Sekolah Asli Indonesia: Pendidikan Ala Nenek Moyang

Jauh sebelum dijajah Negara Barat, Indonesia sudah memiliki institusi pendidikan sekolah. Sekolah “Asli” Indonesia ini bisa ditelusuri melalui relief candi, sastra kuno, serta prasasti. Salah satunya tercatat pada Prasasti Papringan pada tahun 880 Masehi di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang dibuat pada masa Mataram Kuno. 

Sekolah “Asli” Indonesia ini lebih menitikberatkan pengajarannya pada pembentukan karakter melalui falsafah keagamaan. Usia muridnya pun sangat beragam. Ini berbeda dengan sekolah ala Barat yang biasanya homogen atau memiliki jenjang usia yang sama.

Dari literatur, ada empat jenis Sekolah “Asli” Indonesia. Bentuk pertama adalah padepokan. Sistem ini dijalankan penganut agama Kapitayan, agama Nusantara pra Hindu-Budha. Ilmu yang diajarkan mulai dari filsafat hidup, ilmu bela diri, kesusastraan hingga ilmu pemerintahan. Para murid biasanya tinggal dan belajar di padepokan tersebut. 

Jenis kedua adalah Asrama. Sekolah ini dimiliki penganut agama Budha. Siswa akan belajar dan tinggal bersama gurunya, mempelajari agama Budha.

Salah satu asrama atau sekolah Budha terbesar di Indonesia adalah komplek Candi Muaro Jambi di Jambi, yang konon mampu menampung ribuan siswa. Sebagian dari siswa internasionalnya akan melanjutkan pelajaran Budha ke Nalanda, Srilangka.

Bentuk sekolah ketiga adalah Dukuh atau Pedukuhan. Sekolah ini dijalankan oleh penganut agama Hindu Siwa. Sekolah seperti ini sudah berjalan sejak zaman Majapahit. Sayangnya, bentuk sekolah dari nomor satu hingga tiga kini telah hilang ditelan zaman karena masyarakat pendukungnya sudah tidak ada.

Bentuk sekolah terakhir dan masih bertahan hingga sekarang adalah pesantren. Sekolah ini dijalankan oleh umat Islam Indonesia. Para murid yang disebut santri biasanya akan tinggal dan belajar dalam pondok pesantren milik para kyai. Metode pengajaran di pesantren adalah sorogan, bandungan atau halaqoh serta weton atau wetonan. Pada zaman sekarang, sebagian pesantren kini telah mengadopsi sistem pendidikan modern ala Barat. 

Nah, Sahabat Becik. Sekolah “Asli ” Indonesia ini sebenarnya tidak kalah hebat daripada sekolah modern ala Barat. Contohnya saja pesantren. Mereka telah teruji dan relevan selama ratusan tahun sehingga masih bertahan hingga hari ini.

Ekosistem untuk Akselerasi Bakat

Jika pada tulisan sebelumnya kita mengulas tentang Myelin dalam konteks diri, pada tulisan kali ini kita akan melihat Myelin dalam konteks ekosistem. Bagaimana sebenarnya Myelin dapat makin menebal dalam kondisi tertentu? Apakah cukup dengan latihan?

Daniel Coyle, penulis buku Talent Code, menjelaskan bahwa kunci seorang juara dunia adalah berkat tempaan lingkungan yang tepat.  Ada fakta menarik tentang sebuah klub tenis Rusia yang berhasil mencetak petenis-petenis terbaik meski dengan fasilitas seadanya. Prestasi ini tidak pernah dihasilkan oleh klub tenis manapun di seluruh Amerika Serikat.

Apa rahasianya? Ternyata, bagaimana mereka dilatih menjadi faktor penentu yang membedakan dengan klub tenis lainnya. Atlet-atlet tersebut menjadi unggul karena sentuhan pelatih yang menciptakan program latihan yang berat untuk mengoptimalkan potensi seperti yang pernah dibahas dalam tulisan mengenai Quantum Leap.

Contoh di Lingkungan Piwulang Becik

Di lingkungan Piwulang Becik, dikenal istilah mentoring yang memang dirancang untuk melatih Myelin tersebut. Mentor bagi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Ratih, salah seorang orang tua murid, menceritakan pengalamannya selama 4 tahun terakhir di Piwulang Becik. “Dulu, kita selaku orang tua diminta untuk membuat portofolio yang sekarang jadi activity log. Kalau di sekolah, guru yang nulis rapor, di sini orang tua harus bisa bekerjasama dengan anak untuk menulis portofolio.”

Meski tanggung jawab orang tua jadi lebih berat, berkat portofolio, banyak perkembangan yang sekilas terlihat kecil namun terasa berharga. Contohnya, saat anaknya yang berusia 5 tahun berhasil pakai sepatu, kancing baju, dan menguncir rambutnya sendiri. Ia catat semua dalam portofolio.

Tak cuma portofolio. Proses ia mendampingi, mendukung, dan menemukan passion anak juga merupakan tantangan tersendiri. Ia mengaku kesulitan saat mendorong anaknya lebih aktif di kelas, padahal anaknya sendiri yang memilih kelas-kelas Student Club yang ingin dihadiri. Namun seiring berjalannya waktu, mulai terlihat minat anak kecenderungannya ke mana. “Anakku ikut beberapa Student Club, tapi kelas yang dia nggak pernah skip itu Student Club memasak. Dia siapin sendiri bahan-bahannya dan aktif partisipasi di kelas. Saya lega banget akhirnya ketemu juga passion-nya. Walaupun nanti akan berubah, gapapa. Yang penting sekarang paling tidak dia sudah bisa ambil keputusan, sudah tahu kalau nggak ngerti harus nanya,” ujarnya antusias.

Selain bertanggung jawab terhadap anak sendiri, Ratih juga bertanggung jawab pada anak-anak lain dalam mengajar Student Club bahasa Inggris. “Ternyata lebih sabar ngajar anak orang lain ketimbang anak sendiri. Karena kalau anak sendiri tuh punya standar. Ekspektasinya terlalu tinggi kadang-kadang. Padahal kalau dipikir-pikir, dia kan baru 11 tahun. Harapannya udah begitu-begini. Nggak apple to apple lah kalau dibandingin sama diri sendiri di umur segini. Tapi jadi lebih aware. Bandinginnya sama dia 1 tahun yang lalu, 1 bulan yang lalu, dan seterusnya.”

Cerita Ratih tentang pengalamannya selama di Piwulang Becik ini menjadi contoh bagaimana sebetulnya ekosistem belajar yang kondusif di tengah banyaknya himpitan dan tantangan ternyata dapat mempercepat terjadinya penebalan Myelin dan membangun awareness. Tanpa stimulasi lingkungan, minat dan bakat anak tak akan cukup untuk terakselerasi secara optimal.

Seperti kutipan yang terkenal:

“Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.”

Myelin, Kunci Transformasi Diri

Seringkali orang tidak sadar bahwa sebuah kesuksesan tak hanya ditentukan oleh brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Berdasarkan penelitian, yang tidak kalah penting juga adalah muscle memory yang terbentuk dari latihan.

Tentang Myelin

Kalau brain memory terletak di otak dan menghasilkan hafalan teori dan konsep, muscle memory ini ada di seluruh jaringan otot kita dan menghasilkan refleks otomatis. Manusia membutuhkan keduanya, namun seringkali pendidikan kita lebih mengutamakan pada brain memory. Padahal, muscle memory juga tak kalah penting.

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan”, komponen muscle memory atau yang disebut myelin ini merupakan pembungkus jaringan sel-sel syaraf yang membawa sinyal yang sama berulang-ulang. Makin sering informasi diulang dalam Myelin, semakin tebal. Hal ini yang menjadi kunci dalam membentuk kebiasaan kita dan merupakan sumber talenta saat dilatih terus-menerus.

Contoh Myelin dalam Konteks Piwulang Becik

Di Piwulang Becik, proses pembelajaran banyak memanfaatkan fungsi Myelin. Salah satu contohnya adalah Hasan, seorang pengajar musik. Ia bercerita bahwa ia belajar bermain alat musik sejak SMP sampai sekarang. Mulai dari belajar otodidak dengan pinjam alat musik teman dan akhirnya diajari cara bermainnya, sampai bisa otomatis memainkan lagu tanpa tahu lagu tersebut sebelumnya.

Pernah suatu waktu, ia diminta bermain gitar dengan kunci yang diinstruksikan pemain kibor. Ternyata kuncinya salah, namun ia secara otomatis menyesuaikan hanya berdasarkan intuisi. Hal ini merupakan contoh muscle memory atau Myelin.

Hal menarik lainnya adalah saat biasanya ia mengajar offline namun ketika pandemi, ia harus mengalihkan seluruh pembelajaran menjadi online. Awal-awal pembiasaan rasanya sulit karena tidak familiar. Namun lama-kelamaan, berbagai masalah karena keterbatasan belajar online bisa teratasi. Salah satunya, dengan meminta murid mengirimkan karya yang kemudian dikurasi dan dibahas bersama di kelas.

Harus Tahu vs Ingin Tahu

Selain terkait pembelajaran di kelas, Hasan juga mengungkapkan contoh lain saat ia diminta menjelaskan mengenai Piwulang Becik kepada para orang tua. Berhubung  Myelin tak melulu berkaitan dengan keterampilan fisik tapi juga mindset dan mental, momen-momen seperti ini ternyata melatih Hasan untuk mengenali mana yang harus ia ketahui sebagai seorang koordinator dan mana yang berupa keinginan untuk tahu.

“Ibaratnya kita mau ke Bali. Kita harus tahu kan lewat jalan mana. Kalau nggak tahu ya cari tahu,” jelasnya. Saat ia diminta untuk menjelaskan Piwulang Becik kepada para orang tua, ia menyadari ia masih banyak hal yang ia belum tahu. Namun, tanpa mencoba terlebih dahulu, tak akan muncul keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut. Inilah latihan mental yang terus-menerus dilakukan sampai akhirnya terbentuk Myelin yang tebal sehingga secara otomatis ia bisa memilah dan memutuskan mana yang ia harus tahu sebagai seorang koordinator untuk kemudian disampaikan pada para orang tua.

Takut Salah vs Berani Melangkah

Berhubungan dengan latihan mental, ia juga menyebutkan bahwa saat memulai hal baru, refleks selama ini adalah takut salah. Namun, ia melatih dirinya untuk mengubah mindset. “Grogi dan takut salah itu wajar. Yang penting, kita tetap berani untuk melangkah,” tambahnya. Mindset ini penting agar kita bisa terbuka akan hal-hal baru dan mau terus belajar dari kesalahan.

Mengutip kata-kata Nelson Mandela:

“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”

Mengamati Diri, Memindai Masa Depan

Ketika kita membicarakan pendidikan masa depan, apa yang kamu bayangkan? Kelas-kelas yang didukung dengan fasilitas teknologi canggih? Konten-konten pembelajaran dengan ilmu global dan berbahasa internasional? Atau justru, kamu membayangkan murid-murid di masa depan? Bagaimana pola pikir dan laku mereka? Apa saja tantangan yang akan mereka hadapi? Seperti apa ekosistem mereka belajar?

Apapun yang kita bayangkan, bisa jadi benar. Tapi pertanyaan yang paling penting untuk kita tanyakan, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk pendidikan masa depan? Kata kuncinya adalah: DIRI. Kesadaran kita untuk melihat dan memahami ke “dalam” lebih dalam sebelum bertransformasi.

Dalam buku “Theory U: Leading from the Future as It Emerges” oleh Otto Scharmer, ada sebuah model pemikiran dari Brian Arthur, seorang Economist, untuk membantu kita memahami proses transformasi diri maupun organisasi. Model ini dapat pula dipakai dalam konteks pendidikan.

Observasi. Proses mengamati, mendengar, dan merasakan ke dalam diri untuk menemukan dan membangkitkan potensi terbaik kita. Semakin lihai kita dalam mengobservasi diri, semakin peka juga kita pada sekitar, terutama dalam memahami murid-murid kita. Contoh paling mudah untuk melatih keterampilan observasi adalah mengamati emosi yang hadir. Saat marah pada murid misalnya. Apakah ada emosi lain yang lebih dalam seperti kekecewaan karena punya ekspektasi yang tidak sesuai realita? Seperti apa rasanya? Apa yang saya lihat dari murid tersebut yang memancing kemarahan saya? Apa yang tidak saya lihat? Keterampilan ini merupakan kunci dari proses transformasi.

Refleksi. Mengendapkan dan merenungkan temuan dari proses observasi tadi. Apakah ada keyakinan dan pandangan yang saya miliki yang menghambat proses memahami diri juga anak murid? Apa saja asumsi yang saya sadari? Bagaimana saya mengubah paradigma lama agar bisa melihat potensi yang selama ini tak saya sadari? Pertanyaan-pertanyaan refleksi ini bisa kita tanyakan pada diri sebelum kita bereaksi dan merespon suatu tindakan. Proses pengendapan dan perenungan ini seringkali memunculkan kesadaran baru terkait apa yang selama ini terpendam dalam diri.

Aksi. Setelah proses observasi dan refleksi, langkah terakhir adalah tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan transformasi. Dalam prosesnya, kita akan dihadapkan pada ketidakpastian, ambiguitas tinggi, dan rentan gagal. Maka dari itu, butuh keterbukaan untuk merangkul berbagai kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya dan terus mencoba hal-hal yang mustahil. Tentunya, hal ini tidak akan bisa terlaksana tanpa proses mengamati diri dan keberanian mempertanyakan apakah asumsi yang saya miliki selama ini masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan masa depan?

Pada intinya, untuk dapat memindai masa depan, hal paling penting dan mendasar yang perlu kita lakukan adalah mengamati diri. Mengutip kata-kata seorang penulis bernama Shane Parrish:

Empati, Upaya “Menembus” Dinding

Dalam teori Fisika, ada Hukum Newton 3 tentang Aksi Reaksi yang berbunyi:

“Jika suatu benda mendapatkan gaya, maka benda tersebut akan memberikan kekuatan yang sama besar terhadap sumber gaya tersebut secara berlawanan.”

Contoh paling sederhananya, bila kita mendorong dinding (aksi), dinding tersebut akan berbalik mendorong kita (reaksi).

Apabila kita memandang sebuah masalah seperti menghadapi dinding, beberapa orang terus mendorong bahkan menabrak dinding sampai kelelahan sendiri. Beberapa lainnya, memutuskan menyerah dan berbalik arah.

Dua respon ini merupakan reaksi fight or flight. Wajar saja, karena merupakan insting purba manusia untuk bertahan hidup saat terancam bahaya. Namun, pernahkah kita berpikir solusi alternatif? Bagaimana ya caranya “menembus” dinding?

Kita ambil contoh seorang guru bahasa Indonesia bernama Bela. Selama ini, bahasa Indonesia dianggap membosankan dan tidak penting karena setiap hari juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Memahami tantangan ini, Bela ingin mengubah perspektif bahwa bahasa Indonesia itu menyenangkan. Kalau ia memaksakan pembelajaran text book pada mereka, bisa saja para murid makin merasa bahasa Indonesia membosankan. Semakin ia memaksa, pembelajaran akan semakin jauh dari kata menyenangkan. Semakin melelahkan karena hanya berusaha mendorong dinding. Persis seperti Hukum Aksi Reaksi Newton 3.

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya “menembus” dinding, jawabannya adalah dengan berempati. Pertanyaan berikutnya, bagaimana ya caranya Ani berempati?

  • Pertama, mencoba memahami apa yang murid tersebut pikirkan dan rasakan. Apa ya yang disukai anak-anak? Apa yang jadi tren saat ini? Apa istilah-istilah kekinian yang digunakan supaya bisa masuk ke dunia mereka?
  • Kedua, cari berbagai alternatif pembelajaran seru seperti menonton film, mendengar lagu, menyanyi bersama, main games, dan sebagainya. Kenali apa yang menjadi kesukaan mereka agar belajar terasa lebih menyenangkan.
  • Ketiga, rayakan tiap perkembangan. Dengan mengapresiasi tiap milestones dalam proses belajar, mereka akan menyadari sejauh mana mereka berkembang. Selain itu, bisa memacu semangat agar terus menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak lagi tips lainnya. Namun pada intinya, lakukan secara perlahan dan bertahap. Dinding dalam proses belajar terkadang tak terlihat, tapi kita selalu punya pilihan. Menabrak, menghindar, atau menembus, semua tergantung kita menyikapi.

Quantum Leap, Sebuah “Lompatan” Potensi

Marvel Multiverse

Apakah kamu pernah mendengar istilah Quantum Leap? Yuk kita kenalan dengan istilah ini!

 

 

 

Tentang Quantum Leap

Quantum Leap merupakan “lompatan” yang membuat manusia mencapai potensinya secara optimal.

Kalau dalam bayanganmu lompatan itu seperti atlet yang melewati halang rintang, Quantum Leap berbeda. “Lompatan”-nya lebih menyerupai gelombang yang menembus suatu batas. Mungkin terdengar membingungkan. Untuk memudahkan, analoginya seperti ini. Bayangkan seseorang yang dalam 2 minggu bisa membuat desain 3D. Padahal, dia belum pernah pegang laptop sebelumnya. Atau seseorang dalam seminggu bisa berkomunikasi dengan orang asing. Bahkan sampai dapat pasangan. Padahal, sebelumnya dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.

Quantum Leap Wave

Selain itu, Quantum Leap juga bersifat probabilitas. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Makanya, momentum dalam Quantum Leap bisa saja datang tanpa diduga. Apabila kita tidak siap, kesempatan tersebut akan lewat begitu saja.

 

 

Contoh Quantum Leap

Kita ambil contoh Syama, seorang murid di Piwulang Becik yang terlihat pendiam di kelas. Namun, di sebuah pertunjukan drama di kelas, secara mengejutkan, banyak dialog yang diperankan Syama. Bela, guru bahasa Indonesia Syama, kaget dan tak menyangka bahwa ternyata memang selama ini Syama memperhatikan apa yang ia ajarkan. Hanya saja, ia tak banyak bicara.

Contoh lainnya, anggap saja bernama Zizi. Ia seorang difabel tuna netra yang punya keahlian di bidang musik. Saat mengajar di kelas online, Zizi dapat menghapal para muridnya hanya dari mendengar suaranya saja. Bela takjub dan terheran-heran, bagaimana Zizi bisa tau siapa saja muridnya tanpa melihat. Zizi pun tidak pernah terpikir sanggup mengajar musik.

Yang terjadi pada Syama maupun Zizi sebenarnya bukan tiba-tiba. Ada proses yang tidak terlihat.

Contohnya, bagaimana Bela memancing perlahan agar Syama berani berbicara melalui pendekatan personal, bagaimana ia pun kerap bertanya pada orang tua Syama. Apakah anaknya diam karena takut atau memang pendiam? Apakah anaknya menyukai pelajaran bahasa Indonesia? Orang tuanya bilang iya dan bilang bahwa di rumah, Syama sering cerita tentang kegiatannya.

Zizi pun demikian. Ia tidak langsung bisa lancar mengajar tapi karena terus-menerus dilakukan, lama-lama ia terampil. Keterbatasannya tak menghambat potensinya. Zizi bisa saja menolak menjadi pengajar. Namun, ia mengambil momentum untuk terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan, kalau baik Syama, Bela maupun Zizi tidak berhenti dan puas dengan “lompatan” yang terjadi, bisa jadi ada probabilitas terjadinya Quantum Leap di momentum lain dalam hidup mereka.

Pertanyaan untuk kita refleksikan bersama: apakah saat momentum tiba, kita sudah siap untuk menembus batas-batas nalar kita? Kalau pun belum siap, apakah kita berani memulai? Ataukah kita menyerah karena merasa batas tersebut mustahil ditembus?

Self-Acceptance Pada Anak, Karena Setiap Anak Berhak Merasa Berharga

Self-Acceptance Pada Anak, Karena Setiap Anak Berhak Merasa Berharga

Saat ini banyak orang yang mengkampanyekan self-love atau mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri tentu sangat penting bagi masa depan seseorang. Walau kedengarannya mudah, namun ada hal yang harus dilakukan sebelum sampai ke tahap mencintai diri sendiri yaitu dengan menerima diri apa adanya.

Sebagai manusia, kita tak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan, seperti apa bentuk rupa fisik kita dan berada di lingkungan seperti apa kita tumbuh. Semua adalah kehendak dari Tuhan dan manusia hanya bisa menerima. Akan tetapi, proses menerima kondisi diri merupakan suatu proses perjalanan yang penuh dengan tantangan. Alih-alih menerima kondisi,  banyak di antara kita yang justru memunculkan sikap penolakan. Sikap seperti ini tentu akan menghambat proses kita sebagai manusia untuk berkembang dan bertumbuh di masa yang akan datang.

Tak banyak orang tua yang menyadari bahwa proses penerimaan diri bisa dimulai sejak usia anak-anak. Usia emas anak adalah masa yang baik untuk menanamkan nilai yang positif soal diri sendiri maupun bagaimana beinteraksi dengan lingkungan. Mengajarkan anak tentang self-acceptance bertujuan agar mereka memiliki kebanggaan dan rasa hormat atas dirinya sendiri. Saat anak mampu melihat dirinya berharga, maka anak juga akan belajar untuk menghormati orang lain. Tentu saja banyak cara sederhana yang orang tua bisa lakukan untuk membentuk self-acceptance pada anak, antara lain:

1.      Berikan empati

Anak mungkin akan merasa kesal pada dirinya saat tidak bisa melakukan sesuatu seperti teman-temannya. Misalnya, ia merasa sedih tak mendapatkan nilai matematika yang baik. Pada momen ini peran orang tua adalah memberikan empati agar anak tak terlalu memfokuskan diri pada kelemahan. Katakan pada anak bahwa ada hal lain yang bisa mereka kuasai misalnya bernyanyi, menggambar atau membaca buku dengan lancar. Bantulah anak untuk menerima kelemahan dan mengoptimalkan kekuatan mereka.

2.      Berikan cinta dan kasih sayang tanpa syarat apapun

Cinta adalah perasaan tanpa pamrih. Untuk menumbuhkan self-acceptance pada anak orang tua sebaiknya menujukkan cinta dan kasih sayang tanpa syarat. Perasaan cinta dan kasih sayang yang diperlihatkan secara konsisten akan membuat anak merasa beruntung karena ada orang tua yang menerimanya apa adanya. Hal ini membuat mereka tak ragu untuk melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri.

3.      Ajak mereka untuk berani mengambil risiko

Anak tentu senang dengan eksplorasi hal baru, namun semangat eksplorasi tentu perlu diiringi dengan keberanian menghadapi risiko. Jika anak tak diajarkan pemaknaan soal bagaimana menyikapi risiko secara positif, maka bisa membuat anak takut mencoba hal-hal baru. Di sinilah peran penting orang tua yaitu membersamai anak saat eksplorasi hal baru meskipun akan mengalami kegagalan. Anak akan merasa bahwa kegagalan bukan sesuatu yang keliru dan bisa menjadi sumber pembelajaran yang berharga.

4.      Biarkan mereka mengalami kesalahan

Saat anak sudah berani mengambil risiko maka kesalahan mungkin akan mereka lakukan. Kesalahan yang dilakukan kelak akan menjadi pelajaran berharga untuk membangun rasa percaya dirinya. Pada saat kesalahan itu terjadi, janganlah memarahi anak. Lebih baik membantu anak dalam memahami kesalahan apa yang sudah ia lakukan dan bagaimana agar kesalahan tersebut tak lagi terulang. Selain itu, tak lupa juga untuk terus memberi dorongan pada anak agar tak ragu untuk berani memulai kembali.

5.      Berhenti membanding-bandingkan

Inilah kesalahan yang tak sadar dilakukan oleh banyak orang tua. Hanya karena memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda bukan berarti anak bisa dibanding-bandingkan dengan saudara kandung atau teman sebayanya. Bakat, karakter, dan kemampuan berpikir anak tentu tidak bisa disamakan dengan yang lain. Ingatlah bahwa setiap anak memiliki keunikannya masing-masing, tugas kita sebagai orang tua adalah membersamainya dan membantunya menemukan jalan yang sesuai dengan bakat yang dimilikinya.

Demikian cara sederhana yang bisa dilakukan untuk membangun self-acceptance pada anak. Semoga informasi ini bermanfaat.

 

 

 

 

 

 

 

Mengenal Pendekatan Student Centered Learning

Mengenal Pendekatan Student Centered Learning

Apakah Anda masih asing dengan istilah Student Centered Learning atau SCL? SCL merupakan salah satu pendekatan pada sistem belajar yang dipercaya dapat meningkatkan kualitas belajar murid. SCL ini merupakan kegiatan yang aktif melibatkan murid, di mana mereka akan diajak untuk berpikir secara kritis. Proses belajar SCL akan menuntut murid berpartisipasi dalam memahami sebuah materi, sehingga mereka didorong untuk aktif bertanya atau berpendapat selama sesi pembelajaran. Pada prosesnya pengajar akan berperan sebagai fasilitator.

