Mengamati Diri, Memindai Masa Depan

Ketika kita membicarakan pendidikan masa depan, apa yang kamu bayangkan? Kelas-kelas yang didukung dengan fasilitas teknologi canggih? Konten-konten pembelajaran dengan ilmu global dan berbahasa internasional? Atau justru, kamu membayangkan murid-murid di masa depan? Bagaimana pola pikir dan laku mereka? Apa saja tantangan yang akan mereka hadapi? Seperti apa ekosistem mereka belajar?

Apapun yang kita bayangkan, bisa jadi benar. Tapi pertanyaan yang paling penting untuk kita tanyakan, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk pendidikan masa depan? Kata kuncinya adalah: DIRI. Kesadaran kita untuk melihat dan memahami ke “dalam” lebih dalam sebelum bertransformasi.

Dalam buku “Theory U: Leading from the Future as It Emerges” oleh Otto Scharmer, ada sebuah model pemikiran dari Brian Arthur, seorang Economist, untuk membantu kita memahami proses transformasi diri maupun organisasi. Model ini dapat pula dipakai dalam konteks pendidikan.

Observasi. Proses mengamati, mendengar, dan merasakan ke dalam diri untuk menemukan dan membangkitkan potensi terbaik kita. Semakin lihai kita dalam mengobservasi diri, semakin peka juga kita pada sekitar, terutama dalam memahami murid-murid kita. Contoh paling mudah untuk melatih keterampilan observasi adalah mengamati emosi yang hadir. Saat marah pada murid misalnya. Apakah ada emosi lain yang lebih dalam seperti kekecewaan karena punya ekspektasi yang tidak sesuai realita? Seperti apa rasanya? Apa yang saya lihat dari murid tersebut yang memancing kemarahan saya? Apa yang tidak saya lihat? Keterampilan ini merupakan kunci dari proses transformasi.

Refleksi. Mengendapkan dan merenungkan temuan dari proses observasi tadi. Apakah ada keyakinan dan pandangan yang saya miliki yang menghambat proses memahami diri juga anak murid? Apa saja asumsi yang saya sadari? Bagaimana saya mengubah paradigma lama agar bisa melihat potensi yang selama ini tak saya sadari? Pertanyaan-pertanyaan refleksi ini bisa kita tanyakan pada diri sebelum kita bereaksi dan merespon suatu tindakan. Proses pengendapan dan perenungan ini seringkali memunculkan kesadaran baru terkait apa yang selama ini terpendam dalam diri.

Aksi. Setelah proses observasi dan refleksi, langkah terakhir adalah tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan transformasi. Dalam prosesnya, kita akan dihadapkan pada ketidakpastian, ambiguitas tinggi, dan rentan gagal. Maka dari itu, butuh keterbukaan untuk merangkul berbagai kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya dan terus mencoba hal-hal yang mustahil. Tentunya, hal ini tidak akan bisa terlaksana tanpa proses mengamati diri dan keberanian mempertanyakan apakah asumsi yang saya miliki selama ini masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan masa depan?

Pada intinya, untuk dapat memindai masa depan, hal paling penting dan mendasar yang perlu kita lakukan adalah mengamati diri. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Shane Parrish:

Empati, Upaya “Menembus” Dinding

Dalam teori Fisika, ada Hukum Newton 3 tentang Aksi Reaksi yang berbunyi:

“Jika suatu benda mendapatkan gaya, maka benda tersebut akan memberikan kekuatan yang sama besar terhadap sumber gaya tersebut secara berlawanan.”

Contoh paling sederhananya, bila kita mendorong dinding (aksi), dinding tersebut akan berbalik mendorong kita (reaksi).

Apabila kita memandang sebuah masalah seperti menghadapi dinding, beberapa orang terus mendorong bahkan menabrak dinding sampai kelelahan sendiri. Beberapa lainnya, memutuskan menyerah dan berbalik arah.

Dua respon ini merupakan reaksi fight or flight. Wajar saja, karena merupakan insting purba manusia untuk bertahan hidup saat terancam bahaya. Namun, pernahkah kita berpikir solusi alternatif? Bagaimana ya caranya “menembus” dinding?

Kita ambil contoh seorang guru bahasa Indonesia bernama Bela. Selama ini, bahasa Indonesia dianggap membosankan dan tidak penting karena setiap hari juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Memahami tantangan ini, Bela ingin mengubah perspektif bahwa bahasa Indonesia itu menyenangkan. Kalau ia memaksakan pembelajaran text book pada mereka, bisa saja para murid makin merasa bahasa Indonesia membosankan. Semakin ia memaksa, pembelajaran akan semakin jauh dari kata menyenangkan. Semakin melelahkan karena hanya berusaha mendorong dinding. Persis seperti Hukum Aksi Reaksi Newton 3.

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya “menembus” dinding, jawabannya adalah dengan berempati. Pertanyaan berikutnya, bagaimana ya caranya Ani berempati?

  • Pertama, mencoba memahami apa yang murid tersebut pikirkan dan rasakan. Apa ya yang disukai anak-anak? Apa yang jadi tren saat ini? Apa istilah-istilah kekinian yang digunakan supaya bisa masuk ke dunia mereka?
  • Kedua, cari berbagai alternatif pembelajaran seru seperti menonton film, mendengar lagu, menyanyi bersama, main games, dan sebagainya. Kenali apa yang menjadi kesukaan mereka agar belajar terasa lebih menyenangkan.
  • Ketiga, rayakan tiap perkembangan. Dengan mengapresiasi tiap milestones dalam proses belajar, mereka akan menyadari sejauh mana mereka berkembang. Selain itu, bisa memacu semangat agar terus menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak lagi tips lainnya. Namun pada intinya, lakukan secara perlahan dan bertahap. Dinding dalam proses belajar terkadang tak terlihat, tapi kita selalu punya pilihan. Menabrak, menghindar, atau menembus, semua tergantung kita menyikapi.

Quantum Leap, Sebuah “Lompatan” Potensi

Marvel Multiverse

Apakah kamu pernah mendengar istilah Quantum Leap? Yuk kita kenalan dengan istilah ini!

 

 

 

Tentang Quantum Leap

Quantum Leap merupakan “lompatan” yang membuat manusia mencapai potensinya secara optimal.

Kalau dalam bayanganmu lompatan itu seperti atlet yang melewati halang rintang, Quantum Leap berbeda. “Lompatan”-nya lebih menyerupai gelombang yang menembus suatu batas. Mungkin terdengar membingungkan. Untuk memudahkan, analoginya seperti ini. Bayangkan seseorang yang dalam 2 minggu bisa membuat desain 3D. Padahal, dia belum pernah pegang laptop sebelumnya. Atau seseorang dalam seminggu bisa berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan sampai dapat pasangan. Padahal, sebelumnya dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.

Quantum Leap Wave

Selain itu, Quantum Leap juga bersifat probabilitas. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Makanya, momentum dalam Quantum Leap bisa saja datang tanpa diduga. Apabila kita tidak siap, kesempatan tersebut akan lewat begitu saja.

 

 

Contoh Quantum Leap

Kita ambil contoh Syama, seorang murid di Piwulang Becik yang terlihat pendiam di kelas. Namun, di sebuah pertunjukan drama di kelas, secara mengejutkan, banyak dialog yang diperankan Syama. Bela, guru bahasa Indonesia Syama, kaget dan tak menyangka bahwa ternyata memang selama ini Syama memperhatikan apa yang ia ajarkan. Hanya saja, ia tak banyak bicara.

Contoh lainnya, anggap saja bernama Zizi. Ia seorang difabel tuna netra yang punya keahlian di bidang musik. Saat mengajar di kelas online, Zizi dapat menghapal para muridnya hanya dari mendengar suaranya saja. Bela takjub dan terheran-heran, bagaimana Zizi bisa tau siapa saja muridnya tanpa melihat. Zizi pun tidak pernah terpikir sanggup mengajar musik.

Yang terjadi pada Syama maupun Zizi sebenarnya bukan tiba-tiba. Ada proses yang tidak terlihat.

Contohnya, bagaimana Bela memancing perlahan agar Syama berani berbicara melalui pendekatan personal, bagaimana ia pun kerap bertanya pada orang tua Syama. Apakah anaknya diam karena takut atau memang pendiam? Apakah anaknya menyukai pelajaran bahasa Indonesia? Orang tuanya bilang iya dan bilang bahwa di rumah, Syama sering cerita tentang kegiatannya.

Zizi pun demikian. Ia tidak langsung bisa lancar mengajar tapi karena terus-menerus dilakukan, lama-lama ia terampil. Keterbatasannya tak menghambat potensinya. Zizi bisa saja menolak menjadi pengajar. Namun, ia mengambil momentum untuk terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan, kalau baik Syama, Bela maupun Zizi tidak berhenti dan puas dengan “lompatan” yang terjadi, bisa jadi ada probabilitas terjadinya Quantum Leap di momentum lain dalam hidup mereka.

Pertanyaan untuk kita refleksikan bersama: apakah saat momentum tiba, kita sudah siap untuk menembus batas-batas nalar kita? Kalau pun belum siap, apakah kita berani memulai? Ataukah kita menyerah karena merasa batas tersebut mustahil ditembus?