Gamelan Sebagai Jembatan Budaya: Bagaimana Ki Bagus Baghaskoro Membawa Gamelan ke Generasi Muda

 

Ki Bagus Baghaskoro Wisnu Murti atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Bagus Baghaskoro adalah seorang seniman dan perajin gamelan dari desa Jatimalang Joho, Sukoharjo. Beliau juga merupakan anggota senior dari komunitas Arjasura (Arek Jawa Timur di Surakarta) dan Sabanusa (Sinema Wayang Babat Nusantara). Bersama kedua komunitas tersebut, Ki Bagus aktif dalam pelestarian dan pengembangan kesenian Jawa, khususnya gamelan. Ki Bagus juga berkontribusi sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi, khususnya di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia Surakarta. Pengalaman menarik terjadi ketika beliau diundang untuk mengajar gamelan di beberapa negara, sehingga memberikan kesempatan kepada beliau untuk mengenalkan gamelan secara mendalam kepada masyarakat mancanegara.  

Terlahir dari keluarga seniman, ayahnya adalah seorang penari dan ibunya adalah seorang Waranggono/Pesinden. Latar belakang ini memperkenalkan Ki Bagus pada gamelan sejak usia dini. Dengan berlatih bersama keluarganya, beliau belajar untuk memahami keindahan dan makna di balik suara gamelan. Pada usia 3 tahun, beliau sudah mampu memainkan beberapa instrumen gamelan. Pada usia 7 tahun, kemampuannya berkembang hingga menguasai kendang dan mampu mengiringi tarian Remo yang berlangsung selama 5 menit.  

Perjalanan seni Ki Bagus terus berlanjut dan membawanya untuk belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Surakarta, jurusan Pedalangan. Kemudian, beliau melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia di Surakarta, jurusan Karawitan. Ki Bagus telah berhasil membuktikan bahwa gamelan bukan hanya warisan budaya lokal, tetapi juga warisan budaya dunia yang telah mencapai benua Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.  

Tantangan zaman mendorong Ki Bagus untuk berpikir lebih dalam tentang tanggung jawab kita sebagai pemilik gamelan. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan membiarkan gamelan diam begitu saja atau mencari cara agar gamelan tetap hidup dan relevan di tengah-tengah budaya populer seperti dangdut dan K-pop, serta budaya asing lainnya yang masuk ke negara kita? 

Oleh karena itu, Ki Bagus berharap agar Kemendikbud dapat menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di setiap kurikulum sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Harapannya tidak hanya di Jawa dan Bali, tapi juga di Sumatra, Kalimantan, Papua, sesuai dengan local genius masing-masing. Karena gamelan tidak hanya terdapat di Jawa dan Bali, tetapi juga tersebar di Sumatra dengan Gamelan Talempong, Gamelan Banjar di Banjar, Gamelan Bali di Bali, Gamelan Sasak di Lombok, dan bahkan di Sulawesi dengan musik tradisionalnya.  

Pendidikan usia dini, khususnya di lingkungan sekolah, merupakan fondasi penting sebagai langkah awal untuk memperkenalkan seni gamelan kepada anak-anak. Harapannya, kita dapat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa gamelan bukan hanya sekadar alat musik kuno, namun juga merupakan sebuah seni yang dapat dinikmati dan dipelajari oleh semua generasi.  

Ki Bagus sangat mengapresiasi anak-anak di Piwulang Becik yang bermain gamelan, karena hal ini menunjukkan bahwa gamelan tidak hanya diminati oleh kalangan orang tua, namun dapat dinikmati dan dipelajari oleh semua kalangan. Bahkan di luar negeri, peminat gamelan tidak hanya dari kalangan orang tua saja, tetapi juga diminati oleh anak-anak dan remaja.  

Untuk menjamin keberlangsungan gamelan, Ki Bagus menyarankan adanya pengembangan dalam aspek penyajian dan tingkat kesulitan gamelan. Pengembangan ini harus disesuaikan dan dikembangkan secara bertahap sesuai dengan tuntutan zaman. Bagi Ki Bagus, gamelan bukan hanya warisan leluhur yang harus dilestarikan, tetapi juga seni yang hidup dan dinamis. Beliau ingin menjadikan gamelan sebagai jembatan budaya yang menghubungkan generasi muda dengan warisan leluhur yang kaya. Harapannya, gamelan akan tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas dan kehidupan masyarakat Indonesia, serta dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk generasi yang akan datang. 

Saksikan cerita lengkap Ki Bagus di sini:

Ekosistem untuk Akselerasi Bakat

Jika pada tulisan sebelumnya kita mengulas tentang Myelin dalam konteks diri, pada tulisan kali ini kita akan melihat Myelin dalam konteks ekosistem. Bagaimana sebenarnya Myelin dapat makin menebal dalam kondisi tertentu? Apakah cukup dengan latihan?

Daniel Coyle, penulis buku Talent Code, menjelaskan bahwa kunci seorang juara dunia adalah berkat tempaan lingkungan yang tepat.  Ada fakta menarik tentang sebuah klub tenis Rusia yang berhasil mencetak petenis-petenis terbaik meski dengan fasilitas seadanya. Prestasi ini tidak pernah dihasilkan oleh klub tenis manapun di seluruh Amerika Serikat.

Apa rahasianya? Ternyata, bagaimana mereka dilatih menjadi faktor penentu yang membedakan dengan klub tenis lainnya. Atlet-atlet tersebut menjadi unggul karena sentuhan pelatih yang menciptakan program latihan yang berat untuk mengoptimalkan potensi seperti yang pernah dibahas dalam tulisan mengenai Quantum Leap.

Contoh di Lingkungan Piwulang Becik

Di lingkungan Piwulang Becik, dikenal istilah mentoring yang memang dirancang untuk melatih Myelin tersebut. Mentor bagi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Ratih, salah seorang orang tua murid, menceritakan pengalamannya selama 4 tahun terakhir di Piwulang Becik. “Dulu, kita selaku orang tua diminta untuk membuat portofolio yang sekarang jadi activity log. Kalau di sekolah, guru yang nulis rapor, di sini orang tua harus bisa bekerjasama dengan anak untuk menulis portofolio.”

Meski tanggung jawab orang tua jadi lebih berat, berkat portofolio, banyak perkembangan yang sekilas terlihat kecil namun terasa berharga. Contohnya, saat anaknya yang berusia 5 tahun berhasil pakai sepatu, kancing baju, dan menguncir rambutnya sendiri. Ia catat semua dalam portofolio.

Tak cuma portofolio. Proses ia mendampingi, mendukung, dan menemukan passion anak juga merupakan tantangan tersendiri. Ia mengaku kesulitan saat mendorong anaknya lebih aktif di kelas, padahal anaknya sendiri yang memilih kelas-kelas Student Club yang ingin dihadiri. Namun seiring berjalannya waktu, mulai terlihat minat anak kecenderungannya ke mana. “Anakku ikut beberapa Student Club, tapi kelas yang dia nggak pernah skip itu Student Club memasak. Dia siapin sendiri bahan-bahannya dan aktif partisipasi di kelas. Saya lega banget akhirnya ketemu juga passion-nya. Walaupun nanti akan berubah, gapapa. Yang penting sekarang paling tidak dia sudah bisa ambil keputusan, sudah tahu kalau nggak ngerti harus nanya,” ujarnya antusias.

Selain bertanggung jawab terhadap anak sendiri, Ratih juga bertanggung jawab pada anak-anak lain dalam mengajar Student Club bahasa Inggris. “Ternyata lebih sabar ngajar anak orang lain ketimbang anak sendiri. Karena kalau anak sendiri tuh punya standar. Ekspektasinya terlalu tinggi kadang-kadang. Padahal kalau dipikir-pikir, dia kan baru 11 tahun. Harapannya udah begitu-begini. Nggak apple to apple lah kalau dibandingin sama diri sendiri di umur segini. Tapi jadi lebih aware. Bandinginnya sama dia 1 tahun yang lalu, 1 bulan yang lalu, dan seterusnya.”

Cerita Ratih tentang pengalamannya selama di Piwulang Becik ini menjadi contoh bagaimana sebetulnya ekosistem belajar yang kondusif di tengah banyaknya himpitan dan tantangan ternyata dapat mempercepat terjadinya penebalan Myelin dan membangun awareness. Tanpa stimulasi lingkungan, minat dan bakat anak tak akan cukup untuk terakselerasi secara optimal.