Selama ini proses belajar lebih sering dilakukan dengan cara pasif, seperti metode ceramah, membaca, audio visual, hingga demonstrasi. Padahal pembelajaran pasif membuat murid hanya mampu menelaah materi sebanyak 30% saja. Hal ini berbeda jika murid diajak untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran melalui diskusi, praktik, bahkan mengajari sesama teman. Kemampuan mereka dalam menelaah materi bisa mencapai 50% hingga 90%.

Sebenarnya Student Centered Learning hampir sama seperti metode pembelajaran transformatif lain yang memiliki beberapa cara pembelajaran, namun inti dari metode pembelajaran ini ialah berfokus pada murid. Selain itu, SCL juga menekankan pada proses perubahan kualitatif selama proses belajar, progres inilah yang akan dinilai oleh pengajar. Dapat dikatakan SCL berfokus pada proses berkelanjutan dan peningkatan pada setiap murid. Hal ini merupakan salah satu upaya memberdayakan kemampuan murid sekaligus mengembangkan pola pikir yang kritis.

Keuntungan lainnya SCL tak hanya berkutat pada materi-materi saja, namun murid akan didorong untuk belajar dari studi kasus yang ada. Mereka akan mengekplorasi secara individu maupun kelompok untuk memecahkan sebuah masalah. Lingkungan seperti ini memungkinkan murid untuk memeriksa dan menyelesaikan masalah kompleks dengan menggunakan berbagai sumber daya, mengembangkan strategi yang dimiliki, hingga bernegosiasi dalam masalah tersebut secara kolaboratif. Selain itu, murid juga lebih mengetahui bagaimana kaitannya antara ilmu pengetahuan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengajar turut aktif mendampingi murid selama berproses, termasuk mendorong mereka melakukan proses pencarian, diskusi, dan penyimpulan atas hasil diskusi mereka.

Meskipun demikian, pada pelaksanaan metode SCL juga menemui beberapa kendala pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya seperti sulit diterapkan pada kelas yang berisi jumlah murid yang banyak, adanya beberapa kurikulum yang tidak cocok dengan metode ini, serta kendala pengajar dalam menumbuhkan keaktifan pada murid. Dapat dikatakan metode pembelajaran ini memang memiliki tantangan tersendiri terlebih untuk menciptakan kemandirian serta demokrasi dalam belajar yang tidak selamanya berjalan lancar.

SCL memang lebih sering diterapkan pada kalangan mahasiswa, namun saat ini banyak lembaga pendidikan pada tingkat menengah hingga dasar yang sudah mulai menerapkan metode pendekatan ini. Mengubah pendekatan adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai kualitas belajar yang maksimal pada murid. Kembali lagi, kesuksesan pendekatan SCL membutuhkan kerjasama yang baik antara murid dan pengajar.

 

Interaction-Based Approach Learning, Menjalin Kedekatan Antara Pengajar, Murid, Hingga Orangtua

Interaction-Based Approach Learning,

Menjalin Kedekatan Antara Pengajar, Murid, Hingga Orangtua

 

Interaction-Based Approach Learning atau pendekatan berdasarkan interaksi menjadi salah satu metode belajar yang sangat dibutuhkan dalam proses pengajaran baik secara virtual maupun tatap muka. Banyak yang tak menyadari jika ruang-ruang belajar sering kali terasa ada batasan, khususnya antara pengajar dan murid. Pernahkah Anda mengalami situasi dimana kelas terasa sunyi saat pengajar tengah menjelaskan sebuah materi? Tak ada interaksi yang terjadi antara murid dan pengajar, bahkan saat sesi tanya jawab.

Mungkin sebagian orang menganggap kedalaman materi adalah hal yang penting, namun hal ini justru membuat kita abai dengan bagaimana membangun interaksi antara pengajar dengan murid, atapun murid dengan murid yang lain. Pemahaman materi memang penting, namun bukan berarti proses belajar hanya tentang diri sendiri. Belajar juga berkaitan dengan orang lain, ingatlah jika manusia adalah makhluk sosial. Sangat penting bagi anak muda sekarang memiliki ketrampilan sosial yang tinggi. Kemampuan sosial tentu bermanfaat bagi masa depan mereka. Untuk itu, kemampuan sosial harus mulai dilatih di lingkup yang paling kecil salah satunya ruang kelas.

Metode belajar dengan pendekatan interaksi juga bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas belajar. Apalagi dalam kondisi seperti ini, interaksi antara pengajar dan murid juga perlu diprioritaskan karena jika tidak ada kedekatan yang dibangun maka materi tersebut hanya sebatas tahu saja, tanpa ada pemahaman.

Kita kurang memahami hal mendasar dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Hal mendasar tersebut ialah membangun rasa percaya dan menerima. Bagi pengajar, murid, bahkan orangtua harus bisa membangun rasa percaya dan bisa menerima satu sama lain.

Pengajar butuh percaya dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh muridnya, serta menerima jika setiap murid memiliki keunikannya masing-masing. Hal ini juga berlaku pada murid, mereka juga perlu membangun rasa percaya jika pengajarnya adalah orang yang bisa menjadi fasilitator yang baik dalam proses belajar mengajar. Selain itu, murid juga mau menerima materi yang diberikan oleh pengajarnya, karena mereka meyakini jika apa yang diajarkan bertujuan untuk menggali potensi.

Sedangkan pihak orangtua atau wali murid perlu menaruh kepercayaan baik pada pengajar ataupun anaknya sebagai murid. Orangtua percaya jika pengajar mampu membimbing anaknya, serta mereka menerima metode pengajaran dan peratuan yang berlaku selama proses belajar. Orangtua juga tidak segan untuk terlibat dalam proses bimbingan tersebut karena mereka percaya anaknya memiliki potensi yang unik dan harus dikembangkan oleh lingkungan. Kepercayaan orangtua ibarat sebuah restu untuk masa depan anaknya.

Kualifikasi pengajar seperti gelar, pengalaman, sertifikasi, dan kinerja ujian guru memang kini menjadi tolok ukur untuk mengetahui kapasitas yang dimilikinya. Akan tetapi, banyak yang abai dengan bagaimana guru menjalin hubungan dengan murid ataupun orangtua murid. Terkadang hubungan antara ketiganya terasa berjenjang sehingga terjadi kecanggungan, untuk itu sebaiknya kita semua mengubah kebiasaan ini. Bagi pengajar jangan ragu untuk mengabarkan kepada orangtua murid bagaimana perkembangan anak selama belajar di kelas. Ceritakan apa yang mereka pahami dan yang diminati. Perlu kita pahami bersama jika kita tak bisa menilai perkembangan anak hanya dari nilai mata pelajaran saja.

Sama halnya dengan murid, jangan pernah merasa malu untuk bertanya atau menceritakan apa yang dipahami kepada guru. Jika masih ada ketakutan dan malu untuk bertanya atau bercerita, maka murid dapat memanfaatkan ruang-ruang privat. Murid dapat bertanya secara empat mata kepada pengajar ataupun kepada sesama temannya di kelas yang dirasa memiliki kemampuan pada bidang tersebut. Bertanya secara personal dapat melatih rasa percaya diri.

Membangun kedekatan akan berdampak baik ke depannya, bukan hanya kemampuan sosialisasi namun murid akan memiliki pemahaman yang mendalam karena komunikasi berjalan baik.

Merasa dekat bukan berarti kita menghilangkan rasa hormat.

Bergotong Royong di Dunia Pendidikan

A S E S M E N

asesmen kompetensi minimum
survei lingkungan belajar
survei karakter
SBMPTN
tes potensi skolastik
tes kemampuan akademik
american SAT
cambridge A-level
swiss international baccalaureate
logika
spasial
musikal
spiritual
naturalis
linguistik
kinestetik
intrapersonal
interpersonal

L I T E R A S I

baca tulis
numerasi
sains
finansial
digital
budaya & kewarganegaraan
critical thinking
problem solving
creativity
communication
collaboration
curiosity
initiative
persistence & grit
adaptability
leadership
social & cultural awareness

S T E A M

science
technology
engineering
arts
math
coding
animation
cyber security
product design

S O C I E T Y  5 . 0

IoT
big data
psikologi
pedagogi
andragogi
heutagogi
community
ecosystem

Bingung sendirian menghadapi banyaknya informasi ?
Marilah bergotong royong & saling meringankan.
Daftar di https://tinyurl.com/PBx-formDaftar ,
atau hubungi 085890963236 (WA)