenial yang paling rentan dengan stres mulai dari usia 18 – 33 tahun. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika tingkat stres dialami oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun. Ada banyak hal yang mempengaruhi tingkat stres anak-anak, antara lain:

1.      Peristiwa traumatis

Mungkin kejadian yang kurag menyenangkan seperti kecelakaan, penyakit, hingga kematian orang terdekat dapat menimbulkan stres dan depresi pada anak, sehingga mereka akan kesulitan untuk menghadapi hidup.

2.      Masalah keluarga

Keluarga adalah elemen yang penting dalam pertumbuhan anak. Kondisi keluarga yang kurang baik tentu akan berpengaruh terhadap kondisi psikologisnya. Perselisihan orangtua, masalah keuangan keluarga, dan lain-lain akan membuat anak merasa stres.

3.      Bullying

Seiring berkembangnya zaman, kini bullying tidak hanya dilakukan secara langsung. Bullying juga bisa dilakukan secara online, adanya media sosial membuat siapapun bisa mengakses informasi orang lain. Bukan hanya itu saja, fitur komentar juga membuat netizen mengatakan hal-hal yang tak pantas pada anak. Komentar-komentar tersebut tentu akan membuat anak mereka tertekan dan stres.

4.      Hubungan dengan lawan jenis

Saat anak mulai menginjak usia remaja, umumnya mereka akan tertarik dengan lawan jenisnya. Meskipun jatuh cinta adalah hal yang indah, namun jika ternyata cinta mereka tak terbalas tentu hal ini membuat anak mereka patah hati dan stres.

5.      Tuntutan akademik

Saat ini masih banyak orangtua yang terobsesi dengan keberhasilan pendidikan anaknya selain itu, banyak sekolah yang memberikan banyak tes dan tugas-tugas yang membebani siswa. Bukan hanya itu saja, terkadang jam sekolah yang panjang membuat anak juga banyak kehilangan waktu untuk bersenang-senang. Padahal ditengah jadwal pelajaran yang padat anak juga membutuhkan waktu untuk refresing dan melakukan hal yang mereka sukai. Apalagi adanya sistem ranking terkadang membuat beberapa anak merasa merasa perlu bersaing dengan teman-temannya.

Bahkan dikutip dari suara.com memberitakan jika tahun 2019 lalu seorang remaja berusia 13 tahun berasal dari George Town memutuskan untuk bunuh diri karena dirinya tak dapat menyelesaikan PR. Menurut laporan media setempat pada  25 Agustus 2019, sang anak gantung diri menggunakan handuk di dalam kamar mandi beberapa saat setelah mengerjakan PR dengan sang ibu. Menurut investigasi anak tersebut tidak pernah benar-benar tertarik untuk belajar dan selalu lemah secara akademis. Selain itu, ia juga banyak mengeluh kepada orangtuanya karena terlalu banyak mengerjakan PR dan bagaimana hal itu membuatnya stres.

Pendidikan memang hal yang penting, namun jangan sampai karena mementingkan pendidikan anak kita menjadi abai dengan kondisi anak tersebut. Untuk itu peran orangtua bukan hanya sekadar membiayai sekolah anak saja, namun juga sebagai support system bagi anak. Dimana orangtua harus membangun Balanced life bagi anak mereka. Balanced Life bisa dimulai dari hal yang sederhana seperti mengajak anak untuk membagi waktunya, kapan saatnya belajar, kapan saatnya beristirahat, dan kapan saatnya mereka bersenang-senang. Selain itu, sebagai orangtua tentu kita harus peka dengan kondisi anak, saat kondisi mereka sedang sedih sebaiknya jangan abaikan atau malah memarahinya. Biarkan perasaan sedih tersebut berlalu jangan paksa mereka melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Saat anak mengatakan jika dirinya stres dan kesal dengan pelajaran atau hal lainnya dengarkan baik-baik dan bantu mereka menemukan solusinya.

Tingkat stres pada usia remaja memang semakin tinggi seiring dengan kegiatan belajar di rumah. Tugas yang semakin menumpuk serta gesekan dengan anggota keluarga yang lain terkadang menjadi faktor pemicu. Untuk itu, peran orangtua sangat penting selain menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak. Orangtua juga sepatutnya memilih pendidikan yang terbaik bagi anak. Pendidikan terbaik bukan berarti sekolah dengan akreditas A dan terkenal dengan prestasinya. Namun mengetahui apa yang dibutuhkan anak untuk menunjang proses belajarnya. Diskusi dengan anak sangatlah dibutuhkan saat ini.

 

 

Demikian artikel ini kami buat semoga memberikan gambaran bagi anda tentang serba serbi dunia pendidikan. Apabila ada pertanyaan tentang pendidikan alternatif Anda bisa hubungi kami di https://piwulangbecik.sch.id untuk informasi lebih lanjut.