Sekolah Asli Indonesia: Pendidikan Ala Nenek Moyang

Jauh sebelum dijajah Negara Barat, Indonesia sudah memiliki institusi pendidikan sekolah. Sekolah “Asli” Indonesia ini bisa ditelusuri melalui relief candi, sastra kuno, serta prasasti. Salah satunya tercatat pada Prasasti Papringan pada tahun 880 Masehi di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang dibuat pada masa Mataram Kuno. 

Sekolah “Asli” Indonesia ini lebih menitikberatkan pengajarannya pada pembentukan karakter melalui falsafah keagamaan. Usia muridnya pun sangat beragam. Ini berbeda dengan sekolah ala Barat yang biasanya homogen atau memiliki jenjang usia yang sama.

Dari literatur, ada empat jenis Sekolah “Asli” Indonesia. Bentuk pertama adalah padepokan. Sistem ini dijalankan penganut agama Kapitayan, agama Nusantara pra Hindu-Budha. Ilmu yang diajarkan mulai dari filsafat hidup, ilmu bela diri, kesusastraan hingga ilmu pemerintahan. Para murid biasanya tinggal dan belajar di padepokan tersebut. 

Jenis kedua adalah Asrama. Sekolah ini dimiliki penganut agama Budha. Siswa akan belajar dan tinggal bersama gurunya, mempelajari agama Budha.

Salah satu asrama atau sekolah Budha terbesar di Indonesia adalah komplek Candi Muaro Jambi di Jambi, yang konon mampu menampung ribuan siswa. Sebagian dari siswa internasionalnya akan melanjutkan pelajaran Budha ke Nalanda, Srilangka.

Bentuk sekolah ketiga adalah Dukuh atau Pedukuhan. Sekolah ini dijalankan oleh penganut agama Hindu Siwa. Sekolah seperti ini sudah berjalan sejak zaman Majapahit. Sayangnya, bentuk sekolah dari nomor satu hingga tiga kini telah hilang ditelan zaman karena masyarakat pendukungnya sudah tidak ada.

Bentuk sekolah terakhir dan masih bertahan hingga sekarang adalah pesantren. Sekolah ini dijalankan oleh umat Islam Indonesia. Para murid yang disebut santri biasanya akan tinggal dan belajar dalam pondok pesantren milik para kyai. Metode pengajaran di pesantren adalah sorogan, bandungan atau halaqoh serta weton atau wetonan. Pada zaman sekarang, sebagian pesantren kini telah mengadopsi sistem pendidikan modern ala Barat. 

Nah, Sahabat Becik. Sekolah “Asli ” Indonesia ini sebenarnya tidak kalah hebat daripada sekolah modern ala Barat. Contohnya saja pesantren. Mereka telah teruji dan relevan selama ratusan tahun sehingga masih bertahan hingga hari ini.

Pendidikan Literasi Untuk Anak

Pendidikan Literasi Untuk Anak

Kata literasi memang tidak asing lagi di telinga kita, namun beberapa dari kita mungkin masih belum memahami bagaimana fungsi literasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum literasi merupakan kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan menyelesaikan masalah pada tingkat keahlian tertentu.

Literasi bukan hanya diperuntukan bagi orang dewasa, namun juga anak-anak. Banyak orang tua yang tak mengetahui jika pendidikan literasi sudah bisa diajarkan pada usia anak. Apakah anda pernah menemui anak-anak yang berbicara dengan bahasa yang baik, jelas, runtut, dan mengerti buku-buku yang ia baca? Hal itu bisa dikarenakan literasi yang telah diajarkan oleh orang tua yang dilakukan sejak dini.

Di masa sekarang, pendidikan literasi cukup gencar dilakukan dengan tujuan mencetak generasi yang bukan hanya cerdas dalam segi akademis namun juga memiliki pola pikir kritis serta logis. Mengajarkan anak tentang literasi sejak dini bukan hanya menekankan pada kemampuan membaca dan menulis, namun ada tujuan yang lebih jauh yakni membentuk generasi yang mampu berpikir kritis pada setiap informasi yang diterima.

Ada banyak manfaat yang diperoleh dari pendidikan literasi anak sejak dini, antara lain:

1.      Melatih kemampuan dasar anak dalam membaca, menulis dan menghitung

Untuk memulai pendidikan literasi pada anak usia dini bisa dimulai dengan membacakan buku dongeng secara rutin. Orang tua bisa membiasakan diri membacakan dongeng sebelum tidur pada anak. Ada banyak buku dongeng yang bisa dipilih mulai dari fabel, legenda, hikayat dan lain sebagainya.

2.      Anak akan memiliki kemampuan berpikir kritis

Perlu kita ketahui jika semakin tinggi kemampuan literasi anak maka semakin besar pula kemampuannya untuk menerima, mengolah dan menyikapi berbagai informasi yang didapatkan. Bisa dikatakan pendidikan literasi merupakan pondasi penting untuk memiliki pemikiran kritis dan logis saat dihadapkan pada beragam situasi. Pola pikir kritis diperlukan sebagai investasi jangka panjang karena kelak anak akan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.

3.      Mempersiapkan anak memasuki dunia pendidikan

Pendidikan literasi di usia dini juga membantu anak untuk mempersiapkan diri mereka ke dunia pendidikan. Ada banyak lembaga pendidikan yang bisa ditempuh mulai dari sekolah formal, informal, hingga pendidikan nonformal. Pada saat anak memasuki dunia pendidikan, kemampuan sosioemosional anak akan berkembang. Bukan hanya itu, aspek kognitif, bahasa dan literasi akan mendukung proses belajar anak. Tahapan literasi awal yang meliputi kemampuan bahasa lisan dan tulisan serta pengetahuan terkait angka dan huruf juga menjadi pondasi kokoh bagi mereka sebelum mempelajari ilmu pengetahuan yang lain.

Saat ini banyak orang tua yang mengharapkan kemampuan literasi seperti membaca, menulis dan berhitung dibentuk secara instan melalui bangku sekolah. Padahal kemampuan tersebut bisa distimulasi sejak awal melalui kegiatan sederhana di rumah.

Tak Ada Salahnya Mengajarkan Seni Sedari Dini Pada Anak, Ada Banyak Dampak Positif

Tak Ada Salahnya Mengajarkan Seni Sedari Dini Pada Anak, Ada Banyak Dampak Positif

Mungkin beberapa orang dewasa menganggap jika seni sebagai bagian dari bakat. Padahal seni merupakan bagian dari proses tumbuh kembang anak. Beberapa anak mungkin memiliki kelebihan dalam bidang kesenian, akan tetapi bakat itu juga perlu diasah kembali. Sebab, meskipun anak memiliki bakat seni namun jika hal itu tidak asah, maka perlahan bakat tersebut akan menumpul.

Aktivitas kesenian juga memiliki manfaat terapeutik atau penyembuhan untuk beberapa gangguan psikologis pada anak. Kegiatan seni merupakan kegiatan yang penuh kreativitas, sehingga hal ini dapat melepaskan energi dan emosi negatif pada anak.

Ada banyak dampak positif yang dimiliki anak jika mereka belajar kesenian sedari dini, di antaranya adalah:

1.      Mengenal beragam warna dan bentuk

Mengajarkan anak tentang seni yang paling dasar yakni menggambar, tenyata akan membuatnya mengenal lebih banyak bentuk dan warna. Anak akan mengenal warna-warna dari kerayon yang dimiliki seperti hitam, biru, merah, kuning, dan lain sebagainya. Selain warna anak juga bisa mengenal dengan berbagai bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, persegi dan lain-lain.

2.      Mengembangkan kemampuan motorik

Menggambar bukan hanya sekadar mencorat-coret saja. Aktivitas ini ternyata dapat mengembangkan kemampuan motorik anak, awalnya mereka akan menggerakan tangan untuk membuat coretan yang tidak jelas. Kemudian mereka mampu mengontrol gerakan tanganya sendiri sehingga mebuat sketsa gambar yang lebih rapi. Kemampuan motorik anak perlahan akan terasah dengan baik seiring ia berlatih.

3.      Kreativitas anak berkembang

Dengan melihat benda-benda seni yang unik anak akan merasa penasaran dan terpancing kreativitasnya. Saat kondisi ini terjadi sebaiknya anda membebaskan anak untuk berkreasi.

4.      Belajar disiplin dengan memahami peraturan

Saat anak mulai menekuni sesuatu tentu banyak waktu yang dihabiskan untuk melakukan hal itu, termasuk belajar kesenian. Pada saat itu, tugas anda adalah membuat peraturan agar kegiatan lain tidak terganggu. Peraturan tidak harus ketat, anda bisa membuatnya lebih fleksibel, agar anak merasa tidak tertekan.

5.      Menumbuhkan rasa percaya diri sejak kecil

Kegiatan seni baik itu, menggambar, prakarya, menari, atau berperan perlahan akan menumbuhkan rasa bangga anak terhadap dirinya sendiri. Apalagi jika hasil karyanya mendapatkan apresiasi yang baik dari lingkungan sekitar. Anda juga bisa meminta anak untuk membuat karya seni yang diperuntukkan orang lain seperti kakek, nenek, tante, kakak, atau lainnya.

6.      Belajar fokus pada apa yang dilakukan

Terkadang anak sering kehilangan fokusnya. Mereka bisa saja berpindah fokus dalam waktu yang singkat atau terganggu oleh hal tertentu seperti ajakan bermain, menonton TV, video game, dan lain sebagainya. Namun saat anak membuat karya seni mereka akan lebih tenang dan fokus saat melakukan hal itu sampai selesai.

7.      Belajar berkomunikasi dengan lancar

Umumnya orangtua hanya memberikan instruksi atau pertanyaan yang standar seperti “Sudah makan?”, “Sudah mandi?”

Pertanyaan tersebut tentu hanya ada dua jawaban yakni iya dan belum. Tentu berbeda jika anak belajar kesenian, anda bisa menanyakan “Apa yang ingin kamu gambar?”, kemudian anak akan menjawab panjang sambil bercerita. Dengan ini, anak akan belajar berkomunikasi dengan baik.

8.      Menyalurkan emosi negatif secara positif

Banyak anak yang tidak bisa memahami bentuk-bentuk emosi, sehingga mereka sering bingung sendiri dengan apa yang dirasakannya. Sayangnya banyak orangtua yang cenderung membiarkan. Salah satu dampak positif yang didapat dari belajar kesenian adalah anak dapat menyalurkan emosi negatif dalam dirinya melalui gambar seperti sedih, marah, ataupun kesal.

Banyak orangtua yang konsen terhadap pembelajaran akademik, namun mengabaikan minat dan kreativitas anak. Belajar seni sejak dini merupakan satu langkah awal untuk mengembangkan kemampuan anak dalam berbagai bidang lainnya. Sehingga sebaiknya tidak diabaikan begitu saja.

The Social Dilemma & Factfulness

Mari kita diskusikan hubungan antara film dokumenter disertai drama The Social Dilemma (Netflix, 2020) dengan buku Factfulness (Hans Rosling, 2018). Hubungan keseimbangan antara ketakutan dengan harapan.

The Social Dilemma

menceritakan bahayanya perubahan yang sangat kecil dari dunia internet sekarang ini, baik itu Google, Facebook, Instagram, dllnya … dengan cara yang sangat halus, pelan … tetapi menghanyutkan. Para developer di perusahaan-perusahaan besar tersebut mengingatkan akan bahayanya layanan yang telah mereka bangun sendiri. Kita telah salah tangkap, mengira yang mereka buat adalah sebuah layanan bagi kita, padahal sebenarnya tanpa kita sadari, perilaku kita berubah mengikuti yang mereka mau.

Fenomena Bumi Datar

Salah satu contoh menarik dari cara bekerjanya algoritma media sosial adalah fenomena tentang bumi datar. Ketika seseorang baru pertama kali ingin mencari tahu tentang isu bumi datar atau tidak, maka dia akan disuguhkan dengan beragam informasi, baik yang mendukung atau pun tidak. Jika kita lakukan search di Google, maka yang muncul paling atas adalah yang paling banyak diklik dan dibaca. Dan itu tidak bermakna bahwa yang paling atas adalah yang paling benar. Kenapa begitu? Karena bagi algoritma medsos, bukan benar salahnya, tetapi seberapa banyak yang telah mengklik dan membaca. Hal ini berkaitan dengan dunia bisnis, pengiklan. Pengiklan akan memberikan insentif finansial kepada situs yang paling banyak dibaca. Karena targetnya adalah jumlah.

Lantas, setelah itu, algoritma pada saat bersamaan juga akan mencatat, kecenderungan dari pembaca pertama tadi. Situs mana saja yang lebih banyak dibaca, pengikut bumi datar atau penentangnya.

Jika yang dibaca lebih banyak di bagian pengikut bumi datar, maka pencarian berikutnya akan diarahkan kepada situs-situs yang mendukungnya. Yang secara lambat laun, si pembaca digiring, seolah-olah kecenderungannya mendapatkan pembenaran. Dan opini ini terus akan dibangun untuk semakin menguatkan bahwa medsos memang dibutuhkan oleh pembaca tersebut untuk mendapatkan info tentang bumi datar. Secara tidak sadar, pembaca secara pelan tapi pasti, dia telah terperangkap oleh algoritma medsos dan menjadi kecanduan akan informasinya.

Bagaimana dengan pembaca lain yang punya kecenderungan menentangnya? Dia juga akan mendapatkan info hal lain yang mendukung kecenderungannya tersebut. Sehingga, seolah dia juga mendapatkan pembenaran akan kecenderungannya tersebut.

Walhasil, keduanya akan merasa benar dan mendapatkan pembenaran. Keduanya telah terperangkap oleh algoritma artifisial intelijen yang mereka ciptakan. Dan sekarang, pembaca bukan lagi sebagai pencari informasi, tetapi telah menjadi produk, yang dijual kepada pemasang iklan.

Itu hanya salah satu contoh saja. Sudut pandang lain tentang film tersebut telah banyak ditulis, salah satu review yang cukup bagus ditulis oleh Bernadetta Yucki dan bisa dibaca di tautan berikut.

Factfulness

mengajak kita melihat kenyataan bahwa dunia tidak seburuk yang kita sangka. Informasi yang sampai kepada kita, terlalu bias, krn kita tidak pernah mau menyediakan waktu sebentar saja untuk menganalisa dengan jernih. Kita hanya follow the crowd. Sadarkah kita dengan hal ini?

Afrika Adalah Negara Miskin

Seolah-olah telah menjadi takdirnya bahwa Afrika selamanya akan miskin dan terbelakang. Tapi seringnya, opini ini terbentuk atas dasar perasaan saja.

Padahal kenyataannya, harapan hidup orang Afrika lebih dari 72 tahun. Sementara rata-rata harapan hidup dunia hanya 72 tahun, di bawah orang Afrika. Mereka telah mengembangkan pendidikan, ketersediaan listrik, air dan sanitasi yang semakin baik. Penurunan tingkat kematian bayi menurun lebih cepat dibandingkan Swedia. Lantas, kenapa semua itu tidak pernah dilihat sebagai perkembangan yang luar biasa?

90 tahun yang lalu, Swedia juga miskin. 50 tahun yang lalu, China, India, Korea Selatan dalam kondisi jauh lebih buruk dari Afrika saat ini.

Tapi orang cenderung tidak mau melihat kenyataan akan adanya perubahan. Padahal, perubahan yang kelihatannya pelan, tidak berarti tidak ada perubahan sama sekali. Tahukah bahwa 1 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda setelah 70 tahun. Dan 2 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda dalam 35 tahun. Kemudian 3 persen perubahan setiap tahunnya, akan menjadi berlipat ganda hanya dalam 24 tahun. Sekecil apapun perubahan itu, akan berdampak besar.

Orang cenderung melihat kondisi saat ini saja, dan tidak mau melihat proses perkembangannya. Sehingga mereka sering terkaget-kaget ketika 20 tahun kemudian, masyarakatnya mundur, dan sebaliknya, masyarakat lain semakin maju.

Banyak contoh dari data yang valid dihadirkan, untuk melihat kondisi dan perekembangan sebuah masyarakat dengan nyata, buka sekedar perasaan saja. Salah satu review menarik dari sudut pandang yang lain lagi, ditulis oleh Bagja Hidayat dan bisa dibaca di tautan berikut. Dan ebook yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tersedia di Gramedia di tautan berikut.

Bagaimana Kita Menyikapinya?

Film dokumenter tersebut menjadikan kita ngeri melihat pesatnya perkembangan zaman. Di lain pihak, buku factfulness justru memberikan kita gambaran akan dunia yang lebih baik dari yang kita takutkan selama ini.

Lantas, apakah info di atas menjadikan kita tambah galau, bingung atau justru kita bisa mengambil tindakan dengan lebih rasional lagi? Sebagai manusia sosial, kita perlu menyeimbangkan antara ketakutan dengan harapan. Untuk menyeimbangkan keduanya, kadang kita butuh teman berdiskusi dan saling mengisi, saling memberi ketika kita sudah melangkah mengambil keputusan.

Di situlah letak pentingnya kita
bergotong royong
saling menguatkan,
saling mengingatkan,
saling meringankan.

form pendaftaran PBx

Suffer Now & Live the Rest of Your Life as a Champion

Muhammad Ali’s 10 Rules for Success

1. Think differently

My thinking is so superior, my knowledge is so positive, my logic is so wise. I can see high and see farther than you.

2. Have confidence

He didn’t knock me out. He could hit hard, but he couldn’t find nothin’ to hit. I’m so fast, so hard to hit, so scientific.

3. Defy the rules

I don’t pay no attention to what they say about me. All I do is just do what I have to do. I don’t pay no attention to rules of boxing, I defy all the rules. And I’ve added pages and new sections to the book of boxing.

4. Stick to your game plan

I didn’t dance for a reason, I wanted to make him lose all his power. When I stay on the ropes, you think I’m doin’ bad? Stay on the ropes is a beautiful thing with heavyweight, when you make him shoot his best shots.

5. Have a bigger vision

Boxing is just a stepping stone to introduce me to the audience. like when I speak, I draw people in the States, to draw my people, teach ’em various things, which ‘ll give ’em dignity, pride, and self-help. And go for self, or help the ghetto, and help the dope, prostitution problem, the juvenilles. I use my image to help, or do all I can to stop a lot of trouble among our own people, fightin’ and killin’ each other.

So boxing is just going for to be another year, though my main fight is for freedom and equality.

6. Be prepared to handle anything

So I just had everything ready. Now, after the first round, and bein’ here, able to talk professional, a man so great, had so many knocks-out, never been defeated, never been even scratched. I didn’t know really how good he was. So I had to come in, actually a little nervous, and with everything ready, after one round dancin’, I’d found out that this would tire me out. So I would have resort to ropes. I figured that out that after the first round, So I said I’m going to go to these ropes.

And I’mma let this man through everthing he can, let him tire himself out. He might look like he’s winnin’. And if he don’t hurt me, I’mma stay here. Now after I found out he didn’t have it, I stayed there.

7. Show good sportsmanship

And it’s really silly when you think about fightin’. I look at other fighthers fight and I say I must be a fool. Here are two men like two roosters, you all know them cockfights. They took two roosters, and they put ‘em out, and they put knives on ‘em. And the roosters are fightin’ each other, and they’re not even mad, don’t know each other. And just to please somebody.

And here are two men in the ring, fightin’ each other and they’re hittin’ each other, and they bleed, and they’re fightin’. What they mad about? They’re not mad about nothin’. Just a bunch of agitatin’, bloodthirsty people. Sayin’ you can whoop him, he can whoop him, my man can whoop your man. Alright. You all get in there and fight.

Humans should have more sense than that. And you’re sittin’ out there, dressed up, drinkin’ your beer and they just fightin’ and just … and this is serious. The nose’ll bleed and the eyes cut, the teeth is out, and the brain, they might have a concussion, just to please you human beings. It’s real savage.

And I said, I’m not gon’ be that kind of fighter. I’m going to dance, and be pretty. I’m just gon’ win on points. And if I hurt my man, I’m going to let him go. I’m not going to kill him, just because somebody’s watchin’.

8. Be determined

I fought Ken Norton. My last fight, the fights was even, up until the last round. But I had somethin’ that he didn’t have, although I’m much older. And that was the last minute kick. The mental capacity to realize what’s involved and how important it is, and make it about to do somethin’ that’s really too tired to do. Your mind makes you do it.

Mark Spits, this olympic track star I was mentionin’, he wasn’t that much greater than all the people in the world. But sometimes he won by just that much. And the champion is just one who can come out at the last minute and close the show. As they say, the star closes the show.

A 14, 15 round fight, and it’s even, and usually this champion, you can depend on him, to come through at the last two seconds, and find some initiative from somewhere.

Not only that (discipline), it’s mental and physical. His body’s in physical shape to do it. Plus mentally too. He’s got his self in condition, where both fellas may be, sometimes, the will can outdo the skill.

And, sometimes, the fella’s will is stronger than the man who’s actually better physically. And the determination weakens the other man, just to see him so determined.

9. Outsmart your competition

I really do be angry. I have to psych myself up. I put myself on spots. It actually puts fear into your opponent. George Foreman. Just before the fight, I’m lookin’ at him when the man’s givin’ us instructions. I said, sucka, you are in trouble tonight. You are fightin’ the greatest fighter for all times. I’m fast sucka. I’m going to burn you up. I said, you’re meetin’ your master, your idol.

I talked through the whole fight. I said come on sucka. I said, show me somethin’. They told me you could hit hard. You’re just a sissy. Come on sucka, show me somethin’. Come on , you can do better than that, George. Look at you, round seven and you’re tired.

10. Be charismatic

I was told that it’s a big honor to be invited to speak at a place like Harvard. I’m trying to be serious, but you want to make me laugh anyway. I understand that out of people, such as you all, come presidents, and governors, and mayors, and great doctors, and physicians, and scientists, and everything. So I say, well to get somethin’ together, to talk to these people, it’s got to be pretty heavy.

If you had told I’d be offered a professorship to teach philosophy, and poetry at Oxford, and speakin’ at Harvard. Man, I never would’ve believed it. So I’m really humble, and I’m thankful, to be here at such a high of learnin’.

And now, I’m just a boxer. But most boxers can’t even talk. You couldn’t invite Joe Frazier or George Foreman.

… and this is the Ali shuffle …

I don’t count my sit ups
I only count them when it hurts
because these are the ones that count

Music as a Language

Seperti Bayi Belajar Berkata

Victor Wooten menggambarkan proses belajar musik dengan cara yang sama seperti kita mempelajari bahasa pertama kita, menyerukan pendekatan yang lebih alami dan tidak terlalu akademis.

Ketika saya masih kecil, saya tidak merasa saya sedang diajari musik. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa musik itu adalah bahasa. Sama seperti mendapatkan bahasa pertama kita. Pernahkah kita berpikir, bagaimana kita mempelajarinya? Dan kita dapati bahwa sebenarnya kita tidak pernah diajarkan tentang itu. Mereka hanya berbicara dan mereka memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara kembali.

Tapi dalam beberapa kesempatan lain, seorang pemula tidak diperbolehkan untuk bermain dengan musisi yang lebih baik. Tetap di kelas pemula untuk beberapa tahun, kemudian naik ke tingkat menengah dan atas. Setelah lulus pun, masih banyak hal yang perlu dilakukan lagi.

Tapi, kalau kita perlakukan musik ini sebagai bahasa, bahkan anak bayi bisa “jamming” dengan musisi profesional.

Dia menegaskan bahwa, saat kita bayi, sebenarnya kita tidak diajari apa bahasa pertama kita. Atau dikoreksi ketika kita membuat kesalahan. Kita bahkan tidak tahu kalau kita adalah pemula dan harus bermain dengan orang-orang yang jauh lebih baik daripada kita.

Musikalitas Terlebih Dahulu

Wooten menceritakan pengalaman pendidikan musik yang dialaminya sendiri, terutama saat masih kecil, sebagai contoh bagaimana pendekatan seperti ini dapat memberikan hasil yang luar biasa.

Bagaimana lingkungan dia (terutama kakak pertamanya) secara cerdas tidak mengajarinya, tetapi bermain musik bersama. Dia tidak memulai dengan meletakkan bass di tangannya. Yang pertama dia lakukan adakah memainkan musik di sekitarku. Dan meletakkan wind-up guitar di kursi dan tidak ada yang mengatakan bahwa itu untuknya. Seperti halnya tidak ada orang yang mengatakan kapan saatnya kita berbicara.

Namun dalam beberapa kasus, guru musik mengajarkan bagaimana memainkan alat musik, sebelum anak tersebut mengalami nuansa musik.

Padahal kita tidak pernah mengajari anak bagaimana cara mengeja sebuah kata, misalkan mengeja “susu”, sebelum anak tersebut telah meminumnya selama beberapa tahun.

Seperti halnya kita tidak mempermasalahkan bagaimana mekanisme bibir kita bergerak, tetapi “apa yang telah kita katakan”.

Saya dibesarkan dalam lingkungan bagaimana bermusik, bukan bagaimana memainkan alat musik.

Pelajaran Dari Bermusik

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari bermusik. Karena untuk menjadi musisi, musti banyak mendengar. Ketika jamming, kita mendengarkan satu sama lainnya. Mendengar adalah kunci bermusik.

Musik adalah gaya hidup yang sehat.

 

catatan:
Victor Wooten adalah inovator, komposer, arranger, produser, vokalis, dan multiinstrumentalis. Dia disebut sebagai pemain bass terbaik di dunia. Dia adalah seorang naturalis dan guru yang terampil, penulis, pesulap, suami dan ayah dari empat anak, dan pemenang penghargaan Grammy lima kali.

Don’t Read This Book

Buku cetakan ke-4 thn 2018, dimana pertama kali terbit tahun 2016 di Amsterdam Netherlands ini, sangat menarik untuk dibaca bagi generasi Z. Generasi yang serba cepat mendapatkan, cepat berubah dan cepat bosan (seringnya begitu). Keserbacepatan ini membelenggu mereka dan hanya cintalah yang akan membebaskan mereka dari belenggu zaman ini.

 

Buku ini bisa dibeli di Amazon atau di Tokopedia

Belajar Menahan Diri

Makanlah seperlunya.
Tidak semua yang tersedia
musti habis untuk dirinya.
Ingatlah teman lainnya.

Perut ada batasnya.
Butuh ruang antara.
Berjejal, sumpek jadi susah mencerna.
Bukan sehat, nanti jatuh sakit jadinya.

Kalau terlalu sering mencerna,
kapan kerjanya.

Nafsu perlu terkendali.
Belajarlah menahan diri.

Read more

Kesenian Yang Berdampak

Dengan semangat berangkat dari yang mampu , anak-anak mulai berlatih menggambarkan pesan yang akan disampaikan, yang sebenarnya berisi sebuah cerita dari kejadian yang ada di sekitarnya. Dengan begitu mereka melatih kepedulian dari konteks kejadian.

Misal: mengatur sandal dengan rapi, makan jangan berlebihan, berjalanlah dengan sadar, parkir sepeda yang benar, belajar menahan diri, dsbnya.

Kak Kliwon dan Mas Wegig mendampingi proses belajar anak-anak ini. Semua usia dan kemampuan berada dalam kelas yang sama, karena kami dan anak-anak berlatih saling menghargai proses teman lainnya. Kita menghargai ide-ide asli mereka.

Setelah itu, mereka bisa menceritakan kembali gambarnya.

Dari sinilah kakak-kakak pendamping belajar dari anak-anak tentang kepedulian. kemudian kepedulian dan ide dari gambar anak-anak tersebut diterjemahkan lagi oleh kak Kliwon dan mas Wegig menjadi gambar seperti yang telah kita kirim sebelum-sebelumnya itu.

Di awal, kakak menjadi guru, tetapi kemudian kakak berguru kepada murid untuk kepedulian dan idenya.

Dan ternyata karya anak dan pendamping ini berdampak dalam keseharian mereka.

Mereka merasa dihargai, saling peduli dan saling menasehati.

Makan Bersama

Antri dan mengambil makan seperlunya saat makan bersama dengan memperhatikan teman lain adalah awal dari belajar kepedulian dan keadilan.

Tuhan ciptakan alam penuh dengan keseimbangan. Sumber daya yang ada telah dan akan selalu mencukupi penghuninya, selama mereka bisa berbagi dengan adil dan memperhatikan kebutuhan lainnya.

bumi mampu memenuhi setiap kebutuhan manusia, tetapi tidak akan mencukupi keserakahan manusia
(Mahatma Gandhi)

Tetapi jika hanya memikirkan kepentingan, kebutuhan, kesenangan dan kepuasannya sendiri … dunia yang luas inipun tidak pernah akan mencukupinya.

Awal dari kedholiman adalah berebut, baik dengan kaki, tangan bahkan parang. Mulailah untuk tidak saling rebut makanan, karena bisa jadi awal dari sebuah keserakahan.