Gotong Royong di Komite Sekolah

Era Pemerintahan NKRI Setelah Kemerdekaan (1945 sampai 1966)

Sejak jaman kemerdekaan, masyarakat telah dilibatkan dalam dunia pendidikan NKRI. Dimulai dengan dibentuknya POMG (Perkumpulan Orangtua Murid dan Guru), berdasarkan UU Pendidikan No.12 Tahun 1945 Pasal 28. Bertujuan untuk memelihara hubungan yang erat antara orangtua murid, agar sekolah dapat hidup subur dan lebih sanggup memenuhi tugasnya sebagai tempat yang membentuk manusia yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Namun beberapa tahun kemudian, dalam pelaksanaannya diterpa isu bahwa guru-guru telah menyalahgunakan keuangan POMG, yang mengakibatkan terbentuknya POM (Perkumpulan Orangtua Murid) saja, tanpa guru.

Pemerintahan Masa Orde Baru (11 Maret 1966 hingga 1998)

Di era orde baru, POM diganti menjadi BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) berdasar surat keputusan Nomor:17/1974, tanggal 20 Nopember 1974, yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri P&K. Bertujuan meningkatkan hubungan yang erat dan kerja sama serta tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk menyempurnakan kegiatan pendidikan.

BP3 diperkuat dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0293/U/1993.

Sejarah pendidikan di era orde baru dipenuhi dengan berbagai kepentingan politik dan industri yang berbenturan dengan budaya kita sendiri. Apa yang tertulis pada sebuah kebijakan beserta jargonnya, terlihat bagus, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda. Dan meskipun orde baru sudah tumbang, tetapi dampaknya masih berlanjut.

Pemerintahan Masa Reformasi (sejak 1998)

Di tahun 2000an, dikenalkan istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang diadopsi dari negara maju. Dimana dalam penerapannya adalah dengan membentuk Komite Sekolah (KS).

Dasar hukum Komite Sekolah adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), yang kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. tentang Dewan Pendidikan dan Komite sekolah. Pasal 1 butir (2) disebutkan bahwa;
“ Pada setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan dibentuk Komite Sekolah atas prakarsa masyarakat, satuan pendidikan, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.”

Dan untuk sosialisasinya, dibuatlah iklan di televisi tentang Komite Sekolah ini. Tapi … peranan KS yang ditonjolkan adalah fungsi pengumpulan dana dari wali murid, seperti dana untuk mengganti genteng yang bocor dan tembok yang rusak. Dan dalam prakteknya, fungsi KS ini memang sering dipakai untuk penggalangan dana dari orang tua dalam mendukung kegiatan di sekolah.

Secara operasional, tugas dan wewenang Komite Sekolah, disebutkan:
a) Mendorong dan meningkatkan hubungan baik antara masyarakat, sekolah maupun pemerintah.
b) Membantu kelancaran kegiatan pendidikan dan tidak mencampuri urusan teknik pengajaran sekolah yang menjadi wewenang kepala sekolah, guru dan pengawas.
c) Mengusahakan bantuan dari masyarakat, baik berupa benda, uang maupun jasa dengan tidak menambah beban wajib bayar.
d) Memberikan perimbangan kepala sekolah dan kepada perwakilan Depdikbud tentang permohonan keringanan atas permohonan wajib bayar.

Padahal, di negara maju, peran Komite Sekolah adalah untuk mendorong terjadinya demokratisasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, seperti pemilihan kepala sekolah, penentuan seragam sekolah, kurikulum, buku pelajaran, dan tata tertib di sekolah.

MBS dan KS ini sebenarnya telah mendapatkan payung hukum yang kuat di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas/SPN). Pasal 1 butir 25 menyebutkan bahwa;“Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali, peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan”.

Dimana dalam Pasal 54, mengatur tentang partisipasi masyarakat :
1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Secara regulasi, bahkan ada tiga yang terkait Komite Sekolah, yaitu:
1. Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Anggota Komite Sekolah

Keanggotaan Komite Sekolah sesuai PP Nomor 17 Tahun 2010, pasal 197, diatur sebagai berikut:
Anggota komite sekolah/madrasah berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas unsur:
1. Orang tua/wali peserta didik paling banyak 50%.
Catatan: orang tua/wali peserta didik yang dimaksud adalah yang anaknya masih aktif bersekolah di sekolah yang bersangkutan.
2. Tokoh masyarakat paling banyak 30%.
Catatan: tokoh masyarakat yang dimaksud adalah tokoh formal dan informal yang ada di lingkungan sekolah, diantaranya: tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah setempat (RT, RW, Lurah, Camat, dan pihak terkait lainnya) serta alumni.
3. Pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30%.
Catatan: pakar pendidikan yang dimaksud adalah tokoh/pegiat yang memiliki keahlian dan kepedulian terhadap pendidikan. Unsur ini bisa berasal dari perguruan tinggi, organisasi profesi tenaga kependidikan, LSM, dunia usaha/industri.

Masa jabatan keanggotaan komite sekolah/madrasah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Peran Komite Sekolah

Sedangkan peran KS, lebih kurang adalah sebagai berikut:
1. Fasilitator
Menerima masukan dari orangtua, menggali keterangan lebih lanjut, menyimpulkan pendapat mereka, dan membuat program yang melayani kebutuhan tersebut.

2. Katalisator
Yang menyebabkan dan mempercepat terjadinya perubahan ke arah lebih baik.

3. Komunikator
Menyampaikan pesan kepada seluruh orangtua siswa, dan juga memberikan respons dan tanggapan, serta menjawab pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh orangtua, sesuai dengan kesepakatan dan pemahaman bersama dengan warga sekolah.

4. Inspirator
Memberi inspirasi dan sumber yang menggerakkan seluruh warga untuk terus bersemangat dalam mengembangkan dunia pendidikan dan memberi layanan terbaik, pada situasi yang menyenangkan, maupun dalam situasi sulit.

Semangat Gotong Royong di Komite Sekolah

Dari sejarah di atas, kita bisa membaca bahwa ada jurang perbedaan yang mencolok antara kebijakan dan pelaksanaan. Dalam pelaksanaannya, ada dua kubu ekstrim: KS dijadikan alat pembenaran kebijakan sekolah yang buruk, di lain pihak terjadi tuntutan yang berlebihan dari pihak orangtua terhadap sekolah.

Mari kita kembalikan fungsi KS kepada fungsi asli bangsa kita: gotong royong. Dengan semangat gotong royong, kita selalu menghindari saling menuntut, karena yang ada adalah saling meringankan. Dalam gotong royong juga tidak saling memanfaatkan secara negatif, tetapi saling membantu untuk menyelesaikan masalah.

Dengan gotong royong, juga tidak saja berkutat dengan lingkungannya sendiri, tetapi juga lingkungan sekitarnya. Misal ikut serta mengentaskan Anak Tidak Sekolah (ATS).

Mari kita sikapi keberadaan KS ini dengan positif, demi kemajuan pendidikan anak bangsa kita sendiri.

catatan:
Beberapa kutipan diambil dari buku “Melawan Liberalisasi Pendidikan”, tahun 2014, yang ditulis oleh Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply