Self-Acceptance Pada Anak, Karena Setiap Anak Berhak Merasa Berharga

Self-Acceptance Pada Anak, Karena Setiap Anak Berhak Merasa Berharga

Saat ini banyak orang yang mengkampanyekan self-love atau mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri tentu sangat penting bagi masa depan seseorang. Walau kedengarannya mudah, namun ada hal yang harus dilakukan sebelum sampai ke tahap mencintai diri sendiri yaitu dengan menerima diri apa adanya.

Sebagai manusia, kita tak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan, seperti apa bentuk rupa fisik kita dan berada di lingkungan seperti apa kita tumbuh. Semua adalah kehendak dari Tuhan dan manusia hanya bisa menerima. Akan tetapi, proses menerima kondisi diri merupakan suatu proses perjalanan yang penuh dengan tantangan. Alih-alih menerima kondisi,  banyak di antara kita yang justru memunculkan sikap penolakan. Sikap seperti ini tentu akan menghambat proses kita sebagai manusia untuk berkembang dan bertumbuh di masa yang akan datang.

Tak banyak orang tua yang menyadari bahwa proses penerimaan diri bisa dimulai sejak usia anak-anak. Usia emas anak adalah masa yang baik untuk menanamkan nilai yang positif soal diri sendiri maupun bagaimana beinteraksi dengan lingkungan. Mengajarkan anak tentang self-acceptance bertujuan agar mereka memiliki kebanggaan dan rasa hormat atas dirinya sendiri. Saat anak mampu melihat dirinya berharga, maka anak juga akan belajar untuk menghormati orang lain. Tentu saja banyak cara sederhana yang orang tua bisa lakukan untuk membentuk self-acceptance pada anak, antara lain:

1.      Berikan empati

Anak mungkin akan merasa kesal pada dirinya saat tidak bisa melakukan sesuatu seperti teman-temannya. Misalnya, ia merasa sedih tak mendapatkan nilai matematika yang baik. Pada momen ini peran orang tua adalah memberikan empati agar anak tak terlalu memfokuskan diri pada kelemahan. Katakan pada anak bahwa ada hal lain yang bisa mereka kuasai misalnya bernyanyi, menggambar atau membaca buku dengan lancar. Bantulah anak untuk menerima kelemahan dan mengoptimalkan kekuatan mereka.

2.      Berikan cinta dan kasih sayang tanpa syarat apapun

Cinta adalah perasaan tanpa pamrih. Untuk menumbuhkan self-acceptance pada anak orang tua sebaiknya menujukkan cinta dan kasih sayang tanpa syarat. Perasaan cinta dan kasih sayang yang diperlihatkan secara konsisten akan membuat anak merasa beruntung karena ada orang tua yang menerimanya apa adanya. Hal ini membuat mereka tak ragu untuk melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri.

3.      Ajak mereka untuk berani mengambil risiko

Anak tentu senang dengan eksplorasi hal baru, namun semangat eksplorasi tentu perlu diiringi dengan keberanian menghadapi risiko. Jika anak tak diajarkan pemaknaan soal bagaimana menyikapi risiko secara positif, maka bisa membuat anak takut mencoba hal-hal baru. Di sinilah peran penting orang tua yaitu membersamai anak saat eksplorasi hal baru meskipun akan mengalami kegagalan. Anak akan merasa bahwa kegagalan bukan sesuatu yang keliru dan bisa menjadi sumber pembelajaran yang berharga.

4.      Biarkan mereka mengalami kesalahan

Saat anak sudah berani mengambil risiko maka kesalahan mungkin akan mereka lakukan. Kesalahan yang dilakukan kelak akan menjadi pelajaran berharga untuk membangun rasa percaya dirinya. Pada saat kesalahan itu terjadi, janganlah memarahi anak. Lebih baik membantu anak dalam memahami kesalahan apa yang sudah ia lakukan dan bagaimana agar kesalahan tersebut tak lagi terulang. Selain itu, tak lupa juga untuk terus memberi dorongan pada anak agar tak ragu untuk berani memulai kembali.

5.      Berhenti membanding-bandingkan

Inilah kesalahan yang tak sadar dilakukan oleh banyak orang tua. Hanya karena memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda bukan berarti anak bisa dibanding-bandingkan dengan saudara kandung atau teman sebayanya. Bakat, karakter, dan kemampuan berpikir anak tentu tidak bisa disamakan dengan yang lain. Ingatlah bahwa setiap anak memiliki keunikannya masing-masing, tugas kita sebagai orang tua adalah membersamainya dan membantunya menemukan jalan yang sesuai dengan bakat yang dimilikinya.

Demikian cara sederhana yang bisa dilakukan untuk membangun self-acceptance pada anak. Semoga informasi ini bermanfaat.

 

 

 

 

 

 

 

Mengenal Pendekatan Student Centered Learning

Mengenal Pendekatan Student Centered Learning

Apakah Anda masih asing dengan istilah Student Centered Learning atau SCL? SCL merupakan salah satu pendekatan pada sistem belajar yang dipercaya dapat meningkatkan kualitas belajar murid. SCL ini merupakan kegiatan yang aktif melibatkan murid, di mana mereka akan diajak untuk berpikir secara kritis. Proses belajar SCL akan menuntut murid berpartisipasi dalam memahami sebuah materi, sehingga mereka didorong untuk aktif bertanya atau berpendapat selama sesi pembelajaran. Pada prosesnya pengajar akan berperan sebagai fasilitator.

Selama ini proses belajar lebih sering dilakukan dengan cara pasif, seperti metode ceramah, membaca, audio visual, hingga demonstrasi. Padahal pembelajaran pasif membuat murid hanya mampu menelaah materi sebanyak 30% saja. Hal ini berbeda jika murid diajak untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran melalui diskusi, praktik, bahkan mengajari sesama teman. Kemampuan mereka dalam menelaah materi bisa mencapai 50% hingga 90%.

Sebenarnya Student Centered Learning hampir sama seperti metode pembelajaran transformatif lain yang memiliki beberapa cara pembelajaran, namun inti dari metode pembelajaran ini ialah berfokus pada murid. Selain itu, SCL juga menekankan pada proses perubahan kualitatif selama proses belajar, progres inilah yang akan dinilai oleh pengajar. Dapat dikatakan SCL berfokus pada proses berkelanjutan dan peningkatan pada setiap murid. Hal ini merupakan salah satu upaya memberdayakan kemampuan murid sekaligus mengembangkan pola pikir yang kritis.

Keuntungan lainnya SCL tak hanya berkutat pada materi-materi saja, namun murid akan didorong untuk belajar dari studi kasus yang ada. Mereka akan mengekplorasi secara individu maupun kelompok untuk memecahkan sebuah masalah. Lingkungan seperti ini memungkinkan murid untuk memeriksa dan menyelesaikan masalah kompleks dengan menggunakan berbagai sumber daya, mengembangkan strategi yang dimiliki, hingga bernegosiasi dalam masalah tersebut secara kolaboratif. Selain itu, murid juga lebih mengetahui bagaimana kaitannya antara ilmu pengetahuan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengajar turut aktif mendampingi murid selama berproses, termasuk mendorong mereka melakukan proses pencarian, diskusi, dan penyimpulan atas hasil diskusi mereka.

Meskipun demikian, pada pelaksanaan metode SCL juga menemui beberapa kendala pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya seperti sulit diterapkan pada kelas yang berisi jumlah murid yang banyak, adanya beberapa kurikulum yang tidak cocok dengan metode ini, serta kendala pengajar dalam menumbuhkan keaktifan pada murid. Dapat dikatakan metode pembelajaran ini memang memiliki tantangan tersendiri terlebih untuk menciptakan kemandirian serta demokrasi dalam belajar yang tidak selamanya berjalan lancar.

SCL memang lebih sering diterapkan pada kalangan mahasiswa, namun saat ini banyak lembaga pendidikan pada tingkat menengah hingga dasar yang sudah mulai menerapkan metode pendekatan ini. Mengubah pendekatan adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai kualitas belajar yang maksimal pada murid. Kembali lagi, kesuksesan pendekatan SCL membutuhkan kerjasama yang baik antara murid dan pengajar.

 

Interaction-Based Approach Learning, Menjalin Kedekatan Antara Pengajar, Murid, Hingga Orangtua

Interaction-Based Approach Learning,

Menjalin Kedekatan Antara Pengajar, Murid, Hingga Orangtua

 

Interaction-Based Approach Learning atau pendekatan berdasarkan interaksi menjadi salah satu metode belajar yang sangat dibutuhkan dalam proses pengajaran baik secara virtual maupun tatap muka. Banyak yang tak menyadari jika ruang-ruang belajar sering kali terasa ada batasan, khususnya antara pengajar dan murid. Pernahkah Anda mengalami situasi dimana kelas terasa sunyi saat pengajar tengah menjelaskan sebuah materi? Tak ada interaksi yang terjadi antara murid dan pengajar, bahkan saat sesi tanya jawab.

Mungkin sebagian orang menganggap kedalaman materi adalah hal yang penting, namun hal ini justru membuat kita abai dengan bagaimana membangun interaksi antara pengajar dengan murid, atapun murid dengan murid yang lain. Pemahaman materi memang penting, namun bukan berarti proses belajar hanya tentang diri sendiri. Belajar juga berkaitan dengan orang lain, ingatlah jika manusia adalah makhluk sosial. Sangat penting bagi anak muda sekarang memiliki ketrampilan sosial yang tinggi. Kemampuan sosial tentu bermanfaat bagi masa depan mereka. Untuk itu, kemampuan sosial harus mulai dilatih di lingkup yang paling kecil salah satunya ruang kelas.

Metode belajar dengan pendekatan interaksi juga bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas belajar. Apalagi dalam kondisi seperti ini, interaksi antara pengajar dan murid juga perlu diprioritaskan karena jika tidak ada kedekatan yang dibangun maka materi tersebut hanya sebatas tahu saja, tanpa ada pemahaman.

Kita kurang memahami hal mendasar dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Hal mendasar tersebut ialah membangun rasa percaya dan menerima. Bagi pengajar, murid, bahkan orangtua harus bisa membangun rasa percaya dan bisa menerima satu sama lain.

Pengajar butuh percaya dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh muridnya, serta menerima jika setiap murid memiliki keunikannya masing-masing. Hal ini juga berlaku pada murid, mereka juga perlu membangun rasa percaya jika pengajarnya adalah orang yang bisa menjadi fasilitator yang baik dalam proses belajar mengajar. Selain itu, murid juga mau menerima materi yang diberikan oleh pengajarnya, karena mereka meyakini jika apa yang diajarkan bertujuan untuk menggali potensi.

Sedangkan pihak orangtua atau wali murid perlu menaruh kepercayaan baik pada pengajar ataupun anaknya sebagai murid. Orangtua percaya jika pengajar mampu membimbing anaknya, serta mereka menerima metode pengajaran dan peratuan yang berlaku selama proses belajar. Orangtua juga tidak segan untuk terlibat dalam proses bimbingan tersebut karena mereka percaya anaknya memiliki potensi yang unik dan harus dikembangkan oleh lingkungan. Kepercayaan orangtua ibarat sebuah restu untuk masa depan anaknya.

Kualifikasi pengajar seperti gelar, pengalaman, sertifikasi, dan kinerja ujian guru memang kini menjadi tolok ukur untuk mengetahui kapasitas yang dimilikinya. Akan tetapi, banyak yang abai dengan bagaimana guru menjalin hubungan dengan murid ataupun orangtua murid. Terkadang hubungan antara ketiganya terasa berjenjang sehingga terjadi kecanggungan, untuk itu sebaiknya kita semua mengubah kebiasaan ini. Bagi pengajar jangan ragu untuk mengabarkan kepada orangtua murid bagaimana perkembangan anak selama belajar di kelas. Ceritakan apa yang mereka pahami dan yang diminati. Perlu kita pahami bersama jika kita tak bisa menilai perkembangan anak hanya dari nilai mata pelajaran saja.

Sama halnya dengan murid, jangan pernah merasa malu untuk bertanya atau menceritakan apa yang dipahami kepada guru. Jika masih ada ketakutan dan malu untuk bertanya atau bercerita, maka murid dapat memanfaatkan ruang-ruang privat. Murid dapat bertanya secara empat mata kepada pengajar ataupun kepada sesama temannya di kelas yang dirasa memiliki kemampuan pada bidang tersebut. Bertanya secara personal dapat melatih rasa percaya diri.

Membangun kedekatan akan berdampak baik ke depannya, bukan hanya kemampuan sosialisasi namun murid akan memiliki pemahaman yang mendalam karena komunikasi berjalan baik.

Merasa dekat bukan berarti kita menghilangkan rasa hormat.

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Saat ini kita telah memasuki era digital, di mana semua kegiatan dipermudah dengan adanya internet dan perangkat teknologi yang mendukung. Adanya internet membuat kita dapat mengakses segala informasi terbaru, bahkan terhubung secara langsung dengan orang lain tak terbatas tempat dan waktu.

Banyak masyarakat yang sangat bergantung dengan adanya internet, gawai, laptop atau perangkat canggih lainnya. Hal ini tentu banyak mengubah gaya hidup masyarakat, mulai dari cara berpikir, bertindak dan berkomunikasi. Adanya sosial media misalnya, membuat kita seakan menjadi lebih mudah terhubung dengan orang lain yang sudah dikenal maupun asing. Akan tetapi dengan kemudahan akses yang diberikan, tanpa sadar kita kehilangan batas antara ranah privat dan publik.

Minimnya keterampilan komunikasi dalam ranah sosial bisa menjerumuskan seseorang pada kesalahpahaman. Kecepatan informasi dan tersebarnya informasi yang tersaji dalam layar gawai, seringkali membuat seseorang kehilangan cara mereka dalam menyaring informasi. Misalnya seperti banyak orang di luar sana yang tak bisa menempatkan bahasa pada konteksnya sehingga bahasa yang disampaikan justru mengarah pada kesalahpahaman dan berujung pada pertikaian baik secara daring maupun luring.

Komunikasi yang buruk tak hanya ditemui pada orang dewasa, hal ini juga sering ditemukan pada kalangan remaja hingga anak-anak. Banyak dari mereka yang belum tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan lawan bicaranya. Contoh sederhana, bagi masyarakat Jawa tentu mengetahui jika Bahasa Jawa terbagi menjadi empat tingkatan, yakni Ngoko Lugu, Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Inggil. Tingkatan tersebut ditujukan kepada siapa yang diajak bicara, misalnya seperti anak kepada orangtua diharapkan menggunakan Krama Inggil, sebagai rasa hormat dan kesopanan. Sayangnya, sekarang ini tak banyak anak asli Jawa yang menggunakan Krama Inggil untuk berbicara dengan orang tuanya. Justru banyak dari mereka yang menggunakan bahasa Ngoko, yang mana bahasa tersebut digunakan untuk teman sebaya.

Dapat dikatakan, bahasa yang digunakan adalah cerminan kesopanan. Oleh sebab itu pemilihan kata saat menyampaikan informasi, gagasan, ataupun kritik sangatlah diperlukan. Bahasa adalah langkah awal pada seseorang bisa berperilaku baik dengan diri maupun pada orang lain. Apabila bahasa yang seorang dengar adalah bahasa kasar, jika salah dalam memaknai maka bahasa tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan kemungkinan diterapkan juga pada orang lain. Hal tersebut juga bisa dilihat ketika seorang anak tumbuh dengan orang tua yang saling mencaci maki satu sama lain setiap harinya serta orang tua yang sering memberi label sebagai anak nakal atau bodoh. Anak bisa menginternalisasi apa yang didengar setiap harinya dan tanpa disadari bisa berpengaruh pada pembentukan karakter di kehidupan selanjutnya.

Belajar berbahasa yang baik sama artinya dengan kita berusaha mendidik pikiran dan jiwa untuk lebih sehat lagi. Selain itu, bahasa juga sangat erat dengan nilai sosial, religi, dan budaya. Menjadi penting untuk membangun budaya berbahasa yang baik di lingkungan keluarga dengan mulai menyadari setiap kata yang terucap.

 

Pendidikan Literasi Untuk Anak

Pendidikan Literasi Untuk Anak

Kata literasi memang tidak asing lagi di telinga kita, namun beberapa dari kita mungkin masih belum memahami bagaimana fungsi literasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum literasi merupakan kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan menyelesaikan masalah pada tingkat keahlian tertentu.

Literasi bukan hanya diperuntukan bagi orang dewasa, namun juga anak-anak. Banyak orang tua yang tak mengetahui jika pendidikan literasi sudah bisa diajarkan pada usia anak. Apakah anda pernah menemui anak-anak yang berbicara dengan bahasa yang baik, jelas, runtut, dan mengerti buku-buku yang ia baca? Hal itu bisa dikarenakan literasi yang telah diajarkan oleh orang tua yang dilakukan sejak dini.

Di masa sekarang, pendidikan literasi cukup gencar dilakukan dengan tujuan mencetak generasi yang bukan hanya cerdas dalam segi akademis namun juga memiliki pola pikir kritis serta logis. Mengajarkan anak tentang literasi sejak dini bukan hanya menekankan pada kemampuan membaca dan menulis, namun ada tujuan yang lebih jauh yakni membentuk generasi yang mampu berpikir kritis pada setiap informasi yang diterima.

Ada banyak manfaat yang diperoleh dari pendidikan literasi anak sejak dini, antara lain:

1.      Melatih kemampuan dasar anak dalam membaca, menulis dan menghitung

Untuk memulai pendidikan literasi pada anak usia dini bisa dimulai dengan membacakan buku dongeng secara rutin. Orang tua bisa membiasakan diri membacakan dongeng sebelum tidur pada anak. Ada banyak buku dongeng yang bisa dipilih mulai dari fabel, legenda, hikayat dan lain sebagainya.

2.      Anak akan memiliki kemampuan berpikir kritis

Perlu kita ketahui jika semakin tinggi kemampuan literasi anak maka semakin besar pula kemampuannya untuk menerima, mengolah dan menyikapi berbagai informasi yang didapatkan. Bisa dikatakan pendidikan literasi merupakan pondasi penting untuk memiliki pemikiran kritis dan logis saat dihadapkan pada beragam situasi. Pola pikir kritis diperlukan sebagai investasi jangka panjang karena kelak anak akan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.

3.      Mempersiapkan anak memasuki dunia pendidikan

Pendidikan literasi di usia dini juga membantu anak untuk mempersiapkan diri mereka ke dunia pendidikan. Ada banyak lembaga pendidikan yang bisa ditempuh mulai dari sekolah formal, informal, hingga pendidikan nonformal. Pada saat anak memasuki dunia pendidikan, kemampuan sosioemosional anak akan berkembang. Bukan hanya itu, aspek kognitif, bahasa dan literasi akan mendukung proses belajar anak. Tahapan literasi awal yang meliputi kemampuan bahasa lisan dan tulisan serta pengetahuan terkait angka dan huruf juga menjadi pondasi kokoh bagi mereka sebelum mempelajari ilmu pengetahuan yang lain.

Saat ini banyak orang tua yang mengharapkan kemampuan literasi seperti membaca, menulis dan berhitung dibentuk secara instan melalui bangku sekolah. Padahal kemampuan tersebut bisa distimulasi sejak awal melalui kegiatan sederhana di rumah.