Harmoni Belajar dan Bermain: Pengalaman Unik Project Based Learning di PKBM Piwulang Becik

Odilia Francesca Yap dan Nicholas Saverio Yap adalah kakak beradik siswa kelas IX dan VII yang saat ini sedang mengikuti program Project Based Learning (PBL) di Piwulang Becik Salatiga. Di usia yang masih sangat belia, Odil dan Nicho sudah berani belajar secara mandiri meninggalkan rumah dan orang tua mereka di Kota Tangerang, dan belajar memasuki ruang sulit yang belum pernah mereka alami sebelumnya. 

Namun, berbeda dengan Nicho yang masih dalam proses explore, Odil saat ini sudah memasuki tahap exposure dimana ia mulai membangun pemahaman dan memperdalam pengetahuan di satu bidang keahlian tertentu. Program Project Based Learning mempertemukan Odil dengan dunia 3D modeling yang menjadi fokus utama pembelajarannya saat ini, dengan didampingi oleh Kak Reza sebagai mentornya.

Rutinitas harian Odil dimulai dengan membersihkan area studio, untuk menciptakan suasana yang bersih dan menyenangkan untuk setiap sesi pembelajaran. Proses bersih-bersih ini tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi juga melambangkan pentingnya kebersihan dan ketertiban dalam proses belajar.

Selanjutnya, ada sesi membaca buku sebagai langkah awal untuk menumbuhkan kreativitas dan membuka wawasan Odil sebelum masuk ke dalam pembelajaran teknis 3D modeling. Kegiatan membaca buku ini juga menjadi ajang untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan meningkatkan imajinasi Odil dan teman-temannya.

Memasuki proses pembelajaran 3D modeling yang merupakan inti dari program Project Based Learning, Odil tidak hanya mempelajari konsep dasar pemodelan, tetapi juga diberikan tantangan untuk membuat sebuah proyek nyata yang mencerminkan aplikasi dari ilmu yang sudah didapatkannya. Proses pembelajaran ini tidak hanya memberikan pengetahuan teknis, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kerja sama tim.

Namun, pengalaman belajar di PKBM Piwulang Becik tidak hanya terfokus pada aspek formal. Kebersamaan di antara anak-anak yang berpartisipasi dalam Project Based Learning menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan inspiratif. Bertemu dengan teman-teman baru, bermain bersama, membuat berbagai kreasi masakan, dan menjalani berbagai kegiatan lainnya secara bersama-sama, serta menciptakan suasana kekeluargaan yang melekat dan memberikan dampak positif bagi perkembangan setiap peserta didik.

Kebersamaan dalam rutinitas harian ini menjadi momen yang paling berkesan bagi Odil, di mana ia merasakan harmoni antara belajar dan bermain selama menjalani Project Based Learning di PKBM Piwulang Becik.

Odil berharap setelah menyelesaikan program pembelajaran di PKBM Piwulang Becik, ia dapat menjadi pribadi yang lebih mandiri. Ia juga berharap dapat mengaplikasikan ilmu yang telah ia dapatkan untuk membuat karya-karya 3D dan menjadi ahli di bidang tersebut. Dengan keunikan dan nilai-nilai yang dihadirkan oleh program Project Based Learning di PKBM Piwulang Becik, Odil ingin membagikan kisahnya sebagai inspirasi bagi kita semua.

Tonton cerita Odil dan Nicho di:

 

 

Serunya Bermain dan Belajar dengan LembarKerjaID

Di pagi yang cerah pada hari Kamis, 15 Februari 2024 lalu, Kak Rizqa dan Kak Erda mengadakan kelas offline bersama LembarKerjaID di PKBM Piwulang Becik. Mengapa LembarKerjaID? Karena LembarKerjaID menyediakan materi pembelajaran seperti Lapbook, Worksheet dan Flashcard siap pakai dalam bentuk printable yang efektif dan efisien. Selain itu, LembarKerjaID dapat digunakan untuk membantu menstimulasi berbagai jenis kecerdasan anak dan dirancang dengan menggunakan pendekatan praktis (learning by doing). Hal ini memungkinkan anak untuk belajar secara bertahap dan hasilnya dapat didokumentasikan dalam bentuk lapbook.

Materi pembelajaran yang dipilih adalah bertema cuaca, karena bertepatan dengan cuaca saat ini yang kadang panas dan kadang hujan. Anak-anak dapat belajar tentang berbagai macam cuaca, bagaimana hujan terjadi, mengidentifikasi benda-benda apa saja yang dibutuhkan pada saat kondisi cuaca tertentu, dan mengenal berbagai jenis awan. Sehingga dalam satu tema, anak-anak bisa belajar:

– Literasi: Persiapan membaca dan menulis, serta stimulasi motorik halus.

– Logika dan Numerasi: Membangun logika dan matematika dasar

– Mengenal Dunia: Mengenal nama-nama benda dan fakta di sekitar anak

– Seni: Mengeksplorasi estetika visual

– Ekspresi Kreatif: Menstimulasi kreativitas anak Meskipun kegiatan ini diikuti oleh anak-anak dari kelas 1 hingga kelas 6, semua anak antusias mengikuti kegiatan LembarKerjaID bersama-sama.

Hal ini dikarenakan mereka dapat mengeksplorasi LembarKerjaID sesuai dengan minat mereka masing-masing. Seperti Zahra yang senang menggunting dan mewarnai, Najwa yang sedang belajar menulis, serta Cia, Ara, dan Cindy yang disibukkan dengan teka-teki silang. Sesi selama 1,5 jam pun berlalu dengan cepat.

Melalui LembarKerjaID, anak-anak mendapatkan pembelajaran yang diserap berdasarkan pengalaman dari panca indra mereka, bukan hanya belajar dengan mendengarkan ceramah dan penjelasan. Proses belajar seperti ini lebih meresap ke dalam diri anak dan memiliki dampak jangka panjang. LembarKerjaID juga menawarkan lapbook siap pakai mulai dari tema alfabet, matematika, hijaiyah, dan pertanyaan-pertanyaan kreatif yang dapat menjadi panduan bagi orang tua untuk menstimulasi kemampuan sosial dan emosional anak (Social Emotional Skills).

Tonton keseruan belajar bersama LembarKerjaID di bawah ini :

Husayn : Explore, Exposure & Expertise

PKBM Piwulang Becik menjadi saksi perjalanan Husayn, seorang siswa kelas XI, yang memilih mengambil jalan pendidikan nonformal. Husayn dan orangtuanya menjelajahi berbagai bidang, dari musik hingga astronomi, membuka pintu menuju pengetahuan yang lebih luas.
Sebagai seorang anak kinestetik, dalam proses eksplorasinya, Husayn menemukan kegemarannya dalam dunia basket sejak usia delapan tahun. Melibatkan diri di dalam kejuaraan tingkat daerah hingga nasional, dan masih terus menjalani berbagai keterampilan termasuk belajar skill animasi dan ilustrasi.

Husayn menghadapi titik balik ketika usianya mencapai 14 tahun, dihadapkan pada pilihan untuk fokus di dalam satu bidang antara mempertahankan karier di dunia basket atau menyusuri jalur visual. Hal ini menjadi ruang sulit untuk Husayn, karena saat itu Husayn lebih menyukai bermain basket dibanding keterampilan animasi, namun akhirnya dia memilih fokus menjalani prosesnya di bidang animasi dengan mempertimbangkan banyak hal.

Keberanian untuk mengejar jalur visual membawa Husayn ke dalam dunia animasi dan ilustrasi di PKBM Piwulang Becik dengan didampingi oleh mentor yang berpengalaman di bidangnya. Bersama teman-temannya, setiap hari di studio adalah perjuangan untuk mencapai pencapaian sesuai tujuan individu masing-masing.

Saat ini di usia 18 tahun Husayn sudah mencapai titik pertamanya, yaitu memiliki unit usaha dengan pelayanan pembuatan animasi dan ilustrasi. Husayn dan timnya dipercaya oleh klien dari berbagai negara dan tetap didampingi oleh mentornya yang sudah lebih dahulu menjalani bidang tersebut.

Cerita di atas bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman seusianya. Terima kasih, Husayn, karena telah berbagi kisah ini! 😇

Tonton cerita Husayn di :

 

Sudut Aman : Mengubah yang Tabu Menjadi Aman

Siswa PKBM Piwulang Becik: Aruna, Aliyya, Saras, dan Raisa memiliki pandangan yang berbeda dari kebanyakan orang tentang homeschooling. Bagi mereka, homeschooling bukan hanya tentang mendapatkan pendidikan, tetapi juga tentang menemukan titik nyaman dan mengenali diri sendiri. Sebagai orang-orang yang tidak ingin terjebak dalam rutinitas yang membosankan, mereka memilih untuk belajar di rumah dengan pendekatan yang lebih personal dan mengembangkan potensi yang ada. Namun, mereka tetap harus mempertahankan motivasi untuk belajar dan tidak terlena dengan kebebasan yang mereka miliki.

Keputusan mereka untuk homeschooling tidak selalu mudah. Mereka harus berjuang melawan stereotip masyarakat yang menganggap homeschooling sebagai sesuatu yang aneh dan tidak umum.  Dengan tekad dan semangat yang kuat, mereka berhasil melewati semua kesulitan tersebut.

dari kiri, Aliyya, Saras, Aruna, Raisa dan Bela

Saat Aruna mendengar tentang Lomba Markoding Digital Innovation Challenge 2022 “Perempuan Inovasi”, Aruna membentuk sebuah tim bersama Aliyya, Saras, dan Raisa untuk mengikuti lomba tersebut. Belum mengenal dan hanya bermodal rasa percaya, mereka berani untuk menjalankan visi dan misi untuk menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menjadi inovator dan pelopor di dunia digital.

Sebagai sebuah tim, mereka berdiskusi, berlatih, dan saling mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka. Berbagai perasaan dan pikiran mereka satukan demi tercapainya tujuan dan terbentuknya tim yang kompak.

Dalam perlombaan, tim mereka menunjukkan inovasi yang mereka ciptakan. Melalui Sudut Aman yang merupakan organisasi sebagai wadah untuk membicarakan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat, tim mereka memenangkan Lomba Markoding Digital Innovation Challenge 2022 “Perempuan Inovasi” dan meraih Juara 1. Kemenangan ini bukan hanya milik mereka, tetapi juga milik seluruh Sahabat Becik yang telah mendukung mereka sepanjang perjalanan.

T-Shirt slogan Sudut Aman

Perasaan senang dan bangga tidak menjadikan mereka ingin berhenti di situ saja. Sudut Aman akan dikembangkan menjadi organisasi dengan berbagai program tentang HKSR (Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) di lebih dari satu kota. Mereka ingin memberikan dukungan dan bantuan bagi perempuan yang mengalami kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya.

Dengan apa yang sudah dilalui, mereka telah membuktikan bahwa homeschooling bukanlah sesuatu yang sepele, tetapi bisa membawa keuntungan besar jika dijalani dengan semangat dan tekad yang kuat. Mereka telah menunjukkan bahwa perempuan juga dapat menjadi inovator dan pelopor di dunia digital.

 

 

 

Kegiatan Sudut Aman di Piwulang Becik Terkini

Parents World akan hadir kembali bersama Tim Sudut Aman. Rabu malam tanggal 8 maret 2023, pukul 19.00 dan akan sharing tentang “Membersamai Anak Berkompetisi”.

Jangan lupa untuk bergabung acaranya besok. Khusus untuk Orang tua murid Piwulang Becik

Parents World Zoom Meeting

 

Instagram Sudut Aman :

Klik gambar di atas untuk instagram @sudutaman.id

Tonton video lengkapnya di sini :

FIdella Anandhita: Merdeka Berperan dan Merasakan Community Enterprise Di PKBM

Sekolah Nonformal atau PKBM memang seringkali disalahpahami sebagai tempat yang hanya menyelenggarakan ujian untuk Paket A, B, dan C. Namun, seperti yang dialami oleh Fidella Anandhita atau Della, PKBM sebenarnya merupakan tempat yang aktif dan dikelola secara profesional. Della #livein di Piwulang Becik dari Oktober sampai Desember 2022 dan menemukan bahwa PKBM merupakan sebuah wadah untuk pertumbuhan anak-anak, orang tua, dan guru dalam komunitas belajar, mengajar, bekerja, dan berwirausaha.

Salah satu hal yang mengejutkan Della adalah bahwa PKBM dan industri saling terhubung. Hal ini menunjukkan bahwa PKBM bukan hanya sekadar tempat belajar, tetapi juga memiliki peran yang penting dalam pembangunan industri dan masyarakat. PKBM dapat menjadi community enterprise atau lembaga wirausaha yang dimiliki dan dikelola oleh komunitas dengan tujuan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh komunitas. Prinsip koperasi dan Community Enterprise ini dikelola dalam lingkungan komunitas JRU (Jaringan Rumah Usaha).

Sebagai sebuah community enterprise, PKBM memiliki berbagai macam program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan masyarakat. Program-program ini disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat dan dilaksanakan oleh para pengajar yang terlatih dan berkompeten. Della merasa kagum karena menemukan bahwa PKBM telah mengaplikasikan dengan baik prinsip-prinsip yang selama ini hanya terdapat dalam buku, makalah, dan riset.

Tonton video lengkapnya di :

#LiveInSeries 5 – Laeta Aqvina: Ingin Mengubah Hidup Melalui Wirausaha

Laeta adalah salah satu anak muda SMK Tengaran yang mengikuti program Karir Anak yang didirikan oleh Jaringan Rumah Usaha (JRU) untuk membangun karakter, meningkatkan keterampilan, dan mengenalkan anak secara langsung dengan dunia profesional. Setelah mendaftarkan diri ke karir Anak, Laeta masuk di studio Kampung Becik Project dan menjalani Live In di Piwulang Becik.

Live In di Piwulang Becik memberikan Laeta pengalaman yang berharga. Di sana, Laeta belajar membangun kepercayaan diri dan cara beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Laeta juga memiliki kesempatan untuk belajar 3D Design bersama mentornya di komunitas. Dengan bimbingan dari para mentor, Laeta mampu mengubah dirinya dan memahami nilai-nilai yang diperlukan untuk menjadi seorang pengusaha.

Nilai-nilai yang telah Laeta dapatkan ini dirasakan juga oleh orang tuanya. Bapak dan Ibu Laeta menyadari anaknya telah berubah menjadi sosok yang lebih matang, dan memiliki visi yang jelas akan apa yang ia inginkan di masa depan.

Laeta pun bertekad untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang pengusaha. Melalui 3D Design, Laeta bertekad untuk berinovasi dan membuat produk-produk yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Laeta juga ingin menjadi salah satu contoh anak muda yang berhasil mewujudkan impiannya.

Tonton wawancara lengkapnya di:

Satu Hari Bersama Sheila On 7

Pagi hari, keluarga Eross Candra datang ke Piwulang Becik untuk kasih portofolio El Pitu.
Siangnya, sebelum makan siang kita ngobrol-ngobrol sama Mba Sarah (istrinya mas eross) tentang pembelajaran El Pitu selama di Piwulang Becik. Ini ngobrolnya panjang dan seru banget. Ada Mas Eross dan El Pitu di belakang kamera.

Setelah asik ngobrol, kita lanjut makan siang bareng sama teman-teman Piwulang Becik pake pepes tahu sama nasi hangat bikinan Mbak Kom.
Sorenya, kita janjian sama Mba Sarah untuk nonton konser Sheila on 7 di Saloka, Salatigaaaaaa!!

Mba Sarah baik banget kita dibantu untuk nonton konser dengan nyaman sampe kita bisa ketemu sama semua personil Sheila on 7. Mereka semua humble dan sederhana banget. Kita diajak ngobrol trus kita foto bareng deeh. Seru poooll gak akan kita lupain!
See u on the next web post

#LiveInSeries 2 – Ivo Febrian: Mengatasi Ruang Sulit

Sejarah Bergabung dalam Komunitas  

Ivo Febrian (19), seorang lulusan SMK 7 Semarang asal Kudus yang kini sedang live in di Piwulang Becik, menceritakan pengalamannya tergabung bersama komunitas. Berawal dari belajar desain dan membuat ikon dalam program magang di Karir Anak, kini ia mulai merambah ke bidang 3D. “Awalnya aku bingung mau magang di mana. Tapi di antara semua perusahaan yang ada di daftar pilihan, aku tertarik sama Karir Anak. Sebenernya aku bimbang banget pilih Internet of Things (IoT) atau desain, cuma akhirnya aku pilih desain,” kenangnya. 

Saat mempersiapkan diri untuk magang, Ivo mulai belajar menggambar 2D dan membuat ikon-ikon secara otodidak. “Aku belajar lewat Youtube. Gada kuratornya. Kuratornya diri sendiri aja. Kalau udah ngerasa bagus, udah.” 

Lambat laun, ia mulai tertarik dunia 3D dan mengulik secara mandiri dengan peralatan seadanya. “Laptopku tuh kentang kalau belajar 3D. Tapi aku pengen soalnya itu hal baru. Aku liat peluangnya tuh yang bisa 3D belum banyak. Jadi aku memutuskan buat belajar itu dengan device yang apa adanya.” Ia menyebut dirinya sebagai orang yang tidak mau kalah sehingga ia terus mengasah keterampilannya, apapun tantangannya. “Di satu sisi aku harus bisa lebih cepet tapi aku juga harus tau laptopku kemampuannya seberapa. Jadi aku harus mikir 2 kali. Kalau aku bikin yang terlalu berekspektasi tinggi, kalau device-nya nggak kuat ya sama aja.” 

Setelah 8 bulan mengerjakan proyek ilustrasi dan micro stock, oleh mentornya, Ivo ditawari untuk belajar 3D. “Wah jelas aku mau banget! Dikabarin jam 12 siang waktu makan, beres-beres, jam 1 langsung berangkat ke Salatiga,” ujarnya dengan antusias.  

Pengalaman Live In – Kebiasaan Baru yang Dibentuk 

Menjalani proses live in di Salatiga, salah satu hal yang ia rasakan berubah dari dirinya adalah bisa masak. “Selama ini aku liat aja temen-temen masak. Paling bantu-bantu sedikit. Lebih banyak melihat. Setelah pulang dari sini, aku jadi mikir. Sebenernya selama ini aku bukannya nggak bisa masak, tapi nggak berani aja. Wah, langsung aku coba lah masak yang belum pernah aku masak. Waktu itu aku coba masak bayem jagung. Aku yang sebelumnya belum pernah ke pasar, nggak ngerti caranya rebus jagung, ya gas coba aja dulu lah. Ternyata pas dicobain, masih layak buat dimakan. Emang layak sih,” ceritanya sambil tertawa. 

Untuk keseharian lainnya, ia menyebutkan ada kebiasaan baru yang dibawa dari proses live in, contohnya kebiasaan doa bersama di pagi hari sebelum mengawali kegiatan. 

Tak hanya itu, kebiasaan gotong royong dalam membersihkan lingkungan juga terbentuk selama live in. “Di sini kan kalau pagi bersih-bersih. Kewajiban semua orang yang ada di sini. Pagi bersih-bersih kebun depan, samping, kebun kopi. Ya aku seneng sih bisa ngelakuin itu karena hobiku dulu berkebun. Jadi aku menemukan hobiku lagi. Suka liat yang ijo-ijo. Karena kebiasaan itu, pagi aku nggak usah nunggu ngerjain apa atau nunggu perintah, langsung ambil sapu.” 

Meski demikian, ada satu hal yang ia ingat saat berbincang dengan Aris Prasetya (52), kepala sekolah Piwulang Becik. “Aku tuh inget banget obrolan om Aris tentang bermuka dua. Contohnya aja kalau di rumah jelek, tapi di studio pengen terlihat bagus. Itu kan jadinya nggak autentik dengan karakter diri sendiri. Capek juga ingin terlihat lebih dari apa yang dipunya. Jadi kalau di studio bersih-bersih dan pengen nunjukin sisi terbaik diriku, di rumah harusnya juga gitu,” terangnya saat menceritakan percakapan yang berkesan selama live in di Salatiga. 

Kekurangan Bukan Halangan – Kondisi Buta Warna Parsial 

Selain berbagi pengalaman live in, Ivo juga bercerita mengenai kesulitan yang ia hadapi selama ini. Industri desain sangat erat kaitannya dengan warna. Meski demikian, Ivo yang didiagnosa buta warna parsial tidak melihat hal tersebut sebagai keterbatasan. Justru, ia menjadikan hal tersebut sebagai tantangan yang perlu dihadapi, bukan dihindari. 

“Aku pertama tau aku buta warna parsial soalnya aku pengen masuk SMK. Saat aku cari-cari persyaratannya, ternyata salah satu syaratnya itu tes buta warna. Trus aku cari-cari di Youtube dan coba tes yang bentuknya lingkaran dengan angka dan warna. Loh kok jawabanku buta warna parsial semua. Trus aku riset dan tes lagi. Tapi jawabannya buta parsial terus. Di situ aku makin yakin soalnya yang orang lain bisa liat, aku nggak bisa. Sebaliknya, aku bisa liat angka ini, orang lain nggak bisa. Tapi karena aku mau masuk SMK, aku bener-bener harus mempersiapkan dengan matang, gimana caranya supaya bisa tetap diterima. Ternyata lolos.” 

Selama 3 tahun bersekolah dan setahun magang, ia berhasil melewati tantangan warna dengan strategi yang ia lakukan. “Aku jarang banget nyebutin warna. Misalkan, ini warnanya pakai ini. Jadi nggak nyebut itu warna apa, tapi nunjuk warna.” 

Namun, ada satu momen di mana akhirnya ia mengaku bahwa ia buta warna parsial. “Saat itu, aku lagi belajar ilustrasi. Di situ aku salah buat ngasih warna. Mentorku bilang ‘loh itu salah. Wah kamu buta warna ya’. Aku jawab aja ‘loh emang iya’. Mentorku kaget dan satu komunitas tau semua. Tapi aku ngerasanya itu udah waktunya aku ngaku. Toh satu tahun aku udah berhasil melewati desain yang urusannya dengan warna. Jadi aku ngeliat kekuranganku itu dicari jalannya. Dengan parsialku, aku menemukan caraku sendiri. Sekarang, aku malah menganggap kekuranganku sebagai kelebihan.” 

Mendobrak Ruang Sulit – Latihan Public Speaking 

Dari proses wawancara, sekilas Ivo terlihat sebagai orang yang lancar berbicara depan umum. Ternyata, ia mengaku dulu ia tak seperti sekarang. “Aku tuh sebenernya orangnya pendiam. Awal-awal magang aku diem aja, cuma denger orang ngomong, nggak ada interaksi sama sekali. Kalau nggak dipancing, nggak ngomong. Tapi setelah itu, aku dapet wejangan, kalau nanti aku punya studio, punya karyawan, cara ngobrolku tuh gimana? Kalau mereka salah, aku nggak bisa ajak ngobrol, jadi tambah salah, akhirnya malah jatuh semua. Di situ aku mulai sadar dan sedikit demi sedikit latihan komunikasi. Misalnya kasih tebak-tebakan. Padahal sebelumnya aku nggak pernah becanda. Pada kaget juga sih, cuma untungnya jokes-nya masih masuk. Pada ketawa,” celotehnya panjang. 

“Dari situ, aku mulai dengan ngobrol berdua, ngobrol mastermind, sampai akhirnya aku diminta untuk buka forum kecil. Di situ aku belajar menghadapi semua orang yang melihat diriku. Aku paling nggak bisa dilihat orang banyak. Itu ndredeg, pikiran nge-blank, parah pokoknya. Tapi aku jadi belajar nge-handle forum sampai disuruh mimpin forum. Wah itu tantangan paling besar sih. Awalnya cuma 5 orang, trus jadi sekitar 25 orang. Itu pengalaman yang bener-bener wow. Dari situ aku jadi paham cara bicaraku, karakterku, dan kenalan dengan orang-orang baru gimana.” 

Ivo menutup ceritanya dengan konsep yang ia pahami tentang belief system. “Kuncinya itu dari mindset. Mindset ini akan membentuk perilaku, perilaku membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan jadi realita kita. Ini prinsip yang aku pegang selama ini.” 

#LiveInSeries 1 – Haydar Wira & Reizzan Prasetya: Berkarya Sejak Muda

Awal Mula Belajar 3D 

Sebagai anggota termuda yang melakukan project-based learning di Piwulang Becik, Haydar Wira Prasetya (13) dan Mohammed Reizzan Setyawan (14), mengaku menikmati proses menggambar 3D. “Awal mulanya aku bikin gambar cuma main-main aja. Manual, digital, trus sekarang 3D. Tertariknya karena suka animasi-animasi gitu. Lihat behind the scence-nya kan keren tuh, bikin 3D” ujar Haydar saat menceritakan asal mula ketertarikannya pada 3D. Sementara itu, Izzan menyebutkan prosesnya berkarya saat mengerjakan project di studio Kampung Becik. “Awalnya aku bikin stok ikon, trus bikin ilustrasi, dan sekarang 3D. Aku seneng gitu, pengen explore.” 

Haydar dan Izzan menjelaskan bahwa keterampilan membuat karya 3D terasah justru saat bermain game. “Tangan jadi lebih luwes saat pegang mouse,” kata Haydar. Izzan pun menyetujui. “Kalo aku emang suka main game pakai komputer gitu. Jadi pas ngerjain 3D kayak udah enak soalnya mirip-mirip.” 

Menekuni 3D sejak dini dan benar-benar terjun menghasilkan karya, Haydar dan Izzan merasakan kebanggaan tersendiri. “Aku bangga soalnya bisa ngelakuin project yang besar. Pengen nantinya jadi 3D artist,” aku Haydar. “Aku juga ngerasa bangga tapi bisa lebih baik lagi,” tambah Izzan. 

Sejauh ini, keduanya merasa senang dan belum terpikirkan untuk eksplorasi bidang lain. “Kalau penasaran bidang lain nggak ada. Masih belum ketemu yang nyenengin lagi. Masih enjoy 3D. Paling seru itu modeling,” ujar Haydar. “Tapi sebetulnya ada susahnya. 3D kan ada lighting sama texture, jadi kompleks banget,” tambahnya. 

Sebaliknya, Izzan merasa tidak terlalu sulit. “Paling susahnya itu suka ada revisi. Kadang bingung kliennya itu maunya gimana,” terang Izzan polos yang sontak diikuti anggukan setuju oleh Haydar.  

Belajar Mengenai Kecerdasan Ruang 

Selain teknis 3D, Haydar dan Izzan juga belajar hal-hal non teknis, termasuk perihal kecerdasan ruang, terutama relasi dengan Reza Ahmad Prasetya (16) sebagai mentor mereka berdua. “Sebetulnya agak susah buat bedain antara keluarga sama guru. Misalnya kalau sebagai keluarga, aku bisa minta tolong ambilin piring atau nemenin makan. Kalau sebagai guru, aku nurut soalnya masih belajar juga,” ungkap Haydar. Hal serupa disebutkan juga oleh Izzan. Ia menyadari peran saat project-based learning berbeda dengan saat di waktu luang. “Kalau di ruang kerja, mas Reza jadi mentor kita. Jadi manut gitu. Kalau lagi main ya kayak mas aja.” 

Memaknai Kesalahan dan Masalah 

Semua manusia tak luput dari kesalahan. Begitu pula dengan Izzan dan Haydar. “Pernah waktu itu, sore-sore Haydar ajak aku main trus aku langsung ikut ke sana nggak pakai sendal. Nggak becek sih, tapi kan jadinya kotor. Trus ditegor om Aris. Dari situ jadi sadar kalau keluar harus pakai sendal. Jadi nggak tersinggung kalau diingetin,” kenang Izzan. “Aku juga sama. Yang lainnya aku lupa. Tapi kalau aku agak kesel juga,” sahut Haydar jujur. 

Selain kesalahan, mereka pun tak lepas dari masalah. Namun menariknya, baik Haydar maupun Izzan merasa tidak terlalu mempermasalahkan. “Aku nggak nyadar kayaknya. Nggak nganggep itu masalah. Jadi kalau ngerjain 3D kan kita perlu komputer yang spec-nya bagus. Jadinya sering nge-freeze gitu. Trus restart komputer paksa. Solusinya upgrade PC,” cetus Haydar. “Kalau aku pernah sih tapi ya kalau ada masalah trus sudah selesai masalahnya, jadi lupa,” sambut Izzan. Intinya, buat mereka berdua, tips menyelesaikan masalah adalah tidak berlarut-larut dalam masalah tersebut. Cari solusinya lalu move on.  

Proses Adaptasi di Ruang Komunal 

Berada jauh dari rumah dan belajar hidup mandiri, Izzan menceritakan pengalamannya beradaptasi dengan lingkungan baru. “Awal-awalnya kan aku di sini jauh dari orang tua. Bisa tapi aku ya kangen sih,” ungkapnya jujur. Sementara itu, Haydar merasa senang akhirnya punya teman sebaya. 

Mereka juga bercerita mengenai kebiasaan makan, terutama saat makan siang. “Kalau soal makanan, rasanya beda, tapi enak soalnya laper,” Izzan tertawa renyah. Ia juga melakukan kegiatan bersih-bersih seperti menyapu, cuci piring, dan membersihkan meja. Berbeda dengan Izzan yang lahap makan apapun, Haydar lebih memilih menu makan yang berbeda dari yang lainnya. “Soalnya di sini kebanyakan makannya sayur. Aku kurang suka,” jelasnya blak-blakan. Meski demikian, ia tetap ikut berbaur dan berkumpul saat makan siang. 

Terkait interaksi dengan teman-teman yang berbeda umur, Haydar dan Izzan tidak merasa ada perbedaan yang signifikan. Mereka bisa membaur seperti bermain game bersama, olahraga basket, menonton bioskop, dan sebagainya. “Sebenernya sama kakak-kakak di sini biasa aja sih. Manggilnya sih tetep kak, tapi ngobrolnya santai. Kalau bosen biasanya refreshing trus nyapa kakak-kakak ‘halo, lagi ngapain?’,” jelas Izzan. “Aku juga biasa aja sih. Udah terbiasa bertaun-taun main bareng beda umur,” sahut Haydar.  

Harapan ke Depannya 

Ketika bicara masa depan, baik Haydar maupun Izzan merasa ingin hidup bebas. “Kalau aku, 4-5 tahun udah ada studio jadi udah ada orang yang ngurusin,” tutur Haydar. Selaras dengan Haydar, Izzan bercita-cita ingin memulai bisnisnya sendiri. “Kalau aku ke depannya pengen punya studio juga. Umur berapanya belum tau, yang pasti aku udah tinggi,” katanya ceplas-ceplos sambil tertawa. 

Tonton wawancara lengkapnya di:

Ekosistem untuk Akselerasi Bakat

Jika pada tulisan sebelumnya kita mengulas tentang Myelin dalam konteks diri, pada tulisan kali ini kita akan melihat Myelin dalam konteks ekosistem. Bagaimana sebenarnya Myelin dapat makin menebal dalam kondisi tertentu? Apakah cukup dengan latihan?

Daniel Coyle, penulis buku Talent Code, menjelaskan bahwa kunci seorang juara dunia adalah berkat tempaan lingkungan yang tepat.  Ada fakta menarik tentang sebuah klub tenis Rusia yang berhasil mencetak petenis-petenis terbaik meski dengan fasilitas seadanya. Prestasi ini tidak pernah dihasilkan oleh klub tenis manapun di seluruh Amerika Serikat.

Apa rahasianya? Ternyata, bagaimana mereka dilatih menjadi faktor penentu yang membedakan dengan klub tenis lainnya. Atlet-atlet tersebut menjadi unggul karena sentuhan pelatih yang menciptakan program latihan yang berat untuk mengoptimalkan potensi seperti yang pernah dibahas dalam tulisan mengenai Quantum Leap.

Contoh di Lingkungan Piwulang Becik

Di lingkungan Piwulang Becik, dikenal istilah mentoring yang memang dirancang untuk melatih Myelin tersebut. Mentor bagi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Ratih, salah seorang orang tua murid, menceritakan pengalamannya selama 4 tahun terakhir di Piwulang Becik. “Dulu, kita selaku orang tua diminta untuk membuat portofolio yang sekarang jadi activity log. Kalau di sekolah, guru yang nulis rapor, di sini orang tua harus bisa bekerjasama dengan anak untuk menulis portofolio.”

Meski tanggung jawab orang tua jadi lebih berat, berkat portofolio, banyak perkembangan yang sekilas terlihat kecil namun terasa berharga. Contohnya, saat anaknya yang berusia 5 tahun berhasil pakai sepatu, kancing baju, dan menguncir rambutnya sendiri. Ia catat semua dalam portofolio.

Tak cuma portofolio. Proses ia mendampingi, mendukung, dan menemukan passion anak juga merupakan tantangan tersendiri. Ia mengaku kesulitan saat mendorong anaknya lebih aktif di kelas, padahal anaknya sendiri yang memilih kelas-kelas Student Club yang ingin dihadiri. Namun seiring berjalannya waktu, mulai terlihat minat anak kecenderungannya ke mana. “Anakku ikut beberapa Student Club, tapi kelas yang dia nggak pernah skip itu Student Club memasak. Dia siapin sendiri bahan-bahannya dan aktif partisipasi di kelas. Saya lega banget akhirnya ketemu juga passion-nya. Walaupun nanti akan berubah, gapapa. Yang penting sekarang paling tidak dia sudah bisa ambil keputusan, sudah tahu kalau nggak ngerti harus nanya,” ujarnya antusias.

Selain bertanggung jawab terhadap anak sendiri, Ratih juga bertanggung jawab pada anak-anak lain dalam mengajar Student Club bahasa Inggris. “Ternyata lebih sabar ngajar anak orang lain ketimbang anak sendiri. Karena kalau anak sendiri tuh punya standar. Ekspektasinya terlalu tinggi kadang-kadang. Padahal kalau dipikir-pikir, dia kan baru 11 tahun. Harapannya udah begitu-begini. Nggak apple to apple lah kalau dibandingin sama diri sendiri di umur segini. Tapi jadi lebih aware. Bandinginnya sama dia 1 tahun yang lalu, 1 bulan yang lalu, dan seterusnya.”

Cerita Ratih tentang pengalamannya selama di Piwulang Becik ini menjadi contoh bagaimana sebetulnya ekosistem belajar yang kondusif di tengah banyaknya himpitan dan tantangan ternyata dapat mempercepat terjadinya penebalan Myelin dan membangun awareness. Tanpa stimulasi lingkungan, minat dan bakat anak tak akan cukup untuk terakselerasi secara optimal.

Seperti kutipan yang terkenal:

“Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.”