Seperti kutipan yang terkenal:

“Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.”

Myelin, Kunci Transformasi Diri

Seringkali orang tidak sadar bahwa sebuah kesuksesan tak hanya ditentukan oleh brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Berdasarkan penelitian, yang tidak kalah penting juga adalah muscle memory yang terbentuk dari latihan.

Tentang Myelin

Kalau brain memory terletak di otak dan menghasilkan hafalan teori dan konsep, muscle memory ini ada di seluruh jaringan otot kita dan menghasilkan refleks otomatis. Manusia membutuhkan keduanya, namun seringkali pendidikan kita lebih mengutamakan pada brain memory. Padahal, muscle memory juga tak kalah penting.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan”, komponen muscle memory atau yang disebut myelin ini merupakan pembungkus jaringan sel-sel syaraf yang membawa sinyal yang sama berulang-ulang. Makin sering informasi diulang dalam Myelin, semakin tebal. Hal ini yang menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan kita dan merupakan sumber talenta saat dilatih terus-menerus.

Contoh Myelin dalam Konteks Piwulang Becik

Di Piwulang Becik, proses pembelajaran banyak memanfaatkan fungsi Myelin. Salah satu contohnya adalah Hasan, seorang pengajar musik. Ia bercerita bahwa ia belajar bermain alat musik sejak SMP sampai sekarang. Mulai dari belajar otodidak dengan pinjam alat musik teman dan akhirnya diajari cara bermainnya, sampai bisa otomatis memainkan lagu tanpa tahu lagu tersebut sebelumnya.

Pernah suatu waktu, ia diminta bermain gitar dengan kunci yang diinstruksikan pemain kibor. Ternyata kuncinya salah, namun ia secara otomatis menyesuaikan hanya berdasarkan intuisi. Hal ini merupakan contoh muscle memory atau Myelin.

Hal menarik lainnya adalah saat biasanya ia mengajar offline namun ketika pandemi, ia harus mengalihkan seluruh pembelajaran menjadi online. Awal-awal pembiasaan rasanya sulit karena tidak familiar. Namun lama-kelamaan, berbagai masalah karena keterbatasan belajar online bisa teratasi. Salah satunya, dengan meminta murid mengirimkan karya yang kemudian dikurasi dan dibahas bersama di kelas.

Harus Tahu vs Ingin Tahu

Selain terkait pembelajaran di kelas, Hasan juga mengungkapkan contoh lain saat ia diminta menjelaskan mengenai Piwulang Becik kepada para orang tua. Berhubung  Myelin tak melulu berkaitan dengan keterampilan fisik tapi juga mindset dan mental, momen-momen seperti ini ternyata melatih Hasan untuk mengenali mana yang harus ia ketahui sebagai seorang koordinator dan mana yang berupa keinginan untuk tahu.

“Ibaratnya kita mau ke Bali. Kita harus tahu kan lewat jalan mana. Kalau nggak tahu ya cari tahu,” jelasnya. Saat ia diminta untuk menjelaskan Piwulang Becik kepada para orang tua, ia menyadari ia masih banyak hal yang ia belum tahu. Namun, tanpa mencoba terlebih dahulu, tak akan muncul keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut. Inilah latihan mental yang terus-menerus dilakukan sampai akhirnya terbentuk Myelin yang tebal sehingga secara otomatis ia bisa memilah dan memutuskan mana yang ia harus tahu sebagai seorang koordinator untuk kemudian disampaikan pada para orang tua.

Takut Salah vs Berani Melangkah

Berhubungan dengan latihan mental, ia juga menyebutkan bahwa saat memulai hal baru, refleks selama ini adalah takut salah. Namun, ia melatih dirinya untuk mengubah mindset. “Grogi dan takut salah itu wajar. Yang penting, kita tetap berani untuk melangkah,” tambahnya. Mindset ini penting agar kita bisa terbuka akan hal-hal baru dan mau terus belajar dari kesalahan.

Mengutip kata-kata Nelson Mandela:

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”

Mengamati Diri, Memindai Masa Depan

Ketika kita membicarakan pendidikan masa depan, apa yang kamu bayangkan? Kelas-kelas yang didukung dengan fasilitas teknologi canggih? Konten-konten pembelajaran dengan ilmu global dan berbahasa internasional? Atau justru, kamu membayangkan murid-murid di masa depan? Bagaimana pola pikir dan laku mereka? Apa saja tantangan yang akan mereka hadapi? Seperti apa ekosistem mereka belajar?

Apapun yang kita bayangkan, bisa jadi benar. Tapi pertanyaan yang paling penting untuk kita tanyakan, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk pendidikan masa depan? Kata kuncinya adalah: DIRI. Kesadaran kita untuk melihat dan memahami ke “dalam” lebih dalam sebelum bertransformasi.

Dalam buku “Theory U: Leading from the Future as It Emerges” oleh Otto Scharmer, ada sebuah model pemikiran dari Brian Arthur, seorang Economist, untuk membantu kita memahami proses transformasi diri maupun organisasi. Model ini dapat pula dipakai dalam konteks pendidikan.

Observasi. Proses mengamati, mendengar, dan merasakan ke dalam diri untuk menemukan dan membangkitkan potensi terbaik kita. Semakin lihai kita dalam mengobservasi diri, semakin peka juga kita pada sekitar, terutama dalam memahami murid-murid kita. Contoh paling mudah untuk melatih keterampilan observasi adalah mengamati emosi yang hadir. Saat marah pada murid misalnya. Apakah ada emosi lain yang lebih dalam seperti kekecewaan karena punya ekspektasi yang tidak sesuai realita? Seperti apa rasanya? Apa yang saya lihat dari murid tersebut yang memancing kemarahan saya? Apa yang tidak saya lihat? Keterampilan ini merupakan kunci dari proses transformasi.

Refleksi. Mengendapkan dan merenungkan temuan dari proses observasi tadi. Apakah ada keyakinan dan pandangan yang saya miliki yang menghambat proses memahami diri juga anak murid? Apa saja asumsi yang saya sadari? Bagaimana saya mengubah paradigma lama agar bisa melihat potensi yang selama ini tak saya sadari? Pertanyaan-pertanyaan refleksi ini bisa kita tanyakan pada diri sebelum kita bereaksi dan merespon suatu tindakan. Proses pengendapan dan perenungan ini seringkali memunculkan kesadaran baru terkait apa yang selama ini terpendam dalam diri.

Aksi. Setelah proses observasi dan refleksi, langkah terakhir adalah tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan transformasi. Dalam prosesnya, kita akan dihadapkan pada ketidakpastian, ambiguitas tinggi, dan rentan gagal. Maka dari itu, butuh keterbukaan untuk merangkul berbagai kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya dan terus mencoba hal-hal yang mustahil. Tentunya, hal ini tidak akan bisa terlaksana tanpa proses mengamati diri dan keberanian mempertanyakan apakah asumsi yang saya miliki selama ini masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan masa depan?

Pada intinya, untuk dapat memindai masa depan, hal paling penting dan mendasar yang perlu kita lakukan adalah mengamati diri. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Shane Parrish:

Empati, Upaya “Menembus” Dinding

Dalam teori Fisika, ada Hukum Newton 3 tentang Aksi Reaksi yang berbunyi:

“Jika suatu benda mendapatkan gaya, maka benda tersebut akan memberikan kekuatan yang sama besar terhadap sumber gaya tersebut secara berlawanan.”

Contoh paling sederhananya, bila kita mendorong dinding (aksi), dinding tersebut akan berbalik mendorong kita (reaksi).

Apabila kita memandang sebuah masalah seperti menghadapi dinding, beberapa orang terus mendorong bahkan menabrak dinding sampai kelelahan sendiri. Beberapa lainnya, memutuskan menyerah dan berbalik arah.

Dua respon ini merupakan reaksi fight or flight. Wajar saja, karena merupakan insting purba manusia untuk bertahan hidup saat terancam bahaya. Namun, pernahkah kita berpikir solusi alternatif? Bagaimana ya caranya “menembus” dinding?

Kita ambil contoh seorang guru bahasa Indonesia bernama Bela. Selama ini, bahasa Indonesia dianggap membosankan dan tidak penting karena setiap hari juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Memahami tantangan ini, Bela ingin mengubah perspektif bahwa bahasa Indonesia itu menyenangkan. Kalau ia memaksakan pembelajaran text book pada mereka, bisa saja para murid makin merasa bahasa Indonesia membosankan. Semakin ia memaksa, pembelajaran akan semakin jauh dari kata menyenangkan. Semakin melelahkan karena hanya berusaha mendorong dinding. Persis seperti Hukum Aksi Reaksi Newton 3.

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya “menembus” dinding, jawabannya adalah dengan berempati. Pertanyaan berikutnya, bagaimana ya caranya Ani berempati?

  • Pertama, mencoba memahami apa yang murid tersebut pikirkan dan rasakan. Apa ya yang disukai anak-anak? Apa yang jadi tren saat ini? Apa istilah-istilah kekinian yang digunakan supaya bisa masuk ke dunia mereka?
  • Kedua, cari berbagai alternatif pembelajaran seru seperti menonton film, mendengar lagu, menyanyi bersama, main games, dan sebagainya. Kenali apa yang menjadi kesukaan mereka agar belajar terasa lebih menyenangkan.
  • Ketiga, rayakan tiap perkembangan. Dengan mengapresiasi tiap milestones dalam proses belajar, mereka akan menyadari sejauh mana mereka berkembang. Selain itu, bisa memacu semangat agar terus menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak lagi tips lainnya. Namun pada intinya, lakukan secara perlahan dan bertahap. Dinding dalam proses belajar terkadang tak terlihat, tapi kita selalu punya pilihan. Menabrak, menghindar, atau menembus, semua tergantung kita menyikapi.

Quantum Leap, Sebuah “Lompatan” Potensi

Marvel Multiverse

Apakah kamu pernah mendengar istilah Quantum Leap? Yuk kita kenalan dengan istilah ini!

 

 

 

Tentang Quantum Leap

Quantum Leap merupakan “lompatan” yang membuat manusia mencapai potensinya secara optimal.

Kalau dalam bayanganmu lompatan itu seperti atlet yang melewati halang rintang, Quantum Leap berbeda. “Lompatan”-nya lebih menyerupai gelombang yang menembus suatu batas. Mungkin terdengar membingungkan. Untuk memudahkan, analoginya seperti ini. Bayangkan seseorang yang dalam 2 minggu bisa membuat desain 3D. Padahal, dia belum pernah pegang laptop sebelumnya. Atau seseorang dalam seminggu bisa berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan sampai dapat pasangan. Padahal, sebelumnya dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.

Quantum Leap Wave

Selain itu, Quantum Leap juga bersifat probabilitas. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Makanya, momentum dalam Quantum Leap bisa saja datang tanpa diduga. Apabila kita tidak siap, kesempatan tersebut akan lewat begitu saja.

 

 

Contoh Quantum Leap

Kita ambil contoh Syama, seorang murid di Piwulang Becik yang terlihat pendiam di kelas. Namun, di sebuah pertunjukan drama di kelas, secara mengejutkan, banyak dialog yang diperankan Syama. Bela, guru bahasa Indonesia Syama, kaget dan tak menyangka bahwa ternyata memang selama ini Syama memperhatikan apa yang ia ajarkan. Hanya saja, ia tak banyak bicara.

Contoh lainnya, anggap saja bernama Zizi. Ia seorang difabel tuna netra yang punya keahlian di bidang musik. Saat mengajar di kelas online, Zizi dapat menghapal para muridnya hanya dari mendengar suaranya saja. Bela takjub dan terheran-heran, bagaimana Zizi bisa tau siapa saja muridnya tanpa melihat. Zizi pun tidak pernah terpikir sanggup mengajar musik.

Yang terjadi pada Syama maupun Zizi sebenarnya bukan tiba-tiba. Ada proses yang tidak terlihat.

Contohnya, bagaimana Bela memancing perlahan agar Syama berani berbicara melalui pendekatan personal, bagaimana ia pun kerap bertanya pada orang tua Syama. Apakah anaknya diam karena takut atau memang pendiam? Apakah anaknya menyukai pelajaran bahasa Indonesia? Orang tuanya bilang iya dan bilang bahwa di rumah, Syama sering cerita tentang kegiatannya.

Zizi pun demikian. Ia tidak langsung bisa lancar mengajar tapi karena terus-menerus dilakukan, lama-lama ia terampil. Keterbatasannya tak menghambat potensinya. Zizi bisa saja menolak menjadi pengajar. Namun, ia mengambil momentum untuk terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan, kalau baik Syama, Bela maupun Zizi tidak berhenti dan puas dengan “lompatan” yang terjadi, bisa jadi ada probabilitas terjadinya Quantum Leap di momentum lain dalam hidup mereka.

Pertanyaan untuk kita refleksikan bersama: apakah saat momentum tiba, kita sudah siap untuk menembus batas-batas nalar kita? Kalau pun belum siap, apakah kita berani memulai? Ataukah kita menyerah karena merasa batas tersebut mustahil ditembus?

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Memelihara Bahasa, Memilih Sikap Dan Menjaga Kesopanan

Saat ini kita telah memasuki era digital, di mana semua kegiatan dipermudah dengan adanya internet dan perangkat teknologi yang mendukung. Adanya internet membuat kita dapat mengakses segala informasi terbaru, bahkan terhubung secara langsung dengan orang lain tak terbatas tempat dan waktu.

Banyak masyarakat yang sangat bergantung dengan adanya internet, gawai, laptop atau perangkat canggih lainnya. Hal ini tentu banyak mengubah gaya hidup masyarakat, mulai dari cara berpikir, bertindak dan berkomunikasi. Adanya sosial media misalnya, membuat kita seakan menjadi lebih mudah terhubung dengan orang lain yang sudah dikenal maupun asing. Akan tetapi dengan kemudahan akses yang diberikan, tanpa sadar kita kehilangan batas antara ranah privat dan publik.

Minimnya keterampilan komunikasi dalam ranah sosial bisa menjerumuskan seseorang pada kesalahpahaman. Kecepatan informasi dan tersebarnya informasi yang tersaji dalam layar gawai, seringkali membuat seseorang kehilangan cara mereka dalam menyaring informasi. Misalnya seperti banyak orang di luar sana yang tak bisa menempatkan bahasa pada konteksnya sehingga bahasa yang disampaikan justru mengarah pada kesalahpahaman dan berujung pada pertikaian baik secara daring maupun luring.

Komunikasi yang buruk tak hanya ditemui pada orang dewasa, hal ini juga sering ditemukan pada kalangan remaja hingga anak-anak. Banyak dari mereka yang belum tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan lawan bicaranya. Contoh sederhana, bagi masyarakat Jawa tentu mengetahui jika Bahasa Jawa terbagi menjadi empat tingkatan, yakni Ngoko Lugu, Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Inggil. Tingkatan tersebut ditujukan kepada siapa yang diajak bicara, misalnya seperti anak kepada orangtua diharapkan menggunakan Krama Inggil, sebagai rasa hormat dan kesopanan. Sayangnya, sekarang ini tak banyak anak asli Jawa yang menggunakan Krama Inggil untuk berbicara dengan orang tuanya. Justru banyak dari mereka yang menggunakan bahasa Ngoko, yang mana bahasa tersebut digunakan untuk teman sebaya.

Dapat dikatakan, bahasa yang digunakan adalah cerminan kesopanan. Oleh sebab itu pemilihan kata saat menyampaikan informasi, gagasan, ataupun kritik sangatlah diperlukan. Bahasa adalah langkah awal pada seseorang bisa berperilaku baik dengan diri maupun pada orang lain. Apabila bahasa yang seorang dengar adalah bahasa kasar, jika salah dalam memaknai maka bahasa tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan kemungkinan diterapkan juga pada orang lain. Hal tersebut juga bisa dilihat ketika seorang anak tumbuh dengan orang tua yang saling mencaci maki satu sama lain setiap harinya serta orang tua yang sering memberi label sebagai anak nakal atau bodoh. Anak bisa menginternalisasi apa yang didengar setiap harinya dan tanpa disadari bisa berpengaruh pada pembentukan karakter di kehidupan selanjutnya.

Belajar berbahasa yang baik sama artinya dengan kita berusaha mendidik pikiran dan jiwa untuk lebih sehat lagi. Selain itu, bahasa juga sangat erat dengan nilai sosial, religi, dan budaya. Menjadi penting untuk membangun budaya berbahasa yang baik di lingkungan keluarga dengan mulai menyadari setiap kata yang terucap.