Kunjungan Guru Banjarnegara: Belajar Membuat PKBM

Pengalaman Belajar dari PKBM Piwulang Becik 

Berawal dari keinginan mendirikan PKBM dan kebutuhan dalam memahami proses pendirian PKBM, Dhian Fatmasari (42), Kepala Sekolah SAMPAI IP Tunas Bangsa Banjarnegara, tergerak untuk berguru dari PKBM Piwulang Becik. Berangkat dari hal tersebut, wanita yang akrab dipanggil Dhian ini, bersama dengan 3 orang guru lainnya, menceritakan pengalaman saat berdialog dengan Aris Prasetya (52), Kepala Sekolah PKBM Piwulang Becik. 

“Saya ngerasa bodoh banget, jadi ekspektasinya pengen belajar dari yang sudah mengerti, merasakan, dan menjalani,” aku Dhian jujur. 

“Kalau saya, sebenernya datang ke sini karena diminta kepala sekolah,” sahut Zuyyinah Murniatul Barokah (35), Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sekaligus Humas SMP IP Tunas Bangsa. “Saya yakin dan percaya aja kalau Bu Dhian ngajak saya, mesti untuk belajar, untuk dapat ilmu-ilmu baru,” lanjut wanita yang biasa dipanggil Zuyyin. 

Dari niatan tersebut, mereka mengaku apa yang didapat lebih dari ekspektasi. Uun Marbawa (42), Guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang kerap disapa Uun mengatakan, “Saya dapat sudut pandang baru yang selama ini sebagai guru yaaa.. menyampaikan apa yang ada di buku aja, apa yang perlu diketahui anak, tanpa mempertimbangkan apa sih kebutuhan anak saat ini. Di sini tadi, saya dapat dari mas Aris tentang bagaimana seharusnya seorang guru itu. Pertama, profiling. Ngerti masing-masing individu. Kedua, memberikan pelajaran, materi yang kontekstual sesuai kondisi saat ini.  Kadang kita memberi materi yang belum tentu mereka butuh dan inginkan sehingga membuat bosan. Yang paling keren, bagaimana cinta dan welas asih. Itu bagus banget karena apa pun kondisi siswa, apa pun yang terjadi pada siswa, tetap cinta dan welas asih harus kita lakukan.” 

Selaras dengan penjelasan Uun, Tengku Apta Naufal (23) yang biasa dipanggil Apta, Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), berkata, “Sebenernya saya udah lama bergelut di dunia pendidikan. Cuma baru-baru ini menggeluti dunia mengajar. Buat saya profiling itu sangat penting apalagi untuk saya yang jarang komunikasi dengan anak. Kita perlu mengetahui pertumbuhan seorang anak, gimana kondisinya di rumah, gimana orang tuanya mendidik agama, dan sebagainya. Justru hal-hal itu bisa langsung kita ajarkan untuk kehidupan mereka. Selain itu, mas Aris mengajarkan bagaimana cara menyampaikan yang sangat mudah diterima oleh anak. Terakhir, lingkaran doa dari murid ke guru, guru ke murid, itu sangat luar biasa. Kalau dari guru tidak ada keinginan untuk membentuk anaknya jadi lebih baik, gimana nanti anaknya jadi baik. Begitu juga kalau anaknya malas-malasan untuk belajar, sebel sama gurunya, gimana dia dapat ilmu yang bermanfaat.“

Refleksi Diri Terkait Peran sebagai Pengajar 

 Menjalani proses Mastermind selama sehari di Piwulang Becik, keempat guru dari Banjar tersebut masing-masing menceritakan refleksi pribadi terkait peran seorang guru. “Kalau saya dapat sesuatu yang luar biasa tentang menjadi kepala sekolah sejati. Beberapa kali mas Aris mengakhiri kalimatnya dengan ‘…karena saya kepala sekolah’. Jadi kalau diiris tuh saya kayak diiris trus dikasi jeruk. Perih. Tapi mas Aris juga bilang sebagaimana seseorang yang tadinya bukan muslim, begitu dia ngucapin syahadat kan lembarannya putih. Kemarin kan bukan berdosa, tapi karena nggak ngerti. Saya harap sih dari hari ini saya bener-bener ngerti bagaimana jadi kepala sekolah sejati,” ujar Dhian. 

Zuyyin menambahkan, “katanya kan kalau hari esok lebih buruk dari hari ini, itu pastinya rugi. Jadi yang akan dilakukan adalah refleksi. Kalau saya cenderung kurang dekat dengan siswa karena tuntutan kurikulum dan dikejar-kejar harus selesai kompetensi dasarnya. Jadi ngobrol sama anak itu intensitasnya lebih sedikit. Makanya dimulai dari cari tau dulu. Bukan cuma nama dan kesukaan, tapi lebih dari itu. Lebih detail.” 

Bagi Apta, ia merefleksikan caranya mengajar. “Sebenernya memang banyak anak-anak yang jenuh, rasanya lama kalau pelajaran PAI. Ternyata di sini kita disadarkan tentang cara kita menyampaikan mungkin ada yang salah. Karena tuntutan kurikulum, jadinya mau nggak mau itu yang disampaikan terlepas dari keperluan anak itu sendiri. Harus banyak doa, banyak introspeksi. Yang ingin saya tau dulu, anak itu gimana sih agamanya? Di rumah itu udah diimplementasi seperti apa? Trus kenapa mereka nggak melakukan ini-itu? Apa beratnya? Kenapa? Bangun semangat kalau kata mas Aris.” 

Sementara Uun menjelaskan refleksi terkait kedekatan dengan para murid. “Sampai sore ini sebenernya banyak refleksi diri. Salah satunya, aku kurang mengenal sama murid-murid. Sebagai wali kelas, aku pegang sekitar 16 siswa. Dari situ aku refleksi, oh ya, aku baru kenal nama. Baru tau kesukaan. Belum tau cerita bagaimana rasanya dia belajar selama ini sama saya atau mungkin bagaimana sih sebenernya dia merasakan bersekolah di sini. Apakah menyenangkan atau justru membuat tertekan. Itu penting banget. Jadi ya bismillah setelah ini mencoba untuk ngobrol dan yang penting lagi welas asih dengan apapun. Selama ini kan ya namanya guru berurusan sama berbagai perilaku siswa, harus mengedepankan mereka anak-anak kita. Mereka butuh dimengerti, bukan hanya butuh materi pelajaran.”

Harapan ke Depan

“Saya pengen bawa ini ke Banjarnegara. Sebenernya di depan kan kita udah dikasih tau nih blom tentu bisa lanjut. Bisa jadi hasil belajar hari ini tuh Mas Aris bilang cukup. Jadi kalau sampai opsi itu terjadi, saya bakalan memperjuangkan ini tetep harus dibawa ke Banjar. Semoga mas Aris bersedia mendampingi dan menemani kami,” aku Dhian dengan penuh antusias, sekaligus menutup sesi dialog sore itu.

Tonton wawancara lengkapnya di:

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